Follow Us @soratemplates

26/03/13

Flipped over

14.35 1 Comments




Kadang aku merasa hidup itu terbalik. Entah apa aku yang terbalik, atau otak dan pikiranku yang membalik. Tapi mari kita berkata sejujurnya. Hidup adalah mimpi dan mimpi adalah hidup itu sendiri. Suatu hari kita akan terbangun dari mimpi dan baru sadar kalau kita bermimpi. Aku tidak hanya bisa membayangkan itu terjadi, tetapi bisa merasakan katika itu terjadi.

Kadang hidup terbalik. Entah apa aku yang terbalik, atau otak dan pikiranku yang membalik. Tapi mari kita merasakan yang sebenarnya. Beberapa hari belakangan memang hari yang berat. Hari ketika pikiranku terus berlari melompat-lompat, sedang tubuh tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika tidur. Mudah saja orang mengatakan aku kebanyakan tidur dan susah dibangunkan, sedang sebenarnya (menurut perasaanku tentu saja, karena aku yang merasakan) aku sedang bertarung mengembalikan jiwa kepada tubuhnya, atau tubuh kepada jiwanya.

Mari kuperjelas, pernah merasa tindihan? Sleep paralyzes? Mungkin seperti itu, tapi kalaupun itu Sleep paralyzes seharusnya aku mengenalnya karena aku sudah terlalu sering mengalami ini sejak SMA. Saat ini, ketika aku mengalami Sleep paralyzes  ini aku akan sangat mudah ‘mengendalikan’ untuk lepas atau sekedar bermain sebentar denganya. Tapi yang aku alami akhir-akhir ini tidak, aku tidak mengenalinya, aku tidak bisa mengendalikannya.

Aku tidak memiliki masalah dengan tidur, tidak insomnia, tidur cukup selama 6-8 jam. Masalahnya adalah ketika bangunnya. Aku merasa jiwaku selalu bangun duluan daripada tubuhku. Ketika bangun aku akan mendengar suara-suara, aku melihat jam, mematikan alarm, melompat ke kamar mandi dan mengambil air wudlu, setelah itu aku masih bisa memikirkan apa saja yang akan aku lakukan seharian ini, sambil berjalan dari kamar mandi menuju kamar. Setibanya dikamar kemudian aku tersadar, ternyata itu hanya mimpi, atau pikiranku saja, atau jiwaku saja. Tubuhku masih diatas kasur belum bangun. Jadi aku yang sudah selesai wudlu tadi kupaksa masuk kedalam tubuhku lagi. Kemudian aku menggunakan teknik melepaskan diri dari tindian, karena aku rasa itu tindian. Kemudian aku terlepas, aku bangun. Hari semakin merangkak, mungkin sudah jam lima lebih, anak-anak kos sudah ada yang bangun, ada yang menyalakan air, ada suara langkah kaki, ada yang berbicara. Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Ada SMS masuk ke HP ku, masalah kerjaan. Kemudian aku berfikir, kenapa ada orang SMS sepagi itu, inikan jam bangun. Aku mengerutu sambil memikirkan balasan apa yang sepatutnya aku tuliskan. Tapi HP segera aku tinggalkan, sambil tetap mengerutu dan medelay balasan. Aku pergi ke kamar mandi, kamar mandi di pakai, aku ke keran sebelah untuk berwudlu. Kemudian kembali ke kamar, tapi tunggu setelah kembali ke kamar aku berontak lagi. Tubuhku masih diatas kasur, aku belum bangun. Aku terkejut. Kemudian aku memaksa aku yang sudah berwudlu tadi untuk masuk lagi ke tubuhku lagi. Kemudian aku memaksa-maksakan diri, aku harus bangun.. harus bangun.. harus bangun, ini sudah keburu siang, mau shubuh jam berapa. Aku berontak dalam tubuhku. Akhirnya aku bisa keluar, bangun. Tapi aku berputar-putar di dalam kamar, aku takut kalau ternyata aku belum bangun. Dan benar, aku belum bangun. Tubuhku masih di kasur, aku kembali masuk. Kali ini aku ingin berteriak dan meminta tolong orang lain untuk membangunkanku. Aku, sangat jelas bisa mendengar suara-suara di sekitarku. Tapi tubuhku sulit digerakkan, sulit di hentakkan, sulit di longgarkan atau direlekskan, teknik itu yang biasa aku gunakan untuk melepaskan dari himpitan Sleep paralyzes. Tapi ini benar-benar sulit, aku nggak mau bangun kalau tubuhku tidak ikut bangun. Aku terbangun lagi, kemudian langsung lari ke kamar mandi, sebelum sampai ke kamar mandi aku tersadar, tubuhku lagi-lagi masih belum bangun. Aku kembali, aku ingin menangis. Bagaimana ini, bagaimana membangunkaku sendiri, sedang pikiranku, jiwaku, atau mimpiku entahlah apa namanya yang berlari-lari ke kamar mandi tadi sudah memikirkan semua hal, melakukan banyak hal. Setiap pagi, aku kebingungan mencari cara bagaimana membangunkanku sendiri. Setiap pagi, adegan keluar-masuk tubuh berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali itu terulang. Aku lelah.

