Follow Us @soratemplates

26/04/13

Tidak akan seperti itu, Tuhan.

12.57 3 Comments


Tidak ada yang salah dengan emosi, tetapi bisa saja dengan cara mengungkapkan emosi. Orang boleh marah, kecewa tetapi uangkapkanlah dengan ‘tidak menyakiti’ orang boleh bangga, bahagia tetapi ungkapkanlah dengan ‘tidak menyakiti’.

Beberapa tahun yang lalu, saya begitu seringt dengan sekelompok teman. Seperti peer group biasanya kita ngobrol, sharing, ketawa, makan, atau hang out kemana bersama. Suatu hari aku baru merasa tersadar, ada satu teman yang selalu menghindar ketika satu teman lain bercerita. Aku baru sadar ketika salah seorang teman bercerita tentang keluarganya, ia minta ijin telfon. Biasanya kita abai, dan bilang ‘yayaya…’ tanpa menoleh padanya, tentu karena kita sedang asyik menyimak cerita keluarga tadi, tapi kebetulan aku sedikit menoleh kepadanya dan tanpa sengaja aku melihat layar HP yang digenggamnya gelap. ‘Lho kan nggak ada yg nelponin dia’ batinku. Tapi sepertinya memang tidak ada yang memperhatikannya selain aku. Karena penasaran, aku juga mengikutinya, tapi kali ini aku tidak minta ijin ke teman-teman, lupa, terlalu ‘terperangah’ dengan pandangan sekilasku tadi.


Dan ya.. dia tidak menerima telepon, dia pergi ke kamar mandi. Tak tau kenapa aku nungguin dia keluar kamar mandi. Ternyata cukup lama juga dia di kamar mandi –anehnya ketika dia di kamar mandi tidak ada suara air- . Begitu keluar aku kaget, matanya merah, dia juga kaget ketika melihatku di depan pintu kamar mandi. “Kamu kenapa e? kok merah matamu, habis nangis?” kadang aku memang nggak tau basa-basi.
Kemudian dia berjalan menuju dapur, disana ada tempat duduk yang cukup enak buat ngobrol. Aku tau dia akan bercerita banyak. “Tapi tolong jangan kasih tau temen-temen yang lain ya..” ia membuka obrolan. “sori kalau aku sering begini, aku bukannya nggak mau menghargai… tapi,” “ntar, begini gimana maksudnya?” “ya ini pergi keluar ketika kalian ngobrol tentang keluarga,” ah, aku memutar memori di otak. Kalau cerita tentang keluarga kayaknya sering banget kita lakukan. Tapi kok aku tidak menemukan memori tentang keluarganya anak ini ya? Ya ampun, dia memang tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Aku jadi merasa bersalah karena begitu tidak perhatian terhadap teman sendiri. Dan apa yang dia bilang tadi? Pergi keluar ketika kita sedang ngobrol masalah keluarga? Masya Allah. Aku mengutuki diriku, aku benar-benar tidak memperhatikannya. Bagaimana bisa? Ya ampun, aku merasa sangat bersalah.
Kalian semua memiliki keluarga yang bahagia, -kemudian dia menyebut nama kita satu-satu- tetapi aku tidak. Apalagi kalau mendengar cerita keluarga –dia menyebut salah seorang teman yang sering banget cerita tentang keluarganya yang gokil dan hangat-. Aku setiap hari musti dengerin treakan bapak, treakan ibu, gebrakan meja, sindiran dan saling menjatuhkan antara kedua orang tuaku. Aku nggak pernah tau apa yang bisa kulakukan. Aku iri dengan kalian, aku ingin punya keluarga kaya kalian. Ketika dengerin kalian cerita, nggak tau kenapa aku selalu pengen nangis, kenapa keluargaku nggak seperti keluarga kalian, aku juga ingin bisa cerita bahagia seperti itu


Dia bercerita lirih-lirih sambil menangis. Aku semakin merasa bersalah, betapa tidak care nya aku sama temen sendiri, “ri, maafin kita….” Cuma itu ternyata yang bisa keluar dari mulutku.
Enggak Yu, kalian gak salah. Gak ada yang salah, jangan merasa bersalah karena aku. Memang keadaanku seperti ini


Aku tetap berfikir bahwa aku salah, aku tidak berempati. Kita memang patut bersyukur karena suatu kebahagiaan (keluarga yang hangat misalnya) tetapi kita juga musti aware terhadap orang lain ketika ingin mengungkapkan kebahagiaan.



