Follow Us @soratemplates

28/11/12

Bukan Aku..., Tuan.

14.37 0 Comments
Picture

Janji bertemu.
Pagi itu seperti hantu, Tuan.
Tapi aku takkan merasukimu,
Tidak pagi ini, tidak saat bertemu, tidak untuk nanti-nanti.

Jika kau ingin merasakan, maka rasakannlah, cerita debu.
Membanjir, menyedak di lubang hidung dan menyesaki pipa-pipa dadamu.
Kemudian engkau terbatuk, terbatuk Tuan, anda ingin merasakan?
Aku tidak...

Langkah kakimu sudah terbaca, Tuan.
Bukan aku tak tau, tapi tak mau,
Bukan aku.

Janji pagi itu, Tuan.
Seperti embun yang akan habis dalam hitungan menit,
Melaju bersama waktu dan bayangan tubuhmu yang bergerak maju.

Tapi bukan aku.

14/11/12

P.E.R.A.N

13.05 0 Comments


Picture
Dunia ini adalah permainan peran. Setiap orang memainkan satu peran yang tentu saja berbeda dengan peran orang lain. Untuk membuat sebuah cerita utuh, tidak mungkin ada peran yang sama dalam satu pertunjukan.

Putri, semua wanita ingin menjadi putri dalam sebuah pertunjukan. Menjadi tokoh sentral yang mendapatkan banyak simpati, empati, dan perhatian. Tapi tidak mungkin dalam satu pertunjukan semua pemain menjadi tokoh sentralnya.

Tugas pemain adalah memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Misal menjadi putri, jadilah putri yang terbaik dan memesonakan penonton. Misalkan menjadi Upik Abu, jadilah Upik Abu yang hebat hingga penonton mendapatkan emosi dari pertunjukan itu. Tapi, Upik Abu tidak pernah mendapatkan empati, simpati, dan perhatian seperti halnya Putri. Sebagus apapun lakonnya waktu itu.

Upik Abu, jika ia benar-benar memerankan lakonnya itu dengan baik, itu hanya akan diapresiasi oleh rekan sesama pemain, Sutradara, teman-teman dekat dan keluarga. Itupun bukan sebagai Upik Abu, tetapi sebagai dirinya, dirinya yang begitu habat memerankan Upik Abu, dirinya yang merupakan pribadi sesungguhnya. Sedang Upik Abu, sehebat apapun dia dilakonkan, tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian seperti Putri.

Kalau dunia ini adalah permainan peran, panggung sandiwara, setiap orang memerankan A, B, X, apalah… lalu, siapa kita sebenarnya? Siapa kita tanpa topeng peran itu?

Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan sutradara dan yang diinginkan audience, mereka menginginkan suatu pertunjukan berisi cerita yang hidup. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?

Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan Tuhan dan masyarakat, mereka menginginkan suatu kehidupan yang wajar sesuai dengan kehendak dan aturannya, untuk menjadi suatu cerita yang sesuai dengan norma dan dapat diterima masyarakat. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?

Mungkin kita akan bahagia dan selalu siap sedia untuk berperan, jika peran kita adalah peran sentral. Berperan Putri atau Raja. Tapi jika selama ini peran kita adalah Upik Abu? Upik Abu, sehebat apapun dia dilakonkan, tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian seperti Putri.

Sialnya, pemeran tidak pernah menentukan sendiri ia ingin berperan sebagai apa. Untuk membuat pertunjukan yang sempurna, tentu diperlukan pemeran-pemeran yang sempurna untuk memerankan sebuah lakon. Sutradara, Sutradara akan menyeleksi pemeran-pemerannya. Kemudian berkata: “Putri itu cantik, kulitnya putih dan sikapnya lembut. Kamu tidak cocok untuk peran ini” atau “Peranmu sebagai Upik Abu yang bengis dan jahat. Kamu tidak perlu belajar sopan santun, sekarang cobalah belajar  sedikit beringas dan keji, oya.. kamu tidak perlu memepercantik diri. Perawatan yang kita sediakan hanya untuk Putri, selain itu tidak dapat fasilitas ini”

Ah, mungkin saja kehidupan ini bukan masalah memerankan sesuatu. Tapi berebut suatu peran.

Tanya kepada Tuhan, mengapa kita harus berperan menjadi orang yang kalah jika kita bisa menang? Mengapa harus berperan menjadi Babu jika bisa menjadi Raja. Mengapa yang menjadi Presiden itu dia bukan saya? Mengapa harus ada yang berperan sebagai pengemis dan anak jalanan yang terlunta-lunta. Tuhan, siapa yang membuat cerita?