Kadang hidup terbalik. Entah apa aku yang terbalik, atau otak dan pikiranku yang membalik. Tapi mari kita jelaskan yang sebenarnya. Itu tadi nyata. Tapi aku tidak tau apakah suara-suara itu nyata, suara teman yang berbicara, seret kaki, kran nyala. Aku tidak tau apa yang berlari-lari ke kamar mandi itu. Apa mimpi? Tapi kenapa aku bisa sadar bahwa itu mimpi dan mengembalikan ‘aku mimpi’ itu kedalam tubuh, apa itu pikiranku saja yang ketika tidur dia bekerja, tapi kalau pikiranku, waktu setelah wudlu, dapat SMS saat itu aku sedang berfikir juga. Itu pikiran di dalam pikiran? Atau itu jiwaku? Aku tidak tau keadaan jasadku waktu aku tinggal ke kamar mandi atau berwudlu, apa saat itu organ tubuhku bekerja atau tidak, atau aku mati suri, berkali-kali?

Sampai sekarang, aku tidak tau. Aku menulis ini jam dekstop menunjukkan pukul 1:46 dini hari. Tidak aku tidak insomnia, aku sengaja minum kopi. Nanti kalau aku mengantuk, aku akan membuat kopi lagi. Aku tidak mau tidur, aku takut tidur.

Kadang hidup terbalik. Entah apa aku yang terbalik, atau otak dan pikiranku yang membalik. Tapi mari kita katakan yang sejujurnya. Adakah hal yang harus aku khawatirkan tentang keadaan ini?

25/03/13

Jalan Kaki

21.37 0 Comments
"Yuar kok jalan kaki terus, motornya kemana?"

Ya, beberapa hari memang sering banget dapet pertanyaan ini. Ya, aku sekarang 'memilih' jalan kaki. Sebelumnya memang pakai motor, karena motor mau diperpanjang pajaknya, maka saya tinggal dulu motor saya dirumah. Dan saya, Jalan kaki kemana-mana. Oke, jika kalian tidak paham kemana-mana, marilah kita bayangkan rute harianku. Aku kos di daerah Mrican, samping Fak teknik UNY, itu artinya kalau aku ke kampus butuh waktu 15 menit untuk jalan -/+ 300 meter. Agak siang, saya akan bekerja di daerah Banguntapan, Bantul. Itu Sekitar 1-2 kilo, tapi aku akan naik bis jalur 7 dengan estimasi waktu: Jalan ke Jl. Gejayan untuk menunggu bis selama 5 menit, menunggu bis bisa 10-15 menit rata-rata, tapi kadang bisa setengah jam juga. Naik bis sekitar 20 menit, dan jalan kaki dari Jl. Solo hingga tempat kerja makan waktu 20 menit. Pulang kantor juga seperti itu, tapi ini jalannya lebih jauh karena waktu pulang aku harus naik Transjogja, dan perjalanan kantor transjogja 30 menit, dan perjalanan transjogja-kos 10 menit. Itu kalau wajar (langsung pulang) kadang aku memilih jalan lebih jauh dulu. Pernah suatu kali aku jalan kaki ke togamas, atau sengaja turun di shelter selanjutnya hanya untuk bisa jalan kaki lebih banyak. Aku sering penat akhir-akhir ini, aku butuh banyak refreshing, salah satunya jalan kaki.

