Follow Us @soratemplates

20/07/13

Sabar

13.33 2 Comments

Postingan ini mungkin masih bisa dikaitkan dengan postingan sebelumnya yang ini. Masih dalam pertanyaan yang sama. Mengapa justeru orang yang sabar yang mendapatkan kesempurnaan pahala? Tanpa batas? Mengapa sabar? bagaimana sabar?


Adhe. Hampir setiap hari datang ke kosku, kalau tidak mengajakku bertemu di luar. Seminggu bisa 4-5 kali aku pergi atau bersama dia. Dia adalah teman lepas, artinya bukan teman dari satu tempat yang sama (tidak sekampus, seorgansasi atau yg lainnya). Jadi otomatis jika Ia tidak sengaja datang atau janjian denganku, kita tidak akan pernah bertemu. Alasan mengapa Ia begitu sering menemuiku adalah hanya karena Ia ingin curhat. Curhat apa yang setiap hari, coba? Tetapi begitulah dia. Selalu saja ada yang diceritakan, selalu saja ada masalah-masalah baru yang muncul. Kantornya, rumahnya, pacarnya, pekerjaannya, teman-temannya. Tetapi Adhe, menurutku adalah orang yang ulet, orang yang berani menyelesaikan masalah (memang ada kok orang yang bukan tidak bisa menyelesaikan masalah, tapi tidak berani menyelesaikan masalah). Adhe selalu berusaha, dia selalu bertindak, dia selalu ‘menurutku’ ngurus banget jika ada sekecil-kecilnya masalah. Meskipun menurutku itu bukan masalah yang perlu dibesarkan dan jika kita abaikan saja masalah itu akan bisa dilupakan oleh semua orang. Contohnya ketika ada kesalahpahaman antara dia dengan teman kantornya. Biasa masalah sosmed. Adhe menulis sesuatu di sosmed dan teman-temannya merasa tersindir dengan tulisan itu, padahal Adhe tidak bermaksud menyindir siapapun di kantornya.


Adhe kemudian merasa diasingkan dilingkungan kerja. Ada yang berbeda dengan teman-teman kerjanya. Adhe pun menyelidiki. Dia men-stalk semua sosmed teman yang memperlakukannya sedikit berbeda. Dan ketemu! Ternyata ada yang tersinggung dengan salah satu postingan Adhe di sosmed. Akhirnya Adhe menemui satu persatu teman-temannya yang mengasingkannya secara terpisah. SATU PERSATU ditemui secara pribadi, satu persatu ditanyai mengapa mereka berperilaku berbeda terhadap dirinya, satu persatu Adhe menjelaskan letak masalah sebenarnya, satu-persatu ia mintai maaf. Aku memberi saran, kalau masalahnya sosmed ya tinggal bikin postingan baru untuk mengkonfirmasi postingan sebelumnya. Ternyata Adhe tidak mau saranku. Itu bukan cara Adhe menyelesaikan masalah. Adhe akan selalu begitu, bertindak, bertindak, bertindak. Menyelesaikan semua setuntas-tuntasnya.
Ternyata maskipun sudah dijelaskan satu-persatu, ada beberapa orang yang merasa tidak puas dan tetap bertingkah aneh.

Kurang sabar apalagi Yu aku menghadapi mereka. Ini tuh udah tak sabar-sabarin nerima perilaku mereka, udah tak sabar-sabarin untuk ngejelasin satu-persatu, aku sampe bingung Yu mau gimana lagi. Rasanya nggak nyaman banget diperlakukan seperti itu”.
Udahlah Dhe, yang pentingkan kamu udah ngejelasin letak masalahnya dengan baik-baik. Lagian juga ini  bukan salahmu kok. Mereka aja yang terlalu sensitif, suudzhon. Kamu kan memang nggak nyindir mereka? Udah untung kamu mau repot-repot jelasin ke mereka satu-satu. Kalau mereka bergeming dengan sikapnya, ya urusan dia kan?
Tapi Adhe tidak seperti itu. Hari berikutnya dia ngumpulin teman-teman yang masih memperlakukannya seperti orang asing. Adhe kembali menjelaskan, kembali menanyai mereka apa salahnya, kembali meminta maaf. Adhe mau semua selesai, setuntasnya. Dia akan selalu bertindak dan berusaha, tanpa mengeluh, tanpa protes, tanpa merasa keberatan (kecuali kepadaku, tentu saja).

Tuhan, apakah ini sabar?