Tuhan, aku tidak ingin menjadi seperti itu. Yang berbahagia dan beruntung namun membuat sesak yang lain. Semoga aku selalu ingat untuk tetap rendah hati ketika diberi kebahagiaan dan keberuntungan.



Kemudian, setelah kejadian itu aku menjadi sedikit aware terhadap lingkungan. Hal-hal kecil kadang menjadi perhatianku. Suatu hari temanku yang belum menikah mengomentari teman lain yang sudah menikah ketika ia terserang sindrom – post-marriage-lebayatun-on-social-media – kata-kata ini aku dapat dari salah satu Tumblr seorang teman. Teman yang habis menikah ini sering sekali posting-posting status mesra dan ‘pacaran’ di facebook. Mungkin baginya itu menyenangkan dan memang hak dia. Tapi lihat di mata teman dekatnya dahulu ini, bahkan dia sudah bertahun-tahun berikhtiar biar bisa segera menikah, namun ada aja halangan. Ah, sayang sekali TEMAN DEKAT-nya saja luput dari rasa empatinya.


Dalam kasus ini, kadang MEDSOS menjadi sesuatu yang menfasilitasi ‘menyakiti orang lain tanpa sengaja’. Memasang foto-foto wisuda memang tidak ada salahnya, tapi itu juga hal yang akan membuat sesak perasaan temanmu yang belum bisa wisuda. Apalagi jika itu teman dekatmu. Aku tetiba keinget Ri, teman yang orang tuanya bertengkar tadi, dia suatu kali berkata, “Yu, tau gak. Aku sering men-skip status facebook, foto, twit orang yang menceritakan kebersamaan atau kebahagiaan keluarganya…hee, jahat ya aku?” “lhah, kenapa?” “kalau aku membaca dan melihat semua itu, aku jadi berfikir kalau semua orang itu bahagia dengan keluarganya. Dan  yang tidak bahagia, yang keluarganya berantakan Cuma aku sendiri. Cuma aku sendiri yang tidak beruntung, Yu” dia bicara seperti itu sambil ngawang pandangannya. O, ya ampun, aku ingin memeluk anak ini. Oya, setelah kejadian kamar kamdi dulu aku berjanji untuk mendengarkan ceritanya dan berjanji menjadi teman yang empatik baginya.



Ah, ada cerita lagi tentang mengungkapkan kebahagiaan. Suatu hari aku menyapa seorang teman yang duduk di bangku taman sendirian. Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya, Cuma kenal aja. Tapi karena aku punya kepentingan untuk duduk ditempat itu juga –janjian sama orang disitu- maka aku harus menyapanya. “hey, Ga. Sendirian? Luri mana? Biasanya sama Luri? Temen seperjuangan sehidup semati itu?” semua orang yang tau dia aku jamin bakal menanyakan hal serupa dengan pertanyaanku. Ga dengan Luri itu udah kayak pacar kemana-mana bareng dan tidak terpisahkan. Dan teman seperjuangan sehidup semati, Ga dan Luri yang pernah mengikrarkan itu sendiri pas ngerjain tugas bareng. “Lagi sibuk sama Mena dia”. “Oh… eh, bukannya dia menang lomba esay itu ya? Ya nggak sih? Bukannya sama kamu itu kelompoknya?” aku masih datar, aku masih belum menangkap keadaan Ga. “Ya itu Yu…” dia berkata sambil memothel-mothel kayu kecil seukuran korek api di tangannya.  Kenapa?” kali ini aku baru sadar kalau ada sesuatu. “Pernah nggak sih kamu ngalamin… apa ya namanya… kamu kira orang itu disisimu dan mendukungmu, tapi ternyata tidak? Kamu taukan deketnya aku sama Luri, essay itu aku yang tau infonya lebih dulu. Karena itu essay kelompok, wajarlah yang tak ajak Luri. Aku kira dia temen seperjuanganku Yu, tapi ternyata tidak. Aku baru sadar kalau hampir semua bahan yang ngerjain aku, sampe masalah sepele ngumpulin ke rektorat itu aku sendirian. Dulunya sih aku maklum kalau Luri ngerjain tugas atau lagi nganterin mamanya kemana gitu. Ya, aku maklum dan gak papa ngerjain ini sendiri, Luri itu udah tak anggep sodara. Tapi pas pengumuman aku baru tau, kalau ternyata Luri join sama kelompoknya Mena.Ternyata fokus Luri lebih ke Mena. Ya itu Yu, sedih banget rasanya kalau kamu nyangka itu temen seperjuanganmu tetapi ternyata tidak. Dan lagi, Luri nggak toleran lagi, apa dia nggak mikir perasaanku apa aku kalah gini? Dia tu seriiing banget update status tentang keberhasilannya, tentang kemenangannya. Kayaknya tu, aku bener-bener nggak dipertimbangkan apa ya sama dia?” 