Capek? ya. Tapi ada hal lain hingga Aku bertahan jalan kaki. Minggu berikutnya, Pajak motor sudah dibayar, dirumah ada 3 motor dan yang butuh kesana-kemari hanya mbakku saja. Sebenarnya bisa saja aku keasana-kemari minta anter adik karena sama-sama kuliah di UGM dan ya kita sebelahan fakultasnya. Tapi ya itu, aku memutuskan jalan kaki saja. Ada hal lain yang aku temukan dan rasakan...

Suatu ketika saya membaca tulisannya mbak Adit tentang battery people dan aku bersyukur bahwa aku sudah melepas kebiasaan itu, aku sudah tidak terlalu bergantung dengan gadget apapun. Kecuali blog/tumblr, aku butuh tempat katarsis. Dan ya, selama aku berjalan kaki, aku menyimpan semua gedget, melepas airphone dan melihat, benar-benar melihat apa yang terjadi di sekitarku. Inilah nikmatnya, selama ini aku sering melewati suatu tempat secara konstant, terus menerus, tapi bagitu acuh dengan tempat-tempat itu. Aku hanya was-wus tidak menduga banyak sekali hal-hal yang membuatku lebih tau dan lebih peka. Aku bisa mendengar orang membicarakan sesuatu, melihat orang beraktivitas, melihat bangunan dengan lebih detail, melihat semua pemandangan dengan pandangan yang berbeda, coba saja. Betapa aku sering berada di sana, betapa aku tidak menjadi bagian dari tempat itu. Aku sungguh menjadi orang asing.

Kemudian, suatu hari ketika pulang kerja di transjogja, hujan sedang deras dan aku menunggu hujan reda di shelter karena tidak membawa payung. Kemudian ada kakek-kakek tua, hanya mengenakan baju saja diantar dan dipayungi oleh seorang wanita muda. "Ke arah ini ya mbak" kata perempuan tadi kepada petugas shelter sambil memberikan uang. Kemudian bapak itu masuk (bapak itu setengah basah dan terlihat kedinginan) baru setelah bapak itu masuk, aku bisa melihat wajah wanita yang mengantarnta tadi, yang ternyataa... tetangga kamar kosku pas. Jalan kaki, coba kalau teman kosku tadi tidak jalan kaki, pasti dia tidak sempat menolong bapak yang kedinginan tadi. Berjalan kaki, membuat kita lebih peka terhadap sekitar dan kebutuhan orang lain. Kita semakin banyak kesempatan untuk menyadari itu dan menolong orang yang membutuhkan ketika berjalan kaki.

Selanjutnya, aku mencoba mencari komunitas jalan kaki untuk sekedar memiliki teman yang suka aktivitas ini. Namun, komunitas jalan kaki yang aku temukan berorientasi dengan pada diri sendiri, biar sehat bukan untuk tujuan sosial. Rencananya aku mencari komunitas ini, siapa tau aja ada yang bisa diajak jalan kaki dan bersama-sama menyadari keadaan lingkungan sekitar, syukur-syukur ada agenda 'menolong orang yang ditemui' karena pasti banyak sekali. Pada saat itu aku berasumsi bahwa bisa saja menilai peminpin yang baik itu yang dahulunya pernah jalan kaki dalam waktu lama (ketika kuliah misalnya) karena mereka akan benar-benar paham keadaan sekitarnya.



