Follow Us @soratemplates

11/12/13

Ziarah Kenangan

15.14 0 Comments


Aku ingin berjalan melewati padang ilalang,
Melihat cahaya yang menembus celah-celah dedaunan
Aku ingin merasakan hangat matahari dan sumringah angin pagi

Aku ingin berlari di jalanan,
Merasakan hujan yang membuncah seperti anak kecil berlompatan
Aku ingin menari, meneriaki  setiap kegamangan dan kesedihan
Tapi aku tak menemukan…


Kepada mereka yang menitipkan kehidupan pada sinar pertama matahari
Kepada mereka yang menjadi rindu ketika hujan tidak lagi bersembunyi
aku sendirian mencari lembaran-lembaran ingatan yang menyimpan kenangan tentang rasa kehidupan
tentang hujan, laut, matahari, pelangi, bintang.
yang kutemukan adalah bekas uratan ngengat dan serbuk jamur yang berbau menyengat
aku tidak bisa mengingat kenanganku sendiri

Segala kebahagiaan itu telah mati, dan aku tidak menyimpan fotonya sama sekali
Segala kesedihan itu telah henti, dan aku tidak menyimpan catatannya sama sekali
Aku mencari di lemari-lemari, di buku-buku diary, di status facebook yang tersembunyi, atau di tumpukan erang yang terekam dalam mimpi.
Aku tidak memiliki.

Mungkin ada di tempat lain,
Mungkin aku akan menemukan diriku di ingatan-ingatan orang lain.
Mungkin aku akan menemukan kenangan-kenanganku di album foto orang lain
Mungkin aku akan mendengarkan ceritaku dari bibir-bibir orang lain.
Aku merasa miskin, begitu fakir, bahkan kenanganpun tidak pernah mampir.

Pada abad-abad kelam aku ingin mengulang,
Tertawa di tengah padang, menangis dikala hujan.
Mengulang semua kisah menang dan kesyahduan.
Tapi tidak ada yang lebih menyedihkan selain matinya ingatan, dementia yang tak tertangguhkan.
Aku tidak memilikinya, kenangan-kenangan itu, aku tidak pernah memilikinya.

Pada hari-hari yang menjulang aku ingin mengulang, sesuatu yang sepertinya pernah aku lakukan.
Menceburkan diri di laut, berteriak di pinggir jurang, mengacungkan jari pada pelangi, menunjuk-nunjuk bintang, menangis di tengah hujan.
Yang sepertinya pernah kulakukan.  120 KM/Jam di dini hari. Begadang di warung kopi sampai pagi. Menjuali barang-barang untuk pensi. Menjahili teman hingga ia melarikan diri ke kamar mandi. Berjalan sendiri di jalan-jalan sepi. Membuat puisi untuk kekasih hati. Meninggalkan pekerjaan demi organisasi. Mendekati dosen agar dimaafkan ketika tugas tak sesuai janji.
Tetapi aku mulai meragukan, itukah kenangan atau angan-angan? Asing. Seperti membacakan buku cerita karangan orang lain kepada diri sendiri dan meyakinkan bahwa itu adalah karangan sendiri.
Selalu tidak ada yang lebih patut di dukai daripada kenangan yang telah mati, menciut karena mekanisme pertahanan diri (atau karena orang-orang yang tidak peduli?). Ingatan-ingatan itu sudah mulai tak sepadan. Nyata dan khayal tak bisa dibedakan.
Mungkin itu hanya angan-angan. Ingatan yang tidak pernah kesampean. Kejadian yang tak pernah ada dalam kehidupan. Mungkin aku hanya berkhayal, terlalu banyak berkhayal.


Saat ini aku ingin sendiri. Aku selalu ingin sendiri. Kepercayaanku kepada orang lain direnggut kebiadaban pikiranku sendiri.

Aku yang membakar fotonya, aku yang mencuci rentetan cerita di catatan kenangannya, aku yang menghapus semua kronologi di dunia maya. Aku yang membuang tokoh ‘aku’ bahkan di catatanku sendiri.  Aku yang  yang memotong sirkuit memory di kepala.

Setelah tidur panjang, aku ingin mengulang. Seolah semua bisa dimulai dari awal. Seolah Tuhan selalu merestui setiap keinginan. Di depan cermin, aku pura-pura tidak melihat wajah kemunafikan. Di dalam catatan, aku melewatkan seluruh kenaifan.

Kini aku di tengah jalan yang lenggang. Tapi aku takut dan ingin segera pulang.
Pada malam hari aku sudah duduk di warung kopi, tapi aku tidak bisa berhenti menatap arloji.
Bagaimana bisa 120 KM/Jam, berjajar dengan motor lain saja membuatku ketakutan.
Aku sungguh tak mengerti, ini seperti bukan diriku sendiri.

Di tengah padang aku merentangkan tangan, tapi aku malu dilihat orang.
Di antara pelangi aku ingin mengacungkan jari, tapi aku terus menahan diri.
Di bawah bintang aku ingin berbenah, tapi aku justeru memilih rebah.
Di pinggir laut aku ingin menghempaskan diri, tapi aku takut dengan air yang tinggi.
Di tepi jurang aku ingin berteriak lantang, tapi aku takut ada orang yang mendengar.
Ditengah hujan aku ingin menangis hingga habis, tapi aku tidak ingat bagaimana cara menangis.

Aku tidak ingat.

Mungkin aku hanya akan duduk mencatat. Mencatat hal-hal yang tidak bisa kuingat. Mungkin aku akan rutin menziarahi, kenangan yang tidak pernah terjadi.

06/12/13

#Rumah_Sunyi Warna doa.