Itu, aku nggak tau musti bilang apa. Dulu aku Cuma kasih nasihat yang sebenernya lebih bisa dihitung sebagai basa-basi daripada nasihat.


Aku jadi teringat kembali, dulu waktu SMA aku pernah mengupamakan bahwa setiap orang itu membawa pedang yang terbuka di punggungnya. Kalau dia tidak berhati-hati maka yang terkena goresan pedang itu (dan pasti tidak sengaja) adalah orang yang dekat dengannya.


Kemudian aku juga teringat dengan cerita Frankenstein –buku terjemahan pertama yang aku baca- disana aku mengambil kesimpulan, asal mula kejahatan adalah sikap ketidakadilan. Dan dari buku itu aku memahami bahwa ketidakadilan itu bukan berasal dari orang bodoh, orang miskin, orang menderita. Tetapi orang cerdas yang tidak empati, orang kaya yang tidak empati, dan orang yang bahagia yang tidak empati. Yang tidak memikirkan perasaan yang dalam keadaan tidak menyenangkan.



Bahagia, boleh saja. Tapi cara mengungkapkan kebahagiaan yang tidak empati, malah bisa menyakiti. Sedihnya, yang tersakiti adalah orang terdekat kita.

Tuhan, Aku tidak akan seperti itu.

21/04/13

Perjalanan (mematikan) Rasa

21.01 0 Comments


Suatu hari, aku akan menjadi yang seperti kau harapkan. Jiwaku mati dan aku sudah tidak bisa merasakan: Suka cita dan kesedihan. Jatuh cinta dan penderitaan.

Suatu hari, aku akan menjadi seseorang yang kau katakan: Menanggalkan perasaan!

