Ziarah Kenangan
Unknown
15.14
0 Comments
Aku ingin berjalan melewati padang ilalang,
Melihat cahaya yang menembus celah-celah dedaunan
Aku ingin merasakan hangat matahari dan sumringah angin pagi
Aku ingin berlari di jalanan,
Merasakan hujan yang membuncah seperti anak kecil
berlompatan
Aku ingin menari, meneriaki
setiap kegamangan dan kesedihan
Tapi aku tak menemukan…
Kepada mereka yang menitipkan kehidupan pada sinar pertama
matahari
Kepada mereka yang menjadi rindu ketika hujan tidak lagi
bersembunyi
aku sendirian mencari lembaran-lembaran ingatan yang
menyimpan kenangan tentang rasa kehidupan
tentang hujan, laut, matahari, pelangi, bintang.
yang kutemukan adalah bekas uratan ngengat dan serbuk jamur
yang berbau menyengat
aku tidak bisa mengingat kenanganku sendiri
Segala kebahagiaan itu telah mati, dan aku tidak menyimpan
fotonya sama sekali
Segala kesedihan itu telah henti, dan aku tidak menyimpan
catatannya sama sekali
Aku mencari di lemari-lemari, di buku-buku diary, di status
facebook yang tersembunyi, atau di tumpukan erang yang terekam dalam mimpi.
Aku tidak memiliki.
Mungkin ada di tempat lain,
Mungkin aku akan menemukan diriku di ingatan-ingatan orang
lain.
Mungkin aku akan menemukan kenangan-kenanganku di album foto
orang lain
Mungkin aku akan mendengarkan ceritaku dari bibir-bibir
orang lain.
Aku merasa miskin, begitu fakir, bahkan kenanganpun tidak
pernah mampir.
Pada abad-abad kelam aku ingin mengulang,
Tertawa di tengah padang, menangis dikala hujan.
Mengulang semua kisah menang dan kesyahduan.
Tapi tidak ada yang lebih menyedihkan selain matinya ingatan,
dementia yang tak tertangguhkan.
Aku tidak memilikinya, kenangan-kenangan itu, aku tidak
pernah memilikinya.
Pada hari-hari yang menjulang aku ingin mengulang, sesuatu
yang sepertinya pernah aku lakukan.
Menceburkan diri di laut, berteriak di pinggir jurang, mengacungkan
jari pada pelangi, menunjuk-nunjuk bintang, menangis di tengah hujan.
Yang sepertinya pernah kulakukan. 120 KM/Jam di dini hari. Begadang di warung
kopi sampai pagi. Menjuali barang-barang untuk pensi. Menjahili teman hingga ia
melarikan diri ke kamar mandi. Berjalan sendiri di jalan-jalan sepi. Membuat
puisi untuk kekasih hati. Meninggalkan pekerjaan demi organisasi. Mendekati
dosen agar dimaafkan ketika tugas tak sesuai janji.
Tetapi aku mulai meragukan, itukah kenangan atau
angan-angan? Asing. Seperti membacakan buku cerita karangan orang lain kepada diri
sendiri dan meyakinkan bahwa itu adalah karangan sendiri.
Selalu tidak ada yang lebih patut di dukai daripada kenangan
yang telah mati, menciut karena mekanisme pertahanan diri (atau karena
orang-orang yang tidak peduli?). Ingatan-ingatan itu sudah mulai tak sepadan.
Nyata dan khayal tak bisa dibedakan.
Mungkin itu hanya angan-angan. Ingatan yang tidak pernah
kesampean. Kejadian yang tak pernah ada dalam kehidupan. Mungkin aku hanya
berkhayal, terlalu banyak berkhayal.
Saat ini aku ingin sendiri. Aku selalu ingin sendiri.
Kepercayaanku kepada orang lain direnggut kebiadaban pikiranku sendiri.
Aku yang membakar fotonya, aku yang mencuci rentetan cerita
di catatan kenangannya, aku yang menghapus semua kronologi di dunia maya. Aku
yang membuang tokoh ‘aku’ bahkan di catatanku sendiri. Aku yang yang memotong sirkuit memory di kepala.
Setelah tidur panjang, aku ingin mengulang. Seolah semua
bisa dimulai dari awal. Seolah Tuhan selalu merestui setiap keinginan. Di depan
cermin, aku pura-pura tidak melihat wajah kemunafikan. Di dalam catatan, aku
melewatkan seluruh kenaifan.
Kini aku di tengah jalan yang lenggang. Tapi aku takut dan
ingin segera pulang.
Pada malam hari aku sudah duduk di warung kopi, tapi aku
tidak bisa berhenti menatap arloji.
Bagaimana bisa 120 KM/Jam, berjajar dengan motor lain saja
membuatku ketakutan.
Aku sungguh tak mengerti, ini seperti bukan diriku sendiri.
Di tengah padang aku merentangkan tangan, tapi aku malu
dilihat orang.
Di antara pelangi aku ingin mengacungkan jari, tapi aku
terus menahan diri.
Di bawah bintang aku ingin berbenah, tapi aku justeru
memilih rebah.
Di pinggir laut aku ingin menghempaskan diri, tapi aku takut
dengan air yang tinggi.
Di tepi jurang aku ingin berteriak lantang, tapi aku takut
ada orang yang mendengar.
Ditengah hujan aku ingin menangis hingga habis, tapi aku
tidak ingat bagaimana cara menangis.
Aku tidak ingat.
Mungkin aku hanya akan duduk mencatat. Mencatat hal-hal yang
tidak bisa kuingat. Mungkin aku akan rutin menziarahi, kenangan yang tidak
pernah terjadi.