Dan terakhir, suatu hari aku makan bareng Moly. Tentu saja Moly menjemputku di kantor karena aku jalan kaki. "Kok jalan kaki, Yuar. Motormu kenapa e?" Yak, akhirnya dia juga bertanya. Kemudian aku bertanya, pernah gak sih kamu jalan kaki tanpa headseat dan merasakan semua hal tampak berbeda? Dan tak menyangka Moly justru lebih dulu melakukan kegiatan ini. Dia bercerita bahkan pernah suatu kali dia naik bis hanya untuk tau, apa saja yang dilakukan orang di bis dari pagi hingga sore hari. Iya, dia di bis itu dari pagi-sore. Gila. Dan dalam beberapa kesempatan dia juga memutuskan untuk jalan kaki dan melihat pemandangan berbeda itu. "Biasane awake dewe was-wus nggo motor, terus tiba-tiba jalan kaki rasane beda banget, ternyata banyak banget yang kita lewatkan!"

Jika kamu merasa manusia dan masih makhluk sosial, jalan kakilah sekali-kali, tanpa headset, tanpa gadget. Rasakan bedanya.


Oya, dengan jalan kaki, kamu lebih enak nyapa orang waktu papasan.

23/03/13

Menunggu Kabar Baik,

13.13 0 Comments



“Kriiing…”
Telepon berdering, sebuah nama terpampang pada layar touch screen.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 1 missed call.

“Kriiing…”
Lagi, dan nama itu lagi.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 2 missed calls.

“Kriiing…”
Masih nama yang sama, berturut ketiga kalinya.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 3 missed calls.

Dua menit berlalu,
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang sama dengan missed calls tadi.
Apa kabar? Lama tidak bertemu. Kemana aja?”
Aku mengabaikan.
Kututup HP tanpa memberi balasan.

Dia, nama yang terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dahulu ketika masih sering bertemu, dia adalah orang yang sangat bergantung, menceritakan semua detail kehidupannya, mencurahkan semua keluh kesahnya, membagi seluruh kesedihan kesedihannya, membuka semua kebingungan-kebingungannya. Ketika ada hal bahagia dalam hidupnya, dia akan melompat dan memberitahuku seketika. Lihat, bagaimana dia sangat bergantung. Dia menceritakan seluruh kesedihannya seolah aku tidak pernah sedih, dia menceritakan seluruh kebingungannya seolah aku tidak pernah bingung, dia menceritakan keluh kesahnya, seolah hidupku selalu bahagia, tidak pernah ada masalah. Dia menceritakan semuanya seolah aku sudah selesai dengan semuanya.

Waktu melompat bersama jarak. Pada akhirnya kita jarang bertemu dan menyapa. Kemudian saluran itu menjadi penghubung antara kita. Apa kabar? Tiba-tiba ini menjadi pertanyaan yang mengerikan. Dia yang namanya terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dia tidak pernah tau sedikitpun tentang sedihku, dia tidak tau sama sekali tentang kebingunganku, dia tidak tau sama sekali tentang keluh kesahku, tidak tidak tau sama sekali tentang kepenatan dan masalahku. Dia, hanya tau aku seperti dulu, tempat bergantungnya, yang mungkin dianggap sudah dewasa dan tidak pernah mengalami gagal dan menderita. –bagaimana kau bisa memberitakan kabar buruk kepada orang yang sekalipun belum pernah mendengar kabar buruk darimu? Sekalipun dia orang yang dekat denganmu? -
Apa kabar? Dia, nama yang terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dia tidak menanyakan kabar, dia hanya ingin menyapa. Tetapi sapaan apa kabar ini, saat ini, bagiku, sangat membingungkan. Tunggu, tunggu hingga aku membereskan semua, menyelesaikan semua, memperbaiki semua. Hingga aku akhirnya bisa menjawab apa kabar dengan Alhamdulillah, baik.