13.23 0 Comments




Awan merah.
Pertumpahan darah.
Kenangan lumpuh oleh kerinduan tak terjamah.
Menggalah.

Laut hitam.
Pelayaran karam.
Harapan takluk oleh ombak masa silam.
Memburam.

Tanah biru.
Perjalanan buntu.
Langkah terjegal oleh lebam masa lalu.
Membelenggu.

Aku tak butuh haru.
Di ganggamanku ada Tuhan
dan doa ibuku.

#Rumah_Sunyi #Bait_Puisi

#Rumah_Sunyi Cerita Prenjak

13.10 0 Comments




Seekor burung mengepak lesu
Potongan benang di kakinya seperti sebuah ingatan yang tak ingin diabaikan
Menyerabut melukai terbang yang pincang
Burung itu mencoba memaknai,
Hikmah dari semua makhluk yang ada di bumi
Dari jangkauan matanya yang kecil menantang
Dia gagal menemukan.

Maka ia memilih bernyanyi,
Dengan siul yang sunyi, gumaman tak berbunyi.
Barulah ketika ada detak manusia yang berhenti, siulan itu sedikit bernyali.

Burung yang terbang, tanpa tahu tempat pulang
Ingatannya terbawa masa silam, ketika bapaknya masih begitu jantan, menguasai hutan. Ketika ibunya masih begitu sayang menyuapi makan.

Jika ranting-ranting ini patah, anakku.
Terbanglah ke lambung kenangan,
Tempat bapak dan ibumu menggambar pepohonan.
Daun perdu akan selalu memberimu kabar gembira,
Bahwa tak akan ada lagi manusia yang akan memangkas pohon-pohon kita.

Jika sungai-sungai ini menghitam, anakku..
Melayanglah ke awan bayangan.
Disanalah seluruh kawanan burung terbang menyimpan persediaan,
Kristal-kristal air yang diawetkan lipatan awan adalah janji kehidupan
Manusia tidak boleh menjangkau semuanya.

Jika batang padi dan ilalang ini habis, anakku.
Larilah kedalam pelukan kerinduan.
Engkau akan dihangatkan ingatan tentang kasih sayang,
Telurmu adalah puja pujian
Dari generasi kita,
Yang  penghabisan.

#Rumah_Sunyi #Bait_Puisi

30/10/13

Jika Isterimu Psikolog

18.02 2 Comments
--- saya juga nggak percaya nulis kayak gini. Tapi Alhamdulillah tulisan saya di posting di tumblrnya Masgun, ini adalah project yang nggak ada datelinenya. Hahaa.




Jika Istrimu Seorang Psikolog

Suatu hari jika kamu menemukanku sebagai istrimu, satu hal yang pertama kali ingin aku sampaikan. Satu hal yang aku ingin agar kamu tahu, paham, dan selalu ingat. Bahwa aku, tidak bisa membaca pikiranmu. Aku bisa memahamimu hanya jika kamu menunjukkan kepadaku apa yang harus aku pahami. Kita berdua dahulunya orang yang saling tidak mengenal bukan? Jika suatu hari aku belum paham tentang jalan pikiranmu, perasaanmu, persepsimu terhadap sesuatu, keinginanmu. Tolong bersabar, pemahaman butuh waktu. Jika kau bersabar, aku akan setia belajar.

Suatu hari jika kamu menemukanku sebagai isterimu, satu hal yang aku minta kepadamu. Support, dukungan, motivasi, sudut pandang positif, afeksi. Apapun itu istilahnya. Yang aku inginkan bahwa kamu paham, aku juga manusia biasa yang kadang lemah, kadang murung,  bad mood, down, kecewa, putus asa, kadang bisa kesal dan marah. Dan jika itu terjadi, aku ingin kau selalu hadir disisiku. Nyata ataupun maya. Membantu memperbaiki moodku, meluruskan niatku, memotivasi jiwaku, meredakan amarahku, menerangi kebingunganku. Sekecil apapun itu, aku akan sangat berterima kasih.

Jika suatu hari nanti kamu menemukanku sebagai isterimu, jangan pernah mengatakan ‘kamu kan psikolog!, harusnya…”. Aku tahu tentang perkembangan manusia, perkembangan yang berakibat baik dan buruk. Jika perkembangan itu dimulai dari masa dewasa, masa ketika aku kuliah Psikologi. Maka aku yakin aku bisa menjadi manusia yang sempurna untukmu. Tetapi sayang, perkembangan manusia itu dimulai dari sejak kita bayi. Tentu aku mengalami masa-masa buruk, masa-masa yang tidak terlalu mendukung perkembanganku. Masa-masa yang kadang traumatis dan menyedihkan. Masa-masa yang menyisakan unfinish business  dan memberi bekas padaku hingga saat ini. Jangan pernah katakan ya?

Jika suatu hari kau menemukanku sebagai isterimu. Maukah kau mendengarkan konsep-konsep kehidupan berumah tangga yang aku pelajari dan aku pahami? Mendengarkan saja dulu. Tentang komunikasi yang akan kita terapkan, tentang fungsi dan peran masing-masing diri dalam rumah tangga, tentang aturan-aturan yang harus kita jaga dan patuhi. Dan yang paling utama adalah bagaimana kita mengkonsep dalam mendidik anak. Tentu aku punya pertimbangan secara psikologis dalam semua hal itu. Untuk itu aku membutuhkanmu untuk mendengarkan. Karena aku paham, yang menjalani rumah tangga ini bukan aku, tapi kita. Pun ketika kamu memiliki konsep konsep yang lain, aku sangat mau untuk mendengarkannya.