Ingat-ingat, aku selalu ingat. Di pagi yang usang, yang hanya dingin dan basah serta udara yang beraroma. Seolah, pagi ini hanya kita berdua yang hidup di dunia, ya?, katamu. Setelah ide gila berjalan dari tengah malam hingga pagi menyusuri jalan aspal ibu kota ini.  Kau tau, ada yang tidak beres dalam sistem kita? Aku mulai bergidik, di pagi yang usang ini, di sela peluh yang merembas bersama embun ini, kita berjalan tertatih ditengah tanjakan dan kau ingin membicarakan sistem? Sistem kehidupan? Sistem pemerintahan? Sistem apa? Aku malas sekali mendengarnya. Dan saat itu, aku mulai menyesal kenapa kita tidak langsung jatuh cinta saja? Mengapa jatuh cinta kepadamu harus memenuhi aturan –berjalan dari tengah malam hingga pagi di jalan utama ibu kota?- Aku merasa dipermainkan. Kamu pahamkan kalau aku sedang membicarakan perasaan? Perasaan kita?Aku berhenti berjalan, melihatmu tak paham. Kau melihatku sebentar dan meneruskan sisa tanjakan. Ingin sekali aku memukul kepalamu dari belakang. Kamu yang aku kenal pendiam, mengapa jadi filosofis dan menyusahkan seperti ini. Urung, aku mengikutimu dari belakang. Manusia, kita… makhluk yang istimewa. Kenapa? Karena kita punya perasaan, lihat kita sedang merasakan cinta. Dari samping aku melihat senyummu sedikit mengembang, sinis. Nah, kenapa tak dari dulu kau mengakui itu, mudah kan: kita jatuh cinta. Oh, tunggu, tidak ada kata ‘jatuh’ disana, tapi merasakan cinta. O God, betapa satu kata saja membuat perbedaan yang sungguh membuat sesak. Aku sangat yakin dia memiliki perasaan yang sama denganku, dan ya kita memang selalu bersama. Meski pergaulan kita tampak seperti sahabat yang hangat dan tidak seperti sepasang kekasih, namun aku sangat tau dia sangat bergantung denganku. Kadang aku merasa seperti digantung dan dimanfaatkan. Namun dalam frasa yang dia utarakan pagi itu, aku menjadi paham. Dia mengakuinya akhirnya, dia merasakan cinta, tapi dia tidak jatuh.
Perlu wakktu lama untuk mendengarkan kalimatmu selanjutnya. Hingga kita sampai di ujung tanjakan dan menikmati jalan yang datar. Kemudian kamu berhenti dan terlentang ditengah jalan. Aku mulai berfikir bahwa aku jatuh cinta kepada seorang gila, seorang maniak yang eksentrik!


Kemarilah, bintang terlihat jelas jika dilihat vertikal begini. Tak ayal aku melakukan juga. Dan kita lebih enak membicarakan Tuhan sambil melihat bintang-bintang. Mulanya aku berharap suatu hal yang romantis dengan adegan -tidur terlentang di tengah jalan memandang bintang sebelum shubuh-, tapi kemudian aku tersadar bahwa kita akan bergelut pada hal-hal teologis. Tapi anehnya, ketika kita diturunkan ke dunia, kita disuruh mematikan semua perasaan itu. Aku nggak ngerti. Maksudmu? Tuhan mulanya memberikan hak istimewa kepada manusia berupa perasaan, tetapi kemudian kita disuruh mematikannya? Aku tidak paham. Jangan bilang kau ingin mengatakan jika Tuhan melakukan kesalahan? Kamu diam beberapa saat, memejamkan mata sebentar kemudian menjawab, itu yang aku pikirkan.


Itu kejadian beberapa bulan lalu. Mulanya aku sangat beroposisi dengan pendapatmu. Aku tidak mau melakukan hal yang kamu percayai dan kamu lakukan: mematikan perasaan! Manusia memang menjadi deviant dari makhluk lain karena ia memiliki perasaan. Perasaan ini yang membuat menusia berbeda dengan makhluk lainnya di dunia, pun dengan yang di luar dunia. Hewan memiliki akal dan nafsu, tapi mereka tidak memiliki perasaan. Hewan bisa saja menjadi teman baik bagi manusia, anjing misalnya. Bukan karena perasaan sayang, tetapi karena hewan ini belajar bahwa jika baik terhadap majikan akan diberi makan. Hal itu adalah kerja nafsu dan akal.


Manusia,dengan perasaan akan memiliki kesempatan untuk merasakan beberapa emosi yang kompleks dan kadang saling tumpang tindih. Suka, duka, putus asa, iri, marah, terabaikan, dihargai, hormat, bergairah, atau yang lainnya. Aku belajar psikologi dan beranggapan bahwa manusia perlu bersyukur karena memiliki perasaan yang mampu merasakan emosi yang beraneka ragam. Itu suatu harta kekeayaan dan keberlimpahan. Bagiku, sudah sewajibnya manusia mengakui seluruh emosi yang ia rasakan, baik itu emosi positif atau negatif seperti marah, benci, dll. Sepanjang aku belajar psikologi, emosi yang tidak diakui ini justru akan terlampiaskan kepada hal lain. Seperti perasaan kecewa yang dirasakan Istri terhadap suami, tapi karena Istri beranggapan bahwa suami adalah kepala keluarga dan harus dituruti maka istri memendam rasa kecewa itu. Emosi yang dipendam terlalu lama akan menjadi bom waktu, atau terlampiaskan ke hal lain misalnya Istri menjadi judes dan cepat marah kepada anak (karena tidak bisa melampiaskan kepada suami). Tetapi lelaki ini berfikir lain denganku…