Apa kabar? Karena setiap pertanyaan selalu memiliki pasangan jawaban. Seperti pertanyaan menjodohkan di mata pelajaran bahasa Indonesia, maka jawaban untuk apa kabar adalah Alhamdulillah baik. Tapi aku tidak sangup berdusta, karena agamaku mengajarkan itu dosa. Maka tunggu, tunggu hingga keadaanku Alhamdulillah baik hingga aku bisa membalas SMS apa kabar itu dengan kalimat Alhamdulillah baik. Tunggu.

Apa kabar?
Itu bukan pertanyaan menanyakan kabar.

-          Mungkin ini akan menginspirasimu, pernahkah kamu mengalami menanyakan kabar orang dan dia tidak membalas? Yah, mungkin dia merasa kamu  tidak sedang menanyakan kabarnya, hanya ingin menyapa saja, karena mungkin kalian telah lama tak bertukar sapa. Ah, mungkin ini yang sedikit menyesakkan: Mengapa orang tidak membalas ‘apa kabar’mu? Karena dia merasa kamu tidak sedang menanyakan kabarnya tetapi hanya ingin menyapanya. Karena kamu tidak peduli dengan kabarnya, hanya peduli pada rasa tidak enakmu karena sudah lama tidak bertegur sapa. Ah, egoisnya.
________________________________________________________________________________

Kemudian…
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang berbeda dengan missed calls tadi.
Apa kabar? Aku Kangen nih, lama gak ketemu”
Kemudian aku menatap tulisan itu lama.
Dan kututup HP tanpa memberi balasan.

-          Bagaimana bisa kata ‘apa kabar’ tersambung dengan kata ‘aku’? jika apa kabar bermaksud untuk orang lain, dan kata ‘aku’? jadi sepertinya benar teori pertama, bahwa apa kabar bukan untuk menanyakan kabar orang lain (bukan untuk orang lain) tapi hanya sebuah sapaan. Dan ‘Aku’ yang selanjutnya merupakan penguatan bahwa si penanya memang tidak bermaksud menanyakan apapun tentang yg ditanya, tapi hanya menyatakan tentang perasaannya, dirinya sendiri. Ah, aku kesal dengan ketidaksingkronan ini. Hm, bagaimana aku harus membalasnya… “bagaimana aku harus peduli dengan perasaanmu sedang kamu tidak peduli dengan perasaanku?”
Ah, betapa double egoisnya.



14/03/13

Balasan

19.56 0 Comments

 

Bagaimana rasanya tidak di balas?

 



 

Marah, kesal kalau SMS tidak dibalas? chat tidak dibalas? mention tidak dibalas? telfon tidak dibalas? Bagaimana kalau aku bertanya, "bagaimana rasanya?"

 

 

 

Bagaimana jika aku selanjutnya bertanya, "Kamu tidak ikhlas sih nanyanya, makanya kesel, marah kalau tidak dijawab"

 

 

 

 

Bagaimana rasanya tidak di balas?

 

Ya, itu hanya satu contoh saja. Ada banyak hal dalam kehidupan kita yang kemudian muncul pertanyaan pada hal prinsipil, "Keikhlasan, ketulusan..."

 

 

 

Tulus memang tidak membutuhkan balasan. Sungguh, mereka tidak membutuhkan balasan. Orang yang menolong atau berderma tidak pernah berfikir bahwa orang yang ia tolong atau yang ia dermai menolongnya atau mendermainya. Lha dia sudah kaya.

 

Seorang yang mecintai atau bersahabat setulus hati, mereka tidak membutuhkan balasan kok, tidak. Orang yang mencintai dengan ketulusan ia tidak pernah memperhitungkan apa yang mereka lakukan sebagai pengorbanan, baginya itu semua adalah wujud cinta.

 

Tapi ketulusan itu membutuhkan konfirmasi. Konfirmasi bahwa apa yang dilakukan itu diterima secara positif, apa yang dilakukan itu bermanfaat baginya. Perhatiannya dipeluk sebagai sebuah pengakuan bahwa ia adalah bagian darinya. Orang yang berderma tidak butuh dibalas dengan uang atau barang, tetapi dengan ucapan terima kasih atau ungkapan 'ini sangat berarti bagi saya' atau senyum sumringah bahwa apa yang ia berikan itu berharga. Itu saja, konfirmasi. Hanya itu.