Jika suatu hari kau menemukanku sebagai isterimu nanti. Tolong jangan terganggu dengan orang-orang yang senang curhat kepadaku. Mereka yang menelpon tengah malam, yang tiba-tiba datang kerumah. Diantara mereka ada yang mungkin klien yang  tidak aku kenal. Namun, diantara mereka mungkin juga teman-temanku sendiri. Diantara mereka, ada yang perempuan juga ada laki-laki. Untuk kau tahu, jika dalam dunia psikologi ada kode etik yang tidak boleh mencampurkan urusan pribadi dengan masalah klien, tetapi jika klien itu teman sendiri? Atau teman sendiri yang tidak mendaftar resmi sebagai klien tetapi meminta nasihat sebagai teman yang kebetulan psikolog? Maka tolong bersabar, jangan terganggu. Aku ingin kamu selalu ada disitu, untuk selalu mengingatkanku.

Jika suatu hari kamu menemukanku sebagai isterimu. Bolehkah aku tinggal dirumah saja? Mendirikan biro konsultasi dengan klien yang sangat terbatas sebagai janji profesiku, karena Aku ingin selalu hadir dalam setiap perkembangan anak-anak kita. Aku ingin selalu ikut campur dalam mengajari moral, emosi, sosial dan intelektual.  Bolehkah aku menjadi guru utama anak-anak kita? Maksudku, mungkin ini sedikit ekstrim. Bolehkan anak-anak kita sekolah di rumah saja? Bersamaku? Jika nanti anak-anak kita berontak dan ingin bersekolah bersama teman-temannya, bisa kita pertimbangkan bukan untuk menyerahkan seluruh perkembangan anak ke lembaga sekolah, tapi hanya untuk perkembangan sosial saja. Aku tidak terlalu berhasrat memiliki anak brialian. Sorry for that. Aku sangat berhasrat agar anak kita memiliki kematangan emosi dan pertimbangan moral yang baik. Aku sudah mempelajari caranya, itu bisa dilatih. Tentu dengan dukungan dan restumu. Jika nanti anak kita tumbuh brilian, itu adalah bonus dari Allah.

Jika kamu menemukanku sebagai isterimu, ketika kita memiliki anak-anak kecil dan remaja, bolehkan kita tinggal di pinggir kota saja? Tidak masalah tinggal di tempat seperti apa. Kota, bagiku tidak baik untuk perkembangan sosial anak kita.

Jika suatu hari kau menemukanku sebagai isterimu, aku ingin kita selalu memiliki waktu, untuk saling memeluk dan diam untuk beberapa saat. Agar aku selalu merasakan keberadaanmu, kaupun selalu merasakan keberadaanku. Dan merasakan detak jantung kita menjadi satu.

28/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 6-selesai)

05.00 0 Comments

Setelah bekerja di Pabrik mbak Tata baru merasakan ‘hidup’ lagi, meskipun dipekerjakan secara rodi, tetapi mbak Tata merasa sangat bersyukur. Masalah-masalah yang harus dia hdadpi di Pabrik baginya merupakan tantangan yang mengasyikkan. Sejatinya, mbak Tata lebih menyukai tantangan daripada rutinitas. Itu mengapa ia mau-mau saja disuruh memegang empat sektor sekaligus. Ketika mbak Tata dituduh merebut kekayaan keluarga suaminya, sebenernya mbak Tata tidak terlalu ambil pusing. Tetapi ternyata ada karyawan yang peduli terhadapnya, karyawan itu adalah pak Sadiman yang memang orang paling tua di pabrik. Pak Sadiman orangnya sederhana dan bersahaja, sering memberi wejangan dan guyonan kepada karyawan-karyawan lain. Ada salah satu wejangan dari Pak Sadiman yang akhirnya menjadi bibit TSM ini. “Dulu saya diwajangi pak Sadiman kayak gini, sopo akon kowe kudu dadi wong kuat nduk? Deloken pagawemu sing neng kene. Kabeh ngajeni kowe, kabeh wis nganggep kowe koyo keluargane dewe. Nduk, ning donya pancen ra suwe. Yen kowe reti, manungsa iku artinne manunggaling rasa. Dadi rosomu kui ojo mbok nggu dewe. Baginen karo liane. Yen siji liane manungso mangerteni opo janjane manungso iku, ora bakal ono uwong sing kewirangan. Nduk, kowe ora perlu dadi wong kuat” (dulu saya mendapatkan nasihat dari pak Sadiman seperti ini –siapa suruh kamu harus menjadi orang kuat, nak? Lihatlah sekitarmu, semua karyawan menghormatimu, menganggapmu sebagai keluarga sendiri. Kita di dunia ini memang sebentar, nak. Jika kamu tau falsafat tentang manusia yaitu menyatunya rasa,jadi apa yang kamu rasakan tidak boleh kamu rasakan sendiri, karena seharusnya semua manusia juga merasakan. Jika manusia satu sama lain mengetahui apa hakikat manusia itu, maka tidak akan ada manusia yang menderita. Nak, kamu tidak perlu hidup sekuat itu).


Dari sinilah pemikiran TSM itu ada. Agar semua orang tau, selayaknya manusia, kita tidak harus hidup sekuat itu.


Ya, melihat bagaimana kehidupan ini berjalan. Semua orang seakan berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan. Mengumpulkan uang, harta, menyekolahkan anak di tempat yang bagus, membeli kendaraan, memperbagus rumah. sepertinya semua orang hidup sendiri-sendiri dan lupa dengan yang lain karena fokus dengan hal tersebut. Maka jika ada masalah, juga merasa bahwa masalah itu adalah masalahnya sendiri, diselesaikan sendiri. Makhluk sosial sepertinya sudah kehilangan arti. Lihat bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya sekarang. Mengikutkan semua keterampilan, les ini itu agar bisa ini itu. mempersiapkan anak-anaknya untuk multitasking, dengan dalih mempersiapkan anak untuk menghadapi masa depan. Semakin terampil dan semakin multitasking seorang anak, maka (mungkin) masa depannya akan semakin baik.