“Lihat kita, manusia. Dengan kemampuan perasaan. Pada saat kecil, kita bebas mengekspresikan apa yang kita rasakan. Kalau marah ya marah, sedih ya nangis, seneng ya ketawa. Tapi semakin dewasa kita disuruh untuk belajar mengendalikan, kata orang, tapi bagiku, belajar untuk sedikit demi sedikit menhilangkan perasaan yang kita rasakan. Bayangkan, bagaimana orang bisa disebut dewasa? Dunia kita mendefinisikan orang yang dewasa adalah yang bisa ‘tidak menunjukkan perasaan kita yang sebenarnya’ yang misalnya sedang ada masalah bisa tidak memperlihatkan masalah, ketika marah bisa tidak menunjukka rasa marah, dan sebagainya. Dan lihat pula, Agama kita juga mengajarkan hal yang sama: untuk tidak terlalu bahagia jika bahagia, terlalu sedih jika sedih dan bahkan fenomena ini yang membuatku tersadar: orang yang tersenyum ketika marah, terlihat bahagia ketika ditimpa masalah berat. Itu dianggap orang yang berjiwa besar, orang yang bersabar. Bagiku, dia orang-orang yang seperti itu adalah orang yang sudah sukses mematikan perasaannya. Ya, maka disinilah aku dengan konsepku yang sebenarnya konsep masyarakat pada umumnya juga, namun mereka terlalu naif mengakuinya. Kita hidup di dunia hanya untuk melawan dan mematikan rasa”


Aku beranjak bangun dari tanah aspal setelah ia mengakhiri kalimatnya. Pulang. Meninggalkan ia sendirian. Dan dalam perjalanannya, beberapa bulan berlalu setelah kejadian itu, aku menjadi manusia yang seperti apa yang ia katakan, manusia yang menanggalkan perasaan. Perjalanan kita, perjalanan mematikan rasa.

11/04/13

Heart of gold

19.07 0 Comments

Hari ini pikirannya berubah, lelaki ini berubah. Patah hati tidak akan membuatnya lengah, tidak akan membuatnya marah. Dia tersenyum dan melangkah.

Suatu hari dia bercerita sambil mengusap wajahnya. Ini untuk kesekian kali, tapi aku tak peduli. Aku tidak lelah patah hati. Aku tidak marah tersakiti. Aku ingin tau apa itu cinta dan semua rasa yang mampu diberikan manusia. Jika tak ada satupun yang menberitahukanku apa artinya, maka aku akan merasakannya sendiri, aku merasakan, seluruh emosi yang tukar menukar, seluruh perasaan dan permainan. Ketika aku patah, aku akan berlari mencari cinta lagi, patah lagi berlari lagi, mencari lagi. Kau tahu, jika saja kau bisa melihat bentuk hatiku, pasti ia ia babak belur karena teradapat banyak bekas luka dan mengkerut karena lelah menempuh perjalanan panjang. Perjalanan dengan wanita dari berbagai kepribadian dan latar belakang. Sampai saat ini aku belum menemukan, apa itu cinta. Tapi aku tidak lelah mencarinya.

Dia, lelaki itu. Mungkin hanya Tuhan yang tau: berhati emas.





Hari ini pikirannya tidak berubah, wanita ini tidak berubah. Kejenuhan tidak akan membuatnya lengah, tidak akan membuatnya marah. Dia tersenyum dan tetap melangkah.