Ah, tapi kemudian suara-suara berhamburan. “Aku bahagia menjadi bawahan, bukan atasan. Aku menikmatinya, aku menikmati peran ini”, “aku senang dapat berpartisipasi di bagian ini, meskipun aku bukan menjadi orang yang utama dan bahkan orang nggak akan memperhitungkan peran saya disini. Tetapi karena melihat pentingnya peran ini, saya bersedia memerankan. Meskipun tanpa ada apresiasi, pujian, atau kekaguman dari orang lain. Tapi, aku bahagia dengan peran ini

Jadi, ini bukan perkara berebut peran? Lalu apa?

Aaaarrgghh, aku menghancurkan panggung sandiwara dalam pikiranku. Tidak ada peran di dunia ini, tidak ada pertunjukan yang perlu ditunjukkan. Tidak ada perebutan peran untuk menjadi Putri, tidak ada kekecewaan untuk menjadi Upik Abu. Dunia ini bukan panggung sandiwara, bukan! bukan dunia ini! Tapi diri ini yang menjadi panggung sandiwara. Dan kita berperan untuk diri kita sendiri, bukan demi suatu cerita atau pertunjukan masyarakat. Putri dan Upik Abu dalam diri kita, ya.. mungkin kita memang sedang berebut peran. Kita mempertaruhkan segalanya untuk peran itu. Peran sentral untuk diri kita sendiri. Peran sentral untuk diri kita sendiri. Peran sentral untuk diri kita sendiri…!

Kita tidak sedang berperan apapun di dunia, dunia ini bukan panggung sandiwara. Panggung sandiwara justru ada di dada kita, kita sedang berebut peran, untuk menjadi pemeran sentral dalam diri sendiri. Mungkin saja,

08/11/12

Anak Mami (ke-2)

15.53 5 Comments
Sebelumnya, coba lihat dulu deh tulisanku berbulan yang lalu tentang Anak Mami. Sebenarnya aku nggak ada niat untuk mepublish tema ini secara bersambung, tetapi ternyata isu ini berkembang. Akhir-akhir ini ada beberapa teman (lagi) yang curhat masalah cowoknya, ya masih dengan tema yang sama, cowok yang kejam tetapi sangat dekat dan sayaaaang dengan ibunya. Akhirnya, aku membuat status dan mendapatkan tanggapan dari temen Psikologi -->

Status Facebook-ku 2 Nop 2012

(Daaan untuk kesekian kalinya (mungkin hampir sepuluh kali) dicurhati orang2 yang berbeda tentang cowok yang tegaan, super protektif, egois, menang sendiri, bahkan sampai menggunakan kekerasan fisik.

kemudian aku bertanya: "apa dia deket sama ibunya?" (Ini menjadi pertanyaan pertama yg langsung kutanyakan waktu diceritakan ttg kekerasan dalam pacaran tersebut)

daaan, mereka menjawab: " iya. padahal dia Deket. dekeeeeeeeet banget sama ibunya"

aku hanya bisa berkata pelan : mungkin, itulah akar masalahnya)
 Dan ini beberapa komentarnya :

Komen X : "hmmm, menurutku, mungkin fase Oedipus complexnya agak bermasalah atau sang ibu seringkali dianggap sebagai sosok lemah (dalam hal ini ayah sebagai yang dominan). Mungkin juga si lelaki sering melihat bahwa ibunya sering "dibully" ayah sehingga ia ingin melindungi pacarnya tapi yang keluar malah kayak gitu. Atau... dia punya keinginan untuk mendominasi yang cukup tinggi "

Komen Y : "hmm, mulanya aku berfikir tentang oedipus complex itu. Dan bisa juga karena anak ini menempatkan ibunya pada posisi yang sangat tinggi sehingga tak ada celah, keburukan, atau kesalahan yang dilakukan sang ibu (padahal ibu juga manusia, wajar kan kalau salah?) Nah, karena sang anak tidak bisa menyalahkan Ibu maka ia seperti melampiaskannya kepada wanita lain, pacarnya? -_-"

Komen X : "hmm, klo kasusnya kyk gitu menurutku justru g mungkin. Karena sang ibu yang tinggi dan tak bercelah, menurutku sang anak cowo akan sangat menghormati si ibu dan bangga akan kondisi tak bercelah itu. tapi, gimana klo logikanya diputar sedikit, si cowo bukan melakukan pelampiasan "menyalahkan ibu yang tak kesampaian" tapi kita ganti, bahwa si cowo berharp pacarnya menjadi sesuai dengan ibunya, kemudian frustrasi karena mendapatkan pasangan tidak sesuai dengan keinginannya. Gimana?" 