Mbak Tata pernah guyon, mengajarkan anak semua keterampilan itu oke-oke saja kalau kita punya rencana mengirimkan anak  ke planet Mars sendirian, dan disana belum ada orang sama sekali. Krisis ini yang ingin disampaikan mbak Tata. Kita di dunia, hidup dengan manusia, banyak manusia. Kita harus percaya bahwa untuk bisa memakai baju kita tidak perlu belajar menjahit atau menenun kain. Kita bisa mempercayakan kepada orang lain. Percaya kepada orang. Kepercayaan satu sama lain akan semakin luntur dari bumi ini jika saja perilaku ‘mengejar prestasi dan berkompetisi’ terus diandalkan. Kita manusia, kita tidak perlu seterampil itu. kita tidak perlu sekuat itu. karena kita manusia: sosial. 

27/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 5)

05.00 0 Comments

Sebenarnya, cerita panjang lebar itu hanyalah pengantar. Latar belakang saya menulis ini adalah karena pembicaraan sengaja tidak sengaja dengan mbak Tata.  Hari itu minggu sore, minggu kedua bulan oktober. Seperti biasa itu adalah hari  pertemuan anggota TSM. Acaranya sharing dan outbond kecil-kecilan. Karena saya ada acara sendiri, sehingga tidak bisa ikut acaranya dan baru bisa menyusul sore harinya. Itupun ngepasi beres-beres. Acara diadakan di saung tengah sawah milik teman mbak Tata. Ada empat saung didirikan diatas sekitar enam patok sawah. Dua patoknya dijadikan kolam ikan. Karena belum masuk masa tanam, banyak sawah yang kosong belum ditanamai. Tempat ini sangat representatif untuk outbond dan leha-leha. 


Ketika saya baru sampai ke tempat itu, kegiatan sudah hampir selesai. Peserta berkumpul membuat lingkaran dan saling memberikan kesan dan pesan untuk kegiatan yang barusaja dilaksanakan. Saya ikut nimbrung saja dibelakang. Kemudian setelah itu acara ditutup dengan doa dan yel-yel. Meskipun acara telah selesai, masih ada aja yang curhat ke mbak Tata dan ngobrol sana sini sambil membantu mbak Tata ngeberesin peralatan. Perlu waktu sampai sekitar setengah jam lebih hingga pada akhirnya semua peserta pulang. Tinggallah saya dan mbak Tata dan dua fasilitator lain yang ada di saung. Menunggu mas Anton jemput dan membawakan peralatannya. Sebenernya peralatannya tidak terlalu banyak, dan bisa kita bawa sedikit-sedikit dengan motor, tapi mbak Tata tidak membolehkan. Nggapain repot, kan ono mas Anton sing ngowo pick up. Begitulah, pada akhirnya kami selalu ada waktu leha-leha, cerita-cerita nungguin pick up mas Anton datang. Mungkin bagi fasilitator yang pengalaman hidupnya masih kacangan kayak kita-kita, mendengar cerita dari mbak Tata adalah suatu hal yang sangat berharga.



Di saung tengah sawah, sore hari dan semilir. Mbak Tata bercerita tentang ide pembuatan TSM ini. Diawali dengan sedikit cerita beratnya hidupnya pada waktu menikah. Mbak Tata mengatakan bahwa hal yang paling berat ketika kita menemui masalah adalah bukan karena besarnya masalah itu. Tapi karena kecilnya atau tidak adanya dukungan dari orang dekat. Saat itu, bagi mbak Tata, hal paling berat bukanlah menikahi orang kaya gagu yang tidak dikenalnya, tetapi karena keluarga yang seharusnya menyokongnya justru malah seperti menjerumuskannya. Ditambah lagi perlakuan dan pengekangan dari keluarga suaminya. Mbak Tata merasa hidupnya sudah selesai, tidak ada harapan lagi. “saat itu adanya ya pasrah, berdoa ya berdoa, tetapi semua seperti tidak ada rasanya”, kata mbak Tata. 

26/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 4)

05.00 0 Comments

Tanpa diduga, kepulangan mbak Tata ke rumah justeru ditanggapi dingin oleh orang tuanya. Mereka marah dan menganggap mbak Tata tidak becus ngurus suami, tidak becus berumah tangga. Orang tua mbak Tata tidak pernah tahu keadaan mbak Tata ketika di rumah suaminya. Aku sendiri mengurut dada mendengar cerita itu. dan ya, mbak Tata orang  yang sangat kuat. Tanggapan dingin dari orang tuanya tidak terlalu membuat mbak Tata pusing atau down. Dia sudah biasa diperlakukan seperti itu di keluarga suaminya. Mbak Tata merasa bahwa bagaimanapun dirumah sendiri jauh lebih baik daripada harus berada disana. Setidaknya, mbak Tata tidak dikurung dan bebas melakukan kegiatan di luar rumah.


Bekerja di pabrik tekstil ternyata membawa keuntungan sendiri bagi mbak Tata. Dia menjadi tau banyak tentang dunia produksi dan perdagangan tekstil. Dengan modal ini, kemudian mbak Tata memulai usaha membuat konveksi kecil-kecilan, sebelumnya dia menghubungi beberapa saudara dan teman yang dipercayanya –termasuk rekanan bisnis yang mbak Tata kenal ketika dipabrik- untuk menanam modal untuk konveksinya. Dengan sistem itu mbak Tata bisa membuka konveksi tanpa perlu banyak berhutang.