Suatu hari dia bercerita sambil mengusap wajahnya. Ini untuk kesekian lamanya, tapi aku tak peduli. Aku tidak lelah menunggu. Aku tidak marah terabaikan. Aku ingin tau apa itu cinta dan semua rasa yang mampu diberikan manusia. Jika tak ada satupun yang menberitahukanku apa artinya, maka aku akan merasakannya sendiri, aku merasakan, memelihara kesucian perasaan dan kesetiaan. Aku tidak peduli berapa lama dan bagaimana keadaan ini tukar menukar. Aku hanya percaya, Tuhan akan mengembalikannya padaku lagi, suatu hari. Dalam keadaan apapun aku akan menerimanya. Kau tau, jika saja kau bisa melihat bentuk hatiku, kau akan bisa mengeja namanya disana, dengan sangat jelas. Dan kau tidak akan menemukan ruang sekecil apapun selain namanya. Sampai saat ini aku belum tau apa itu cinta. Tetapi aku percaya ia ada, salah satunya dengan kesetiaan dan kemurnian yang aku jaga. Aku tidak lelah menunggunya

Dia, wanita itu. Mungkin hanya Tuhan yang tau: berhati emas.


If time is all I have

18.43 0 Comments

Ketika Kamu terbangun
Nyalakan radionya
Dan Kamu akan mendengar lagu sederhana ini
Yang aku buat,
Yang aku buat untukmu
Ketika kau dijalan
Keraskan radionya
Karena aku tidak dapat bernyanyi dengan cukup keras
Akan susah sekali
Untuk menyampaikan pesanku
Jika semua waktu kumiliki
Aku akan menghabiskan semuanya untukmu
Seluruh hari akan ku ulang
Inilah apa yang dilakukan orang patah hati
Aku lelah berbicara pada ruang kosong
Dan keheningan yang membuatku terus terjaga
Ketika kamu menikah
Dan Kamu melihat sekitarmu
Aku akan berada di keramaian itu
Yang berair mata itu, itu bukan aku
Ketika kita menua
Dan ingatan kita memudar
Tapi aku selalu merasakan yang sama
Selama aku hidup
Jika semua waktu kumiliki
Aku akan menghabiskan semuanya untukmu
Seluruh hari akan ku ulang
Inilah apa yang dilakukan orang patah hati
Aku lelah berbicara pada ruang kosong
Dan keheningan yang membuatku terus terjaga

Tak maukah kamu menyebut namaku, sekali saja? Tolong sebut namaku!
Tak maukah kamu menyebut namaku? Ketika lagu ini berakhir?




When you wake up
Turn the radio on
And you'll hear this simple song
That I made up
That I made up for you
When you're driving
Turn the radio up
Cause I can't sing loud enough
Hard these days
To get my message through
If time is all I have
I'll waste it all on you
Each day I'll turn it back
It's what the broken-hearted do
I'm tired of talking to an empty space
Of silences keeping me awake
When you marry
And you look around
I'll be somewhere in that crowd
Torn up, that it isn't me
When we're older
The memories fade
But I know I'll still feel the same
For as long as I live

And if time is all I have
I'll waste it all on you
Each day I'll turn it back
It's what the broken-hearted do
I'm tired of talking to an empty space
Of silences keeping me awake
Won't you say my name, one time
Please, just say my name
Won't you say my name
When the song is over

Sakit

18.40 0 Comments


Pernah sakit?
Aku pernah sakit. Di kos sendirian, sangat lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak hanya untuk sekedar membeli makan, untuk mengambil air putih pun sangat susah. Sedang mulut dehidrasi, untuk duduk saja gemetaran. Saat sakit adalah saat seseorang membutuhkan orang lain. Aku pernah merasakan itu, tetapi pada saat itu memang tidak ada orang yang membantuku. Akhirnya, mau tak mau memang harus bergerak sendiri. Ke kamar mandi untuk membersihkan diri meskipun serasa mau pingsan. Dan terhuyung keluar untuk mencari makan sendiri karena sudah dua hari tidak makan nasi, meski lima langkah berhenti untuk sekedar ‘menghilangkan’ kunang-kunang dan tubuh yang seketika menjadi dingin meriang.
Sakit, aku pernah mengalami itu. Sakit dan sendiri aku juga pernah merasakan itu. Itu mengapa aku mau berempati…