 

 

 

Tidak berlebihan bukan?

07/03/13

Ingatkah, teman.

14.46 0 Comments
 
 
 
Ingatkah ketika berkumpul bersama, kita selalu tertawa? Bahagia bukan? Dimanapun aku berada aku akan selalu tertawa, ketika sedang bersama-sama mereka. Seolah ini adalah kehidupan yang sempurna, bahagia yang sempurna, persahabatan yang sempurna. Tapi aku takut, aku sangat takut. Hal yang paling aku takutkan setelah suara setan-setan adalah itu… kebahagiaan, aku takut akan kebahagiaan. Aneh bukan? Aku juga merasa aneh, tapi aku tidak bisa memungkiri aku sangat takut dengan itu. Kenyataan yang paling mengerikan adalah kebahagiaan. Aku menutupi ketakutan itu dengan tawa, dengan candaan bodoh yang sukarela, dengan perhatian penuh kepada mereka seolah aku menggengamnya dan tidak akan pernah melepaskannya, dengan seluruh pengorbanan dan sikap agar mereka nyaman, seolah kita sedang membangun surga.
|
|
|
Tapi semakin tinggi bangunan itu, semakin mendekati surga bangunan itu, aku semakin takut.
|
|
|
Takut itu semakin menguasai, takut itu semakin tak terkendali, takut itu semakin… mengambil alih.
|
|
|
Aku merobohkan bangunan itu dari bawah.
|
Aku menghancurkan pondasinya ke tanah.
|
Aku tidak merasa bersalah.
|
Aku tidak mempertimbangkan membangunnya lama dan susah.
|
Takutku tidak bisa kalah.
|
Aku tidak bisa mengendalikannya.
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tapi siapa yang tau dengan perasaan aneh seperti itu? Rasa takut akan kebahagiaan? Orang-orang pasti menyangkaku sebagai orang yang bersalah, berbuat gila dan minta perhatian. Kemudian tatapan orang-orang tampak seperti menyalahkan, menunjuk hidungku dengan begitu terang.
Lalu terjadilah apa yang aku takutkan, bangunan itu tak nyata. Tawa itu tak nyata, bahagia itu tak nyata, persahabatan itu tak nyata. Tak ada yang pernah menarikku untuk kembali percaya bahwa itu nyata. Maka terangkan bagamana caraku menjelaskan? Tapi lihat, mereka juga tak menanyakan. Tatapan mereka menyalahkan, untuk itu aku meninggalkan dan mereka juga meninggalkan, maka kita tidak pernah bertemu lagi. Tapi lihat, misalnya aku menjelaskan, adakah yang bisa paham?
Seperti juga teori belajar. Aku belajar. Memilah antara yang nyata dan yang maya.
Aku…
Aku…
Aku tidak bisa melanjutkan.

Badroom

14.37 2 Comments

 
Tempat yang paling aku takuti saat ini adalah… kamarku sendiri.

Aku merasa, takut.

Ketika aku membuka pintu kamar, suara berderit keluar mendecit. Seperti cicitan makhluk yang melonjak terkejut. Kemudian hawa panas seperti mengepung tubuh. Panas itu datang dari sudut-sudut kamar dan tembok yang buram. Hawa panas yang seperti mengungkungku, mengelayuti setiap lengan, kaki dan leherku.

Arrrrgh, aku berontak, aku berteriak. Menghempaskan panas itu agar terlepas dari tubuh. Memang aku merasa longgar sebentar. Tapi kemudian hawa panas itu serasa terhempas ke dinding-dinding kamar, terpental dan menjadi suara tawa manusia. Suara tawa manusia dengan berbagai karakter, suara besar serak, kecil mencicit, suara orang tua dan suara anak-anak yang berhamburan, sahut menyahut, memusingkan. Aku pusing seperti ditertawai banyak orang. Aku pusing dan menutup telinga. Kemudian berteriak lagi, dan mereka diam. Tapi bagian inilah yang sering aku takutkan. Bagian ketika suara itu muncul satu persatu dengan jelas.