***



Leana. Lebih jarang bertemu denganku. Mungkin dua minggu atau satu bulan sekali. Dia orang yang sangat santai, rame, dan sociable. “gimana udah diurus perceraiannya?” aku bertanya. Aku tau ini hal sensitif, tapi aku tau siapa Leana. Dia akan menjawab ini dengan santai.

Si bojo masih nggak mau ngurusnya. Yaudahlah...
“lah? Keluarga gimana? Gak ada yang maksa gitu buat segera ngurus?
Ya keluarga udah tau semua keadaanku sama bojoku. Mereka maunya emang kita segera cerai. Tapi gimana, bojoku kayaknya lagi asik ngurusin cewek barunya
lah, kamu masih tinggak di rumah mertua kan?”
iya…”
terus?
Ya selama mereka nggak keberatan nampung aku tidur disana ya gak masalah. Santailah. Masalah kayak gitukan nggak bisa diselesein buru-buru atau dengan marah-marah. Iya kecewa, tapi daripada aku stress ngurusin ini terus. Mending dibawa santai, di jalani dengan sabar. kalau pilihan dia kayak gitu, ya udah mau gimana? Yang penting aku kerja, bisa main, bisa ada tempat pulang, nggak stress… sabar aja ntar juga kelar masalahnya


Tuhan, apa yang ini sabar?

***


Nadia. Wanita yang sangat teguh, menurutku. Dia hanya akan minta ditemani kalau benar-benar butuh. Pendiam, teguh, tenang. Suatu malam Nadia minta aku untuk menemaninya tidur di kos. Menemani tidur di kos dalam kosakataku adalah akan mendengar banyak cerita ini itu, curhat ini itu, guyonan ini itu. Tapi Nadia berbeda, jika menemani, maka hanya menemani. Bada isya aku datang ke kos Nadia. Disana kita hanya makan, sholat, internetan, dan tidur. Nadia tidak banyak bicara, tidak banyak bercerita, dia hanya bercerita sedikit tentang organisasinya. Tapi aku tau kalau dia ada masalah dan pasti bukan masalah dengan organisasinya. Nadia adalah tipe orang yang akan menyimpan masalahnya sendiri. Ketika ia tidak tahan dengan masalahnya sampai tahap ‘rasanya ingin menangis terus’ dia hanya ingin ada orang disampingnya menemani malam harinya. Karena, jika tidak ada yang menemaninya di malam hari, maka dia akan nangis terus-terusan sampai tidak tidur. Aku sering kehilangan cara agar Nadia mau membuka diri dan menceritakan masalahnya.


Jam 10 malam Nadia sudah merapikan kasurnya untuk tidur, dalam hitungan sekian detik ia sempat melamun, dan kuambil kesempatan itu untuk menembak masalahnya, memaksanya membuka diri. 

“rumah lagi ada masalah ya?”
Dia melihatku agak lama, lalu senyum kecil.
“kenapa kamu nggak bilang ke ayahmu kala..u….”
“enggak Yu, aku nggak pengen jadi beban mereka”
“tapi kan kam…u…”
“gak papa. Aku bisa tahan kok. Aku bisa sabar sama ini semua”
“Naaadd…”
“tidur ya…”


Mungkin dari sejagat teman-temannya Nadia hanya aku yang tau masalahnya. Dan itu Cuma secuilll saja. Begitu sulit membujuk Nadia untuk bercerita. Mungkin karena berurusan dengan keluarga sehingga ia begitu sulit terbuka. Beban dari pertengakaran terus menerus antara kedua orang tua Nadia tertumpuk di pundaknya. Nadia memang selalu menjadi ujung tombak pertengkaran itu. Nadia sering tidak mendapatkan hak-hak sebagai anak karena orang tuanya lupa untuk memenuhinya. Dia juga sering menjadi korban keputusan sepihak yang dilakukan orang tuanya. Tapi Nadia selalu menurut, tanpa protes, tanpa mengeluh.
Setelah itu Nadia meringkukan dirinya dibawah selimut, menghadap tembok, membelakangiku. Aku masih scrolling medsos dari laptop. Malam-malam menemani Nadia adalah malam-malam yang membuat pilu. Seperti yang sudah aku duga, saat ini aku mendengarnya. Nadia memang sudah meringkuk tidur. Tapi itu bukan suara dengkur atau suara nafas orang yang tidur. Tapi suara sengguk yang ditahan. Begitu, dia tidur sambil menangis. Tapi apa yang bisa aku lakukan, kadang air mataku keluar sendiri tanpa aku sadari mendengar senggukan Nadia yang ditahan itu (padahal aku sedang scrolling medsos). Namun, sekecil-kecilnya hal yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Mungkin hal itu adalah menemani malamnya dan mendengar senggukan tertahannya.