Setiap ada teman yang aku tau dia sakit dan dalam keadaan sendiri, aku akan menghubunginya. Menawarkan diri apa yang bisa aku lakukan, membelikan makan misalnya. Kadang orang akan berfikir ini berlebihan. Bayangkan jika ketika kamu menulis di medsos bahwa kamu sakit dan belum makan tiba-tiba ada orang yg SMS, “hey, km sakit apa? Q lagi di jalan, q bisa mampir kosmu. Mau dibawain apa? Makan atau obat?” kadang ada yang menerima tawaranku. Aku senang dengan itu. Tapi kadang ada yang tidak dan membalas “ya ampun yu, aku gak papa kali, gak usah repot-repot”. Aku tidak merasa repot. Aku hanya pernah merasakan tidak enaknya sakit sendirian. That’s way, ya berempati.


Tapi kemarin aku sakit, lagi. Meskipun sebenarnya aku jarang sakit. Tapi sakitku hampir sama dengan sakit yang pertama dulu, itu 2 tahun yang lalu. Meriang, tidak bisa kemana-mana. Duduk saja berkunang-kunang. Berdiri tidak tahan karena rasanya hampir pingsan. Jangankan itu semua, mengambil air putih yang kurang dari satu meter dari tempat tidurku saja tidak mampu. Dan ya, seperti sakit sebelumnya. Aku sendirian. Tidak ada yang membantu, tidak ada yang menawarkan bantuan. Dua hari tidak makan, aku memaksakan diri untuk keluar, aku harus makan! Dan lagi, berhenti sebentar setelah lima langkah untuk menghilangkan kunang-kunang. Ditempat makanpun aku tiduran sampai penjualnya menegurku. Saat itu aku berfikir, aku butuh seseorang, aku butuh seseorang seperti aku. Aku yang lain. Yang menawarkan bantuan.


Kemudian aku berfikir bahwa semua empatiku percuma. Dan dunia memiliki aturan sendiri yang ternyata berlawanan dengan yang aku percaya selama ini. Moral masa kecilku mengajariku bahwa siapa yang berbuat baik akan menerima kebaikan, siapa yang menolong akan ditolong, siapa yang mengasihi akan dikasihi. Siapa yang peduli akan dipedulikan. Tapi ternyata kenyataan saat ini berkebalikan berbuat baik, belum tentu dibaikin. Menolong belum tentu ditolong. Memprioritaskan, belum tentu diprioritaskan. Peduli, belum tentu dipedulikan. Tidak, aku tidak sedang membahas balasan atau pamrih yang akan aku dapatkan, tetapi tentang hukum alam, sunatullah yang seharusnya berjalan tetapi tidak berjalan. Seperti sepeda motor yang kondisinya oke hanya tinggal bensinnya saja agar bisa berjalan. Kemudian kamu mengisi bensinnya, tetapi motor itu masih tidak berjalan. Itu menyalahi aturan.


Maka seyogyanya manusia. Jika suatu aturan tidak berlaku, maka ia akan menyesuaikan diri dengan membuat aturan sendiri. Dan pada akhirnya aku menerima, sehingga aturannya menjadi seperti ini: jika kamu berbuat baik, tergantung bagaimana orang yang kamu baiki. Jika kamu peduli, tergantung bagaimana orang yang kamu pedulikan. Maka jika A tidak harus B, bisa saja C,D atau yang lainnya.