Konveksinya kini sudah 4 tahun berjalan. Memang tidak besar, tetapi pasaran produk mbak Tata adalah orang-orang ‘the have’ jadi keuntungan yang didapatkan berlipat-lipat. Sampai sekarang mbak Tata juga belum menikah lagi. Kegiatannya selain di konveksi ya di TSM ini. Dan mas Anton, semua volunteer dan anggota TSM tau, lelaki yang lebih muda 4 tahun dari mbak Tata ini menyimpan rasa dengan mbak Tata. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja bagi mereka untuk menikah. Dan itu harapan semua orang di TSM. Lagipula, mas Anton ini orang dinas kabupaten, sudah mapan, lumayan ganteng, dan sangat baik.

25/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 3)

05.00 0 Comments

Pabrik tekstil yang katanya terbesar seasia tenggara itu nyatanya juga nggak hebat-hebat amat. Karyawannya memang banyak, sekitar 800an. Tetapi pengelolaan yang buruk, pekerja yang dieksploitasi bekerja sekeras mungkin dengan gaji seminim mungkin membuat banyak pekerja yang melarikan diri. Tahun kedua pasca pernikahan mbak Tata, pegawai yang bekerja di sana menurun drastis hingga kurang dari 100 orang. 20 diantarnya bekerja di bagian administrasi. Pabrik keluarga suami mbak Tata diujung kebangkrutan. Keadaan itu membuat keluarga suami mbak Tata menjadi awut-awutan, semakin kacau dan banyak pertengkaran. Saat itu juga akhirnya mbak Tata memberanikan diri dan menawarkan diri untuk  ikut bekerja di pabrik. Mbak Tata berdalih bahwa dia adalah lulusan Psikologi dan tau bagaimana mengatur karyawan dan perusahaan. Sangking kepepetnya keadaan itu, akhirnya keluarga suami mbak Tata mengijinkan mbak Tata untuk bekerja di pabrik. Dengan syarat, tanpa gaji. Bagian administrasi yang hanya berjumlah 20 orang tadi dipotong hanya menjadi 12 orang. Mbak Tata memegang 4 bagian/sektor sekaligus.
Bagi Mbak Tata keadaan ini jauh lebih menyenangkan daripada harus dikungkung didalam rumah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ternyata Mbak Tata memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengatur orang dan perusahaan. Sedikit demi sedikit per sektor diperbaiki. Hingga tahun kelima, pabrik tekstil itu kembali meraih kejayaannya. Waktu tahun pertama bekerja mbak Tata sudah hamil, dan pada tahun kelima mbak Tata sudah memiliki 2 anak. Keadaan rumah tangga mbak Tata tetap dingin, justru mbak Tata menganggap orang-orang di pabriklah yang menjadi keluarganya.
Namun, lagi-lagi berurusan dengan orang yang oportunis. Setelah pabrik kembali stabil, mbak Tata diceraikan oleh suaminya. Bagi mbak Tata itu bukan  masalah besar, mbak Tata tidak pernah mencintai suaminya. Namun yang menyakitkan adalah mbak Tata difitnah dan dituduh ingin merebut kekayaan keluarga suaminya, lagi hak asuh anak ada ditangan suami dan mbak Tata tidak boleh menemuinya. Akhirnya mbak Tata dipulangkan  ke rumahnya di boyolali, tetap tanpa membawa pulang uang sepeserpun. 

24/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 2)

05.00 0 Comments


Cerita tentang pribadi Mbak Tata sendiri tidak kalah menarik. Mas Anton adalah dalang utama mengapa cerita tentang mbak Tata diketahui banyak orang. Tapi toh, mbak Tata tidak keberatan dengan itu. Mbak Tata merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kedua orang tuanya guru, satu PNS, satu wiyata bhakti. Kakaknya perempuan, menikah dengan seorang laki-laki yang ngakunya juragan. Pernikahan anak pertama diselenggarakan begitu megah untuk ukuran orang desa. Perhitungannya, kakak mbak Tata yang bekerja sebagai administrasi kantor dan suaminya yang juragan pasti akan membantu keuangan keluarga dan membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Untuk itu orang tua Mbak Tata berani hutang banyak ke Bank. Tapi apes, bahkan ketika berumah tanggapun suami dari kakak  mbak Tata belum bisa membeli rumah. Kakak mbak Tata tinggal dengan mertua. Dan ya, ternyata juragan juga tidak menjamin kaya atau sejahtera. 3 bulan setelah pernikahan, kakak mbak Tata pulang untuk meminjam uang dan beras. Alang kepalang membayar hutang, orang tua mbak Tata menjual sawah yang hanya secuil dan sepeda motor untuk menutupi hutangnya di bank. Itupun masih belum cukup karena biaya kuliah mbak Tata dan kedua adik yang masih SMA dan SMP juga banyak. Yang terjadi hanyalah, gali lobang tutup lobang. Dan semakin lama lobang yang digali dan di tutup bukan semakin mengecil malah semakin melebar.



Pada usia 23 tahun Mbak Tata lulus kuliah. Pada usia itu pula ia dipaksa menikah dngn laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya. Mbak Tata dijodohkan oleh laki-laki pilihan orang tuanya. Laki-laki itu asalnya dari Sukoharjo, konon dia adalah anak konglomerat yang memiliki pabrik tekstil terbesar se Asia Tenggara. Perjanjiannya adalah, keluarga calon suami Mbak Tata akan melunasi semua hutang, membiayai semua kebutuhan pernikahan dan menjanjikan mbak Tata hidup enak.



