Follow Us @soratemplates

21/06/13

After Ego

16.42 0 Comments
“Say to my friends, when they look upon me, dead
Weeping for me and mourning me in sorrow

Do not believe that this corpse you see is myself
In the name of God, I tell you, it is not I,
I am a spirit, and this is naught but flesh

It was my abode and my garment for a time.
I am a treasure, by a talisman kept hid,
Fashioned of dust, which served me as a shrine,
I am a pearl, which has left it’s shell deserted,
I am a bird, and this body was my cage

Whence I have now flown forth and it is left
as a token Praise to God, who hath now set me free

And prepared for me my place in the highest of the heaven,
Until today I was dead, though alive in your midst.
Now I live in truth, with the grave – clothes discarded.

Today I hold converse with the saints above,
With no veil between,
I see God face to face.
I look upon “Lauh-Mahfuz” and there in I read
Whatever was and is and all that is to be.

Let my house fall in ruins, lay my cage in the ground,
Cast away the talisman, it is a token, no more

Lay aside my cloak, it was but my outer garment.
Place them all in the grave, let them be forgotten,
I have passed on my way and you are left behind
Your place of abode was no dwelling place for me.

Think not that death is death, nay, it is life,
A life that surpasses all we could dream of here,
While in this world, here we are granted sleep,

Death is but sleep, sleep that shall be prolonged
Be not frightened when death draweth night,
It is but the departure for this blessed home

Think of the mercy and love of your Lord,
Give thanks for His Grace and come without fear.

What I am now, even so shall you be
For I know that you are even as I am
The souls of all men come forth from God
The bodies of all are compounded alike
Good and evil, alike it was ours

I give you now a message of good cheer
May God’s peace and joy for evermore be yours.”

- Imam Al-Ghazali

18/06/13

81(29)

23.52 2 Comments
Apabila matahari digulung.  
Dan apabila bintang-bintang berguguran.  
Dan apabila gunung-gunung dihancurkan.  
Dan apabila unta-unta bunting dibiarkan.  
Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.  
Dan apabila lautan menggelegak.  
Dan apabila diri-diri manusia dipertemukan.  
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikuburkan hidup-hidup diperiksa.  
Kerana dosa apakah mereka dibunuh.  
Dan apabila catatan amal dibentangkan.  
Dan apabila langit-langit dilenyapkan.  
Dan apabila neraka dinyalakan.  
Dan apabila jannah didekatkan.  
Setiap diri akan tahu apa yang telah dikerjakannya.
Maka Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang timbul-tenggelam.  
Yang beredar dan terlindung.  
Dan malam apabila hampir luput.  
Dan subuh apabila mulai terang.  
Sesungguhnya ia benar-benar perkataan utusan yang mulia.  
Yang memiliki kekuatan di sisi Pemilik ‘Arash yang kukuh.  
Yang ditaati di sana lagi dipercayai.  
Dan sahabat kamu bukanlah seorang yang gila.
Dan sesungguhnya dia telah melihatnya di ufuk yang terang.  
Dan tidaklah dia dapat dituduh atas hal-hal yang ghaib.  
Dan ia  bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk.  
Maka ke manakah kamu hendak pergi lagi?  
Tidaklah ia itu melainkan peringatan bagi sekalian alam.  
Bagi siapa antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus.  
Dan kamu tidak akan berkehendak kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Rab (Tuhan) semesta alam.

17/06/13

Nglalu, Mati Tanpa Teman.

02.14 0 Comments



Kemarin, saat pulang kerumah ibu saya memberitahu bahwa ada kerabat yang meninggal dunia. Saya kaget karena kerabat yang saya panggil Budhe itu masih muda. Anaknya dua berusia SD. Pakdhe saya juga masih ada, bekerja untuk mereka. Setiap lebaran mereka pasti datang kerumah, Ibu dari Pakdhe saya ini dulu yang merawat saya dan saudara saya waktu masih kecil. Pakdhe saya juga sering tinggal dirumah beberapa bulan jika ada pekerjaan di daerah dekat rumah.

Saya tanya kenapa meninggalnya, ibu saya seperti biasa jika bercerita sambil menahan emosi, ia akan memerah wajahnya dan hampir berair mata. Mati Ngantung, budhe saya nglalu, mati gantung diri! Saya kaget lagi, ‘lha kenapa?”. Tidak ada yang tau, tidak ada yang tau kenapa Budhe saya nekat melakukan itu. Pakdhe saya yang ditanyai juga tidak tau, ia merasa keluarganya baik-baik saja, mereka juga tidak habis bertengkar. Ibu saya menyimpulkan kalau budhe saya tertekan karena masalah ekonomi dan masalah keimanan.