Oh, ya. Pasti kamu berfikir inikan masalah simpel bahwa tidak ada yang tau aku sakit dan aku tidak minta pertolongan kepada teman misalnya. Aku pernah sakit dan minta tolong kepada teman, teman yang sangat aku percaya. Dan aku merasa kita sangat dekat, itu kenapa aku mau minta tolong kepadanya. Makan, aku minta tolong untuk dibelikan makan karena ya jika sakit memang malas sekali untuk makan dan sehari semalam aku belum makan, pagi itu aku minta dibelikan sarapan hanya agar aku memiliki tenaga sehingga aku bisa melakukan keperluanku sendiri tanpa harus merepotkan orang lain lagi. Pagi itu aku lapar sekali dan ingin segera menyudahi sakitku, setidaknya dengan sedikit memiliki tenaga dari makanan tadi. Dia pergi mencari makan dengan membawa motorku, biar lebih cepat. Tapi ternyata temanku tadi lama sekali, hampir satu jam. Aku tidak menyangka bakalan selama itu, sedang aku sangat merasa lemas sekali dan ya, membutuhkan makanan. Setelah kembali aku akhirnya tau, sebelum membelikanku sarapan ternyata dia sarapan dulu dengan pacarnya. Pantas saja satu jaman. Saat tau itu aku tidak bisa berekspresi apa-apa, karena aku sangat lemas bahkan untuk sekedar berekspresi. Tetapi dalam hati aku berjanji, aku tidak akan pernah minta tolong lagi. Dia, adalah teman yang sangat aku percaya. Dan aku merasa kita dekat. Aku tidak akan minta tolong lagi.


Kekanakan? Aku belajar psikologi dan aku tau letak id-ego-superego. Menolong orang lain adalah superego yang membuat ia harus melakukannya, karena tuntutan sosial. Bukan kemauannya. Tetapi  bertemu dengan kekasih adalah id tidak tak bisa terelakkan dan itu merupakan pertarungan id-ego-superego yang biasa terjadi. Dan aku diletakkan di superego itu, meskipun aku jauuuh lebih mengenal dan membersamainya. Ah, sebenarnya masih banyak hal yang mendalam tentang id-ego-superego ini. Dalam psikologi ini merupakan dasar perilaku manusia. Bagini saja, aku gambarkan seperti sebuah ruangan konser, kita setiap pribadi memiliki ruangan sendiri. Ruangan itu ada bagian tempat duduknya: VVIP, VIP, tribun. Dan kau meletakkan teman-temanmu menurut prioritas id mu, menurut kemauanmu, kesenanganmu. Teman-teman yang kau anggap baik, bisa diandalkan, selalu ada, hangat dan menyenangkan akan kau taruh di depan dan kau namai sebagai sahabat karib, dan di tribun terahir, di kursi yang belakang, disana letak temanmu yang ada dan tiada. Yang hanya kau tau namanya, yang hanya ‘teman menyapa’. Aku meletakkan sebagian teman-temanku di tempat duduk terbaik, VVIP dimana jika mereka membutuhkanku aku akan selalu sedia ada. Tetapi yang membuatku kaget dan tersadar saat ini. Ketika aku mengunjungi ruangan-ruangan konser teman-temanku yang aku letakkan di barisan depan. Ternyata kursi yang bertulisakan namaku tidak ada di bagian depan. Aku ditempatkan ditengah atau bahkan dibelakang. Ini seperti kamu sangat mementingkan mereka sedang mereka tidak terlalu mementingkanmu. Dan itu hampir semua, hampir semua orang yang aku dudukan di depan seperi itu. Itu menyakitkan. Kadang, daripada aku duduk dibelakang, mending aku keluar, keluar dari ruangan konser pertemanannya. Dia tidak akan merasa kehilangan, karena aku di dudukan di belakang, ada dan tiada tidak terlalu dipentingkan.



menolong orang lain bagi orang lain ditempatkan di superego, karena ini tuntutan sosial. Perbuatan baik yang harus dilakukan. Tapi bagiku (dahulu), menolong orang lain aku letakkan di ego. Karena berakar dari empati. Aku pernah merasakan kesusahan itu dan tidak ingin orang lain merasa sesusah itu pula


Aku berhenti minta tolong (kini dalam banyak hal). Aku kapok. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan pertolongan kalau aku tidak minta tolong? Ah, bahkan dalam kasus aku menghubungi teman yang sedang sakit, mereka juga tidak meminta pertolonganku bukan? Tapi aku yang menawarinya. Aku butuh orang seperti aku, aku yang lain


Atau aku harus sering-sering mengeluh-ngeluh di medsos agar orang berempati dan aku mendapat perhatian?


Tapi sayang,  pertama: aku tidak tau cara mengeluh (mungkin blog ini satu2nya cara mengeluh yg aku tau) kedua, aku tidak sedang dalam rangka mencari perhatian.