Hari pernikahanpun tiba, dan itulah hari pertama mbak Tata melihat langsung calon suaminya. Karena selama perkenalan oran tua calon suaminya yang datang ke rumah mbak Tata, dan hanta membawa foto dari calonnya itu. wajahnya memang putih, tinggi meskipun agak kurus tapi tetap tampan seperti yang di foto. Tetapi yang membuat mbak Tata kaget adalah bahwa ternyata lelaki ini sedikit gagu, untuk bicara saja sulit dan sepatah kata sepatah kata, serta kemampuan komunikasi yang juga lemah. Kadang tidak nyambung tentang apa yang ditanyakan dengan apa jawaban yang diberikan. Kemudian, ketika berbicara pandangan matanya tidak pernah mengarah pada si yang mengajak bicara. Melihat keadaan itu, Mbak Tata merasa keberatan dan meminta orang tuanya untuk membatalkan pernikahaan itu. tetapi orang tua mbak Tata menolak, kepalan tanggung katanya. Mereka juga menekankan bahwa inilah satu-satunya cara menyelamatkan orang tua dari jeratan rentenir bank. Ini satu-satunya cara berbakti kepada orang tua. Mulai saat itu, mbak Tata membenci orang tuanya, ia merasa ‘dijual’ oleh orang tuanya.



Kemudia apa yang menjadi ketakutan mbak Tata terjadi juga. Dari pertama mbak Tata merasa bahwa pernikahannya hanyalah quo vadis bahwa suaminya itu laku, bisa menikah dengan wanita yang berpendidikan. Benar saja, setelah menikah mbak Tata tinggal di sukoharja dengan suami dan keluarganya. Tetapi mbak Tata tidak pernah diperlakukan sebagai isteri atau mantu. Ia diperlakukan seperti pembantu. Lebih parah, mbak Tata sering di caci, dihina dan diperlakukan kasar oleh anggota keluarga. Mbak Tata tidak pernah diberi uang pegangan sepeserpun, tidak pernah diijinkan untuk pergi kemanapun bahkan ke rumahnya sendiri di boyolali. Jika mbak Tata menolak, mereka akan mengancam mengambil kembali uang dan sawah yang sudah diberikan kepada keluarga mbak Tata. Pasca menikah, mbak Tata juga tidak pernah tinggal sekamar dengan suaminya. Ia diberi ruangan khusus yang sempit. Hanya ketika suaminya itu ‘kepengen’ saja mereka tidur sekamar.

23/10/13

Pi. (bag. 2 selesai)

22.00 0 Comments
Pi. Kemanapun dia tidak pernah lupa memakai sandal, dan  melepasnya ketika masuk rumah tentu saja. Pi memiliki banyaak mainan yg bagus2, mobil2annya komplit. Tapi othok-othoknya lah yang selalu ia bawa.



Pengantar yang cukup panjang ya dipostingan sebelumnya?  Sebenernya saya pengen bercerita tentang Pi, (2 tahun) anak tetangga yang memiliki perkembangan yang tidak sama dengan anak pada umumnya. Pi, begitu dia menyebut dirinya sendiri, memiliki perkembangan emosi yang menakjubkan.

Inilah alasanku menulis cerita si kecil Pi yang tiap hari nongkrong di rumahku. Orang biasanya akan takjub dengan anak yang luar biasa cerdas, akan terperangah jika melihat si kecil melakukan hal-hal brilian. Beginilah masyarakat Indonesia kini, sangat memuja otak, sangat memuja kecerdasan. Lihat saja sekitarmu bagaimana manusia berusaha untuk menjadi cerdas, atau berusaha agar anaknya, setidaknya… terlihat cerdas. Pi, bukan anak cerdas. Dia tidak melakukan hal-hal yang brilian, tidak bertanya hal-hal yang membuat orang dewasa di sekitarnya kebingungan menjawab, tidak melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, tidak kreatif. Tapi Pi mampu memberikan afeksi ....

Suatu hari Pi menangis begitu keras, dia ingin sekali naik Kian Santang, kereta mini milik tetangga yang memang digunakan untuk mencari nafkah oleh si empunya. Kereta ini tiap sore berkeliling desa, tiap anak yang ingin naik harus membayar 1.000- 2.000 rupiah. Kereta ini tentu menggunakan speaker yang berisi lagu-lagu untuk menarik perhatian anak-anak.  Pi, seperti anak-anak lainya, ingin sekali bisa naik Kian Santang itu. Tapi apalah, Ibunya tidak mengijinkan. Uang yang hanya seribu dua ribu itu, ibunya tidak punya. Bapak Pi adalah buruh serabutan, apa-apa dikerjakan. Kalau malam sering mencari kepiting, ikan, atau ular di sawah.  Di daerahku pekerjaan ini disebut nyetrum, karena memang menggunakan seterum. Ibu Pi dulunya bekerja menjajakan makanan di kereta. Tetapi semenjak kehadiran Pi, sang Ibu berhenti berjualan untuk beberapa waktu, demi mengurus Pi. Pi menangis meraung raung karena tidak diijinkan untuk naik kereta mini tadi, pada akhirnya saking jengkelnya mendengar tangisan Pi mungkin, ibunya menggendong Pi menuju kereta yang notabenenya terparkir di jalan di depan rumahnya. Mendudukkan Pi di bangku penumpang dengan kasar, dan kemudian Ibu Pi ‘pura-pura’ meninggalkan Pi. Pi berhenti menangis sebentar, kemudian kembali menangis lagi memanggil ibunya ‘Ibu…. Ibu….’ Teriaknya sambil berlinang air mata. ‘Midhun bu…. Midhun….’ (turun bu… turun) Tau Ibunya akan meninggalkannya, Pi minta turun dan memilih ikut Ibunya.