Tapi, Tuhan… apakah ini sabar?

Beban

13.31 0 Comments

Beban. Aku berfikir mengapa manusia menyebut masalah dengan sebutan beban. Hal-hal kecil yang menumpuk, hal besar yang menghantam. Hal-hal kecil yang tak disadari  dan hal besar yang menggoncang. Mengapa manusia menyebut masalah sebagai beban adalah karena terasakan. Masalah akan dihitung secata kuantitaif dan bisa di tulis diatas kertas dikalkulasikan melalui SWAT, dan kamu bisa mendapat jawaban mengatasi masalahmu, seketika. Beban, bahkan bisa terasa meskipun masalah itu telah selesai. Beban kadang ada tanpa kita menyadari apa masalahnya. Mungkin, itu mengapa manusia menyebut sebagai beban.


“Yang sabar” adalah ucapan yang biasanya diberikan seseorang kepada orang lain yang tertimpa masalah. Bukan, bukan tertimpa masalah, tetapi yang memikul beban. Karena, jika seseorang tertimpa masalah maka nasehat yang tepat adalah ‘selesaikan masalahnya, bertindaklah’.


Memikul beban. Berbeda dengan memikirkan masalah. Beban bukanlah sesuatu yang kamu gendong kemudian kamu letakkan sebentar untuk istirahat kemudian memikulnya lagi. Tidak bisa. Beban adalah hal yang harus dibawa-bawa teruuus, hingga sampai tujuannya. Bahkan dibawa hingga liang akhirat. Masalah? kadang kamu lupa kan kalau kamu ada masalah?


Manusia banyak menanggung beban. Aku juga menanggung beban. Menggendong beban kemana-mana tanpa bisa berhenti sebentar atau meletakkannya sebentar. Melelahkan. Menjemukan. Membuat frustasi dan depresi.


Tapi Tuhan berkata bahwa “hanya orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”.  - Entahlah, hubunganku dengan Tuhanku memang terasa aneh. Aku sering mempertanyakan apapun mengenai kehidupan. Aku merasa ketidakadilan. Aku merasa ketidak singkronan (akan saya tulis di postingan berikutnya) yang tidak aplikatif, yang tidak humanis antara konsep Tuhan dengan konsep manusia. Aku pernah protes mengapa manusia diciptakan berbeda, kan kasihan yang tidak beruntung secara fisik, lahir dari keluarga tidak jelas dan miskin, dengan gen dan IQ yang berbeda, kemudian mereka semua sama-sama bertarung di satu dunia. Di dalam sekolah misalnya, ada anak juara satu terus dan ada anak yang nilainya jeblok terus, tidak naik kelas terus. Kan kasihan. Mereka tidak memilih untuk lahir dengan IQ tinggi atau jongkok. Betapa tidak adilnya. Aku pernah menulis hal semacam ini di status facebook. Malamnya ketika mengaji dan seperti biasa membaca terjemahannya, disitu ada satu ayat yang mengatakan mengapa Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda. Ah, langsung dijawab saja sama Tuhan, fikirku. Untuk kasus tentang sabar ini juga sama. Aku mendapatkan konfirmasi ini begitu saja saat membaca terjemahan ngaji soreku- Tapi, kenapa hanya orang yang sabar yang mendapatkan pahala yang sempurna?


Dulu aku juga pernah memprotes kata sabar ini. Menurutku kata ini terlalu konseptuil dan tidak operasional. Sehingga, pun orang sering mengatakan yang sabar, tapi yang sabar itu bagaimana? Sabar itu apa? Bagaimana? 

12/07/13

Sayang...

00.09 0 Comments



Malam ini kita menahan lapar sayang, padahal kita telah puasa penuh seharian. Ada saja halangan untuk suatu pertemuan, namun lihat ada saja cara agar kita bisa berdua. Ditempat biasa, dengan makanan biasa dan cerita biasa. Itu saja. Mengenalmu sudah sangat lama. Sejak kita SMA bukan ya? Meskipun kita tidak pernah di sekolah yang sama. Kuliahpun kita berbeda, meski sama-sama di Jogja. Tapi kita tak pernah berubah bukan? Menyapa ‘sayang’ satu sama lainnya, meski kita bukan ‘siapa’ satu sama lainnya.