Saya terhenyak diam beberapa saya, mengira-ngira bagaimana perasaan budhe pada waktu sebelum memutuskan mengakhiri hidupnya. Apa ia tidak kasihan sama kedua anaknya yang masih kecil? Sama Pakdhe yang akan mengurus hidup sendirian? Memikirkan bagaimana sedihnya orang tuanya? Bagaimana tetangga-tetangga bersikap terhadap keluarganya? Bagaimana kerabatnya? Bagaimana teman-temannya?

Saya berfikir, kegetiran sehebat apa yang menimpa budhe? Kenapa tidak ada yang tau badai yang menimpa perasaan budhe saya? Kenapa tidak ada yang tau? Kenapa tidak ada yang menguatkannya? Kenapa tidak ada yang peduli? Suaminya? Tetangga2nya? Teman-temannya? Saudara-saudaranya? Kemana mereka? Saya mulai menyalahkan diri saya sendiri.

Yang saya tahu, setelah saya belajar psikologi. Bunuh diri hanya akan terjadi pada orang yang (merasa) tidak memiliki teman, yang merasa tidak dipedulikan.

Kadang kala, hidup memang begitu berat, dalam sudut pandang kita begitu aneh. Pikiran kita tidak tentu. Kadang kita ingin mencari dukungan yang menguatkan diri kita, tetapi kita takut, takut jika kita justru disalahkan, dipojokkan, ditertawakan, atau bahkan keluh kesah kita tak dianggap oleh orang lain. Atau kita takut jika keluh kesah kita justru membuat orang lain repot, ikut sedih. Atau kita melihat orang lain juga sedang berada dalam masalah, sedang sibuk, bahkan sedang bahagia, kita enggan untuk menganggunya. Hingga akhirnya kita menyimpan kekalutan-kekalutan itu sendiri. Kemudian kita merasa sendiri, kita merasa tidak memiliki teman.


Saya sudah beberapa kali berinteraksi dan orang yang memiliki kerapuhan jiwa. Entah bagaimana Allah membuat sketsa hidup saya menjadi sedemikian rupa. Jika ada orang yang mengenal saya pasti tau kenapa saya ada di psikologi, meskipun dulu saya merasa tidak memilih jurusan ini. Kadang saya merasa aneh dengan sketsa yang digambarkan Allah, kadang saya jadi berfikir bahwa lingkungan saya sebenarnya ya yang seperti itu. Bahkan saya tidak bisa berteman dengan baik dengan orang-orang yang kuat jiwanya, penuh semangat hidupnya. Kadang saya merasa bahwa saya berada dalam bagian itu, bagian kerapuhan jiwa.

Dahulu saya sering bermimpi saya bisa menyelamatkan jiwa-jiwa yang rapuh itu. Tetapi melihat keadaan saya yang bukan orang bijaksana, yang tidak bisa memberi nasihat, yang bahkan memiliki kerapuhan jiwa itu sendiri menyadari bahwa itu impian yang  terlalu tinggi. Satu-satunya yang bisa saya lakukan, dengan empati yang saya miliki hanyalah menjadi teman. Seperti Ayu Utami yang sengaja tidak menikah (meski akhirnya menikah juga) untuk menjadi teman para lajang dalam menghadapi lingkungan yang menekan. Saya ingin menjadi teman bagi jiwa yang rapuh, ikut dalam rombongan hati yang mudah patah dan saya ingin sekali mereka tau bahwa mereka tidak sendirian.

Untuk itu, jika kamu juga merasakan kerapuhan jiwa, merasa sendirian, merasa tidak dipedulikan, merasa ingin menyudahi hidup. Demi Saya, demi empati saya, demi puisi-puisi yang selalu saya buat dengan tema ini, bertahanlah hidup lebih lama. Tidak apa hidup sendirian, itu urusan kita. Mari kita buat ruang yang nyaman untuk kita sendiri, ruang yang bisa menerima ketika kita rapuh (karena di luar sana hanya ada ruang untuk kekuatan, semangat, dan positivisme) ruang yang bisa menerima ketika kita lemah, ruang yang bisa menerima ketika kita kehilangan pegangan.