Ibunyapun merasakan dilema yang tidak mengenakkan hati, di satu sisi ia kasihan kepada Pi yang ingin bermain dengan naik Kian Santang, disisi lain ia memang tidak memiliki sepeserpun untuk membayarnya. Dilema itu membuatnya sedih dan sedikit berairmata. Ibu Pi akhirnya menjemput Pi kembali dan mengendongnya masuk rumah. Ketika melihat Ibunya kembali dan menggendongnya, tangis Pi berhenti. Pi mengamati wajah Ibunya. Di rumah, setelah Pi diturunkan dari gendongan, Pi mendekati Ibunya dan menghapus air mata ibunya, “Ibu ampun nangis. Pi mboten nakal maneh bu, Pi mboten numpang Kian Santang maneh bu… ibu ampun nangis…” kemudian Ibunya langsung menciumi Pi. Semenjak itu, Pi tidak pernah merengek ingin naik Kian Santang lagi.

Ketika beberapa hari selanjutnya, Ibu Pi sedang begitu sibuk. Pagi hari memasak cukup banyak, Pi di dudukkan disampingnya dan diminta main sendiri. “dolanan dewe ya Le, Ibu tak masak ya..” kata ibunya. Dan selama ibunya masak, Pi duduk manis di dudukannya sambil bermain sendiri. Ketika ibunya menyuruhnya mengambilkan sesuatu, ia langsung mengambilkannya. Dapur keluarga Pi ada diluar, itupun memanfaatkan bagian rumah tetangga yang sudah kosong. Rumah tetangga itu terbuat dari anyaman bambu, jadi beberapa bagian dibongkar untuk lewat dari rumah Pi. Dari teras rumahku, dapur itu terlihat. Melongok sedikit saja kami sudah bisa melihat isi dapurnya. Karena temboknya yang dari bambu, suara kecilpun dapat kami dengar dari teras. Termasuk suara ibunya yang menyuruh Pi duduk dan main sendiri. Setelah memasak Ibu Pi harus mencuci banyak, menimba dan mengisi air di dapur (karena keluarga Pi juga masih numpang sumur tetangga), nyetrika, dan melakukan pekerjaan rumah lain. Seharian ibunya Pi melakukan itu semua. Pada siang hari, Ibu Pi istirahat. Leyeh-leyeh di dalam rumahnya. Pi yang bisa dikatakan dari pagi tadi tidak bermain bersama ibunya, padahal biasanya bermain, gojekan, atau momong Pi, mendekati Ibunya dan memijiti tangan Ibunya. “Ibu kesel.. Pi pijeti ibuk…” katanya tanpa diminta dan tanpa ada yang mengajari. Kemudian ibu Pi menghujani Pi dengan sanjungan dan pujian, hingga akhirnya menyuruh Pi untuk menginjak-injak punggungnya. Orang tua kalau sedang kelelahan biasanya melakukan pijat semacam ini. Pi, DUA TAHUN!

Minggu lalu, Ibu Pi cerita. Hari sebelumnya dia dan Pi dimarahin Bapaknya karena Pi bermain kunci karatan dan dimasukkan mulut. Bapaknya memiliki perangai yang kasar dalam berkata-kata. Hingga kata-kata burukpun keluar. Ibu Pi hanya bisa menangis, begitu pula dengan Pi. Setelah bapaknya selesai marah-marah, Pi yang masih sesengukan mendekati ibunya dan menghapusi air mata ibunya dengan tangannya. “bu… ampun nangis bu, pake nakal nggih bu… ibu ampun nangis” akupun justru terharu dan ingin menangis ketika mendengar cerita ini.

Baru kemarin, ketika ibuku meminta bantuan ibunya Pi untuk membawa sekarung arang dari tetangga. Teknisnya gini, ibuku akan membawa motor, kemudian sekarung itu akan dinaikkan di jok belakang, Ibu Pi akan memeganginya dari belakang sambil berjalan karena karung arang sudah memenuhi jok, tidak tersisa tempat buat dibonceni lagi. Motor akan dijalankan pelan-pelan. Karena jarak dari tempat mengambil arang hanya sejarak lima rumah, Ibu Pi tidak keberatan dan itu cukup praktis. Ibu Pi tidak pernah terpisah dengan Pi, maka Pi juga ikut. Untuk itu, Ibuku mengakali untuk menaikkan Pi di depan. Waktu semuanya sudah diatur, Ibuku berjalan pelan-pelan dengan motor, tetapi tanpa sadar kecepatan motor itu sedikit naik. Hingga akhirnya ibunya Pi harus berlari mengikutinya, melihat itu, Pi justru menangis “ibu… ibu…. Ibu ampun mlayu…. Ibu numpak wae… ibu bonceng wae..”. Pi, bocah ra pengen ibune tatu sithik-sithiko (tidak ingin ibunya menderita sedikitpum). Komentar ibunya setelah menceritakan kejadian ini.

Pernah Pi mengadu pada Ibunya, waktu itu ia melihat Ibuku di teras rumah. seperti biasa kami selalu memanggil dari rumah masing-masing. Waktu itu ibuku tidak mendengar dan tidak memperhatikan, sehingga tidak menjawab panggilan Pi. Pi bertanya, apakah ibuku marah dengan Pi sehingga tidak menjawab panggilannya? Ibunya memberi asalan, bisa saja Ibuku tidak mendengar. Ibuku mendengar cerita itu terheran sendiri, cah cilik kok iso ngrasakne men.