Aku sering menganggapnya itu sebagai setan yang mengganggu, tapi sepertinya benar itu memang suara-suara setan. Dari pertama aku memasuki kamar ini aku sudah merasa hawa aneh yang menakutkan. Hawa aneh yang bisa aku rasakan ketika tempat tersebut di tempati sesuatu. Dan bagian ini, bagian ketika setan-setan itu berbicara satu persatu dengan kata-kata jelas dan mengintimidasi. Suara serak seperti seorang yang bijaksana muncul dan berkata “untuk apa? Untuk apa? Pikirkanlah, pikirkanlah” aku seketika linglung setelah mendengar suara itu. Disahut suara perempuan paruh baya yang berbicara dengan sabar, aku menyangka jika dalam kehidupan nyata dia pasti seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya. Perempuan itu berkata “Apa yang kamu tunggu? Sudah sangat jelas apa yang telah terjadi. Adakah yang membuat bimbang hatimu ketika kau lihat disekitarmu sudah begitu pasti? Ambilah keputusan, ambilah keputusan” dia berbicara dengan sangat sabar dan pelan-pelan, aku merasa dia memelukku ketika dia mengatakan itu. Kemudian aku tersentak kaget oleh suara pemuda, mungkin dia preman pasar yang tidak bisa menerima kenyataan. “Mati sajaaaaa…. Mati sajaaaaa…. Kau sudah tidak berguna, tidak ada yang peduli denganmu.. hahahaha” disusul suara anak kecil “kakak tidak punya teman, kakak tidak punya teman, kakak tidak punya teman”. Kemudian suara-suara lain  semakin ricuh bersahutan, “pisau tidak akan membuatmu sakit lama, itu hanya sebentar saja sakitnya” “selesaikan… selesaikan” “apa kau tidak sadar kalau ini bukan tempatmu? Kau disini punya siapa? Siapa yang merasa memilikimu disini?” “untuk apa? Untuk apa? Pikirkanlah, pikirkanlah  kesakitan apa lagi yang sedang kau tunggu? Lebih baik kau akhiri” “Mati.. mati… mati… hahahaha” “Ambilah keputusan, ambilah keputusan””Apa kamu percaya dengan kasih sayang dan keadilan? hey itu hanya ilusi, hanya untuk menghibur hati””bohong..bohong..bohong, semua bohong””ketika kamu bunuh diri, kamu memenangkan segalanya””tidak berguna!” “mati!””hahahaha””rekayasa, jika tak ada yang abadi, kanapa tidak mati sekarang saja””hidup hanya untuk dilukai, di dera derita””mati”.

Aku sangat takut, cemas, dan bingung dengan suara-suara itu. Suara yang selalu ada di dalam kamar dan menganggu ketika malam. Suara yang membuatku menangis semalaman. Suara yang tidak bisa kulawan dan kukalahkan, ketika hari hampir menyentuh pagi, aku mulai kelelahan menangis semalaman, dan tertidur pulas. Itu adalah saat yang paling membahagiakan, saat aku terlepas dari suara yang mengacaukan. Orang akan berfikir aku malas dan tidak tertib karena selalu kesiangan dan terlambat akan segala hal. Mereka tidak tau, mereka tidak mau tau, deritaku setiap malam bertarung dengan setan-setan. Mereka tidak tau, bahwa hal yang paling membahagiakan adalah ketika aku tertidur, ketika terlepas dari sangkut paut dunia. Ketika aku berada di alam lain, tidak di dunia. Ah, aku sering berfikir untuk mengikuti saja apa kata suara-suara itu. Mungkin aku akan bahagia… dan dimengerti.