Demi tulisan ini, please tetap bertahan, jangan patah.
Biarkan saya menjadi teman.

Bagi Mereka, Puisi Saya Tidak Berguna.

02.13 1 Comments



 Bagi teman saya, puisi saya tidak berguna.
Hanya lautan kata-kata kosa kata yang dibalik-balik saja.
Dia berkata bahwa masih banyak hal kongkret yang harus saya lakukan,
Daripada menghabiskan malam dengan kegalauan.

Bagi Bapak saya, puisi saya tidak ada artinya.
Menghabiskan waktu saja.
Lakukan dulu kewajiban dan hal penting lainnya.
Lagian, bukan untuk itu aku disekolahkan.

Bagi Ibu saya, tidak apa dengan puisi saja.
Tapi itu bukan hal penting yang diutamakan.
Jangan jadi anak yang terlihat lemah,
Mengadu pada tulisan tanpa arah.

Bagi dosen saja, puisi saya ada-ada saja.
Essai saya tak dianggap ilmiah hanya karena ada puisinya.
Saya adalah mahasiswa yang tidak menggunakan otaknya.
Ilmu dan pengetahuan saya menjadi tak berguna, katanya.


Bagi mereka, puisi saya tidak berguna.
Padahal itu jantung hati saya.
Yang menjaga saya untuk tetap hidup dengan waras.

Bagi mereka, puisi saya tidak berguna.
Betapa sakit hatinya.

11/06/13

Terakhir

20.59 1 Comments


\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/\/
Ada hal yang perlu aku sampaikan,
Sebelum keengganan ini menjadi keterasingan, dan kita menjadi saling tak mengenal.
Barangkali untuk terakhir kalinya.
Mungkin untuk terakhir kalinya.
Semoga tak salah lagi, semoga tak salah kali ini.


Kita menggenggam kehidupan, dalam rentetan perjalanan yang kita namai sebagai kenangan. Masa kanak-kanak yang menyenangkan. Masa kanak-kanan yang tak pernah menyinggung perasaan. Masa kanak-kanak yang nyaman dan kita jauh dari itu, aku menamainya sebagai : afeksi.


Kita tidak pernah menumbuhkan, sisi-sisi sentimentil, melankoli, dan hal-hal yang menyinggung emosi, afeksi. Kamu bisa melihat jejak-jejak langkah kita di bahu jalanan, tidak ada air mata dan kegetiran. Tidak ada peluk hangat dan pujian.


Maka aku terperanjat ketika menyadari kita telah tumbuh dewasa. Tidak lagi anak-anak yang melompat tanpa rasa, tanpa terka-menerka. Maka aku segera menyadari, lubang-lubang afeksi akan segera terisi. Entah dengan apa.
(Kemudian kita memasuki episode terka-menerka tentang apa yang kamu lihat, apa yang aku lihat. Apa yang kamu dengar, apa yang aku dengar. Apa yang kamu rasakan, apa yang kamu rasakan. Itu menyesakkan dan selalu membuatmu gusar, bukan?)


Sebelum keengganan ini menjadi keterasingan, dan kita menjadi saling tak mengenal. Dan episode terka-menerka yang menjengahkan, untuk itu:


Jika kau ingin aku melihatmu, maka datanglah ke hadapanku.
Karena aku tak bisa melihat yang ada di belakang.
Jika kau ingin aku mendengarkanmu, maka berkatalah di telingaku.
Karena aku tak bisa mendengar apa yang kau katakan kepada orang lain.
Jika kau ingin aku merasakan, maka tunjukannlah perasaan.
Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang dirasakan orang.


Berhentilah menerka karena kita sudah terlampau dewasa. Karena aku juga tidak ingin melihat apa yang tidak bisa aku lihat, aku tidak ingin mendengar apa yang tidak bisa aku dengar, aku tidak ingin merasakan apa yang tidak bisa kurasakan.
Aku tidak ingin merasakan apa yang tidak bisa kurasakan.
Aku tidak bisa merasakan apa yang tidak bisa terasakan.


Berhentilah menerka karena tulisan ini jelas untuk apa dan siapa. Jika kamu masih juga menduga-duga, aku harap kau tidak keberatan untuk mengulang membaca. Karena tulisan inilah satu-satunya, dan untuk terakhir kalinya.