Komen Y : "Bisa jadi, tapi aku kepikiran tentang attachmnet/gaya kelekatan ibu-anak yang dikembangkan waktu bayi. Mungkin saja hubungan Ibu-anak ini attchmentnya insecure atau bahkan mengalami separation anxiety disorder. Insecure ini kemudian dikembangkan sampai dia dewasa, anak yang insecure akan sulit beradaptasi/mendapatkan teman, tapi ketika ia sudah mendapatkan satu saja teman yang dekat (pacar dlm hal ini) dia akan overprotectif dan overcontrol, karena dia merasa tidak aman." 

Jadi ceritanya  aku pernah mengambil mata kuliah psikologi perkembangan anak, dan salah satu materinya adalah tentang attachment/ gaya kelekatan. Gampangnya sih 'kedekatan ibu dan anak'. Ada 3 macam gaya kelekatan (aku pakai teorinya Ainsworth, bukan Bowlby) yaitu Secure, Insecure (Ambivalent), dan Avoidant. 
 
Secure adalah kelekatan orang tua (khususnya ibu) dan anak yang dibangun dengan baik, anak dekat dengan ibu dan memiliki rasa aman baik ketika dengan ibunya ataupun ketika tidak bersama ibunya. Rasa aman ini ada karena trust yang yang terbangun antara mereka berdua. Cirinya, mereka berdua dekat, tetapi anak/ibu tidak keberatan berpisah/ditinggal, keduanya tidak terlalu khawatir terhadap keadaan masing2. Anak yang secure akan mudah menyesuaikan diri dan merasa nyaman dengan lingkungan barunya.

Kelekatan Insecure atau ambivalen, anak ini juga dekat dengan ibunya, namun tidak disertai rasa aman karena tidak ada trust yang terbangun. Ciri dari kelekatan ini waktu kecil (mungkin sampai dewasa) anak tidak mau pisah sama orang tuanya, orang tua terlalu mengatur dan overprotektif terhadap anak. Kalaupun berpisah, maka keduanya akan sangat mengkhawatirkan satu sama lain (ditelfon setiap beberapa jam misalnya, dan ibu menanyai setiap detail yg dilakukan anak).

Kelekatan ketiga adalah avoidant, anak dan orang tua tidak terlalu dekat. Orang tua/anak tidak keberatan kalau berpisah, mereka berdua tidak biasa mengungkapkan perasaan sayangnya baik dalam perbuatan maupun perkataan. Ciri anak dengan kelekatan ini adalah, dia bakal nggak nyaman dengan hubungan dekat yg melibatkan emosi. 

Nah, dalam buku psikologi sosial (bukunya Sears) menuliskan bahwa gaya kelekatan ini akan mempengaruhi bagaimana kita menjalin relationship dengan orang lain. Kemudian aku mencari yang insecure attachment bagaimana pola relationshipnya, dan ternyata benar, dalam buku itu dituliskan bahwa insecuritas yang diperoleh dari orang tuanya akan diturunkan. Orang yang insecure akan cenderung mudah marah, gampang jealous, overprotektif, khawatir berlebihan, mengatur semua bagian kehidupan relasinya, menang sendiri terhadap relasinya (pacarnya misalnya). Hal ini dikarenakan si anak merasa tidak aman dan takut kehilangan, makanya dia tidak ingin 'kecolongan' dengan tidak mengontrol relasinya. Kalau relasinya tidak mau diperlakukan seperti itu, maka anak ini akan semakin marah, sampai2 menggunakan kekerasan agar relasinya mau menurutinya.


Lalu bagaimana?
Yah,  aku sendiri sih tidak memiliki ambisi untuk memecahkan masalah ini, tetapi yang perlu diingat adalah :
  1. Ibu harus paham bahwa anak itu titipan Tuhan, bukan milik ibunya. Ibu hanya perlu merawatnya, bukan menjadikan sebagai perhiasan emas ibu. Biarkan anak tumbuh menjadi dirinya sendiri, bukan wakil dari orang tuanya. Dalam Al-Quran, perawatan ibu terhadap laki2 hanya sampai usia baliq. Maka dalam usia itu biarkanlah anak menemukan dan mengaktualisasikan dirinya, jangan terlalu mencengkeram anak.
  2. Bagi pacar/relasinya yang lain, sikap itu bukan karena dia sayang sama kamu. Tetapi dia terlalu sayang pada dirinya sendiri. Dia tidak mau memahami dirinya sendiri, karena yang penting baginya adalah dia merasa aman. Aku tidak menyarankan untuk menurutinya karena memang itu sudah sifatnya sejak dari lahir, ubah! insecure bukanlah sifat yang baik. Ubahlah, bagaimanapun caranya.