Begitulah Pi, dia juga sering memberikan komentar-komentar yang entah bagaimana tercetus dari mulutnya yang seperti komentar orang dewasa yang sudah mengerti kehidupan. Unik sekali bahwa Pi sangat bisa berempati, bahkan tanpa diminta, tanpa diajari atau diberi contoh. Ibunya juga heran dan sering bertanya kepada Pi, “kowe ki sing ngajari sopo?”. Bahkan kata-kata yang terlontar seperti orang dewasa itu juga bukan kata-kata yang diajarkan orang tuanya. Pi, memiliki kematangan emosi yang lebih matang dari anak-anak usianya. Bahkan lebih matang dari orang dewasa. Pernahkah kamu merasa bersalah kepada ibumu kemudian menghaupus air mata ibumu dan minta maaf? Bahkan aku kalah dengan Pi. Yang lebih menggetarkan hati, Pi pun belum tau kalau ibu yang ia kasihi, yang sangat ia sayangi, bukan ibu kandungnya sendiri juga tidak memiliki hubungan saudara. Ibu kandungnya tidak peduli lagi keadaan Pi sekarang. Mungkin juga tidak tahu kalau anaknya tumbuh seistimewa ini.

Sebelum balik ke jogja, aku masih sempat bermain-main dengan Pi dan ibunya. Mereka memang selalu bermain di depan rumahku. Ibu Pi bercerita, “Pi ndek mau cerito ngene, buk sesuk nek gedek aku arep mendem ngeneki, karo rekake mabuk. Bar dikandani kancane bapake kono kae, nek gedhe kon mendem wae, koyo wong ndelok dangdutan kae lho” (Pi tadi bercerita, bu kalau besar nanti aku mau mabuk seperti ini, sambil terhuyung-huyung memperagakan orang mabuk. Habis dikasih tau temannya bapaknya sana itu, kalau sudah besar mabuk saja, seperti orang yang melihat dangdut).

Pi. Semoga lingkungan tidak menghancurkan kepekaan hatimu. 

Pi. (bag 1)

21.00 0 Comments



Dalam perkembangan manusia, seseorang memiliki tahapan perkembangan yang sesuai dengan usianya. Namun, dalam dunia psikologi semua hal memiliki sifat typical-untypical. Psikolog meletakkan suatu keadaan seseorang dalam kelompok-kelompok tertentu. Kita sebut saja, labbeling. Memberi label. Psikolog membagi kepribadian-kepribadian manusia menjadi kelompok-kelompok, dan memberikan label, memberi nama pada setiap kelompok itu. Psikolog menyebut seseorang itu memiliki kepribadian tipe A, seorang introvert, seorang conscientiousness, seorang koleris, seorang reserved atau outgoing dan lain sebagainya. Lebih jauh, psikolog juga memberi label kepada orang-orang yang memiliki tingkah laku yang tidak umum. Mereka memberi label ADHA, autism, Skizhophren, bipolar, OCD, atau jenis gangguan yang lain. Bagi psikolog, itu penting karena label itu berfungsi sebagai petunjuk dalam mamberikan treatment, dalam memberikan perlakuan. Tapi pada masyarakat umum, kadang label (yang seharusnya dipakai atau diketahui psikolog saja –menurutku-) dijadikan sebagai olok-olok.


Saya bukan (belum) psikolog, saya cuma mahasiswa psikologi. Untuk itu saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak memberi label kepada orang-orang yang berinteraksi dengan saya.  Tidak mendeskripsikan tingkah laku seseorang kedalam konstrak-konstrak psikologis, tidak mendikte perilaku seseorang dengan teori-teori yang saya pelajari. Bukan hanya dalam ucapan atau tingkah laku, bahkan saya melarang pikiran saya sendiri untuk melakukan hal itu. Saya lebih senang melihat seseorang sebagai pribadi-pribadi yang unik, untypical. Kelebihan dan kekurangannya merupakan kombinasi yang unik yang membentuk kepribadiannya. Itu membuatku lebih mudah menerima seseorang apa adanya, dan (semoga) itu tidak membuat seseorang menjadi takut kepadaku, hanya karena aku belajar psikologi. Tapi, bagaimanapun tentang apa yang saya ketahui, saya pelajari dan saya yakini tentu membentuk bagaimana saya mempersepsi sesuatu atau berperilaku. 


Kembali ke paragraf pertama tadi. Tentang typical-untypical. Toh, meskipun psikolog telah mengelompokkan keadaan manusia menjaga kelompok-kelompok yang rigid dari berbagai teori, tetap saja manusia adalah makhluk yang unik. Seorang extraversion dalam big five personality dapat digambarkan sebagai seorang yang sociable, fun-loving dan affectionate. Tetapi tidak mutlak seseorang yang masuk dalam kategori tersebut memiliki sifat yang sama persis dengan teori yang paparkan. Bisa saja ia memang sociable, tetapi tidak fun-loving atau dengan kadar fun-loving yang lebih rendah sehingga masuk dalam kategori sober. Bisa saja seseorang yang terdiagnosa bipolar atau manik depresif memiliki karakter yang tidak sama persis dengan DSM V atau PPDGJ.  Bahkan setiap orang dengan diagnosa yang sama memiliki catatan dan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Begitu pula (kembali pada kalimat pertama paragraf pertama) dengan perkembangan manusia. Meskipun tahapan perkembangan manusia telah dirumuskan secara rigid, multidiciplinary, multidimentional, namun harus kita ingat bahwa perkembangan manusia juga plastics dan contextual, ini bisa menjadi alasan bahwa perkembangan manusia bisa berbeda satu sama lain.