Malam ini kita menahan lapar sayang. Nanti setelah khotbah selesai dan orang-orang beranjak duluan dari barisan agar segera menemukan sandal yang sama dengan yang mereka pakai waktu memasuki bangunan. Mereka akan keluar dari tempat itu ramai-ramai, jika dilihat dari luar orang-orang itu mubal -aku tidak tahu padanan kata yang tepat di bahasa Indonesia- mereka keluar sambil bercakap-cakap. Yang enggan berdesakan atau yang mau bertafakur maka akan keluar belakangan, mereka akan ngaji dahulu di dalam bangunan. Dari luar sayang, suara orang yang mengaji bersahutan di dalam ruangan itu seperti dengungan. Mubal dan dengungan. Bagi orang barat yang membenci Islam melihat ini seperti sarang nyamuk. Bangunan itu seperti sarang nyamuk, untuk itu mereka menamainya sebagai  mosque kependekan dari mosquito. Kejam ya? Tapi kita tidak akan mempermasalahkan ini sayang, yang penting buru-burulah keluar dan temukan sandalmu. Aku menunggu. Kita makan bersama.

Malam ini kita akan bertemu sayang, kita akan makan malam. Bukan itu yang penting. Tapi bertemu denganmunya. Pertemuan kita tidak jauh-jauh dari cerita, curhat, memberi nasehat. Ya, aku selalu ingat dan saat inipun aku sudah tau bahan cerita yang akan kamu utarakan. Aku senang mendegarmu bercerita, aku senang melihat ekspresimu ketika mengatakan suatu kata yang memiliki emosi yang berbeda-beda, aku suka sudut pandangmu dalam melihat masalah, aku suka kamu yang selalu mendengarkanku, menanyakan kabarku, memastikan aku baik, aku suka kalau kita bertengkar karena perbedaan pandangan, bertengkar denganmu tidak pernah membuatku marah, tidak pernah membuatku rendah, tidak pernah membuatku mendendam. Itu kenapa aku betah. 



Malam ini sayang, tentu juga sudah kau tunggu. Seminggu ini kita hanya bisa saling mengirim message, kamu mengatakan bahwa kamu sedang kesal, sedang dirundung galau yang menyebalkan. Kamu selalu bilang, obat galau yang paling lancar hanyalah bertemu denganku, membicarakan semuanya, dan sudah selesai. Meskipun kamu tidak mengantongi nasehat apa-apa dariku. Kamu bilang, sudut pandangku membuatmu bisa melihat pandangan dengan lebih jelas. Dan bertemu denganku adalah moodbooster paling mujarab, karena dalam keadaan apapun, kita pasti tertawa. Ada saja bahan untuk tertawa.

Malam ini sayang, kita sudah menahan lapar. Hingga sedikit lebih malam. Ada hal penting yang ingin engkau ceritakan. Ya, aku memang suka mendengarkan ceritamu. Sebenarnya aku lebih suka mendengarkanmu bercerita masalah pergolakan politik, sosial, dan hal-hal yang berbau filsafat. Aku memuja kecerdasan dan kebeningan batinmu dalam masalah ini. Tapi di sela percakapan ini pasti akan ada cerita tentang pribadi kita yang begini-begini. Di sela percakapan ini pasti ada cerita tentang dia, dia, dan dia. Setiap kita bertemu pasti akan selalu ada orang ketiga yang kamu bicarakan. Pacarmu, mantanmu, pacarmu lagi, mantanmu kemudian. Sebagian ada yang aku kenal, sebagian tidak. Tepi prediksiku mengenai sikap wanita tidak pernah salah. Oh, biar ku luruskan, kamu bukan playboy, bukan. Aku takut pembaca disini menilai negatif dirimu. Kamu orang yang setia, tidak pernah berselingkuh, sangat sabar, dan mau memahami. Mantanmu hanya tiga sampai saat ini. Ah, aku tau semua sifat, perilaku, dan pemikiran mantanmu-mantanmu itu. Bahkan aku tahu setiap detail, setiap detik waktu, setiap inci perjalananmu dengan masing-masing perempuan itu. Betapa tidak, sejak kamu mulai merasa dewasa, mulai ingin belajar tanggung jawab terhadap orang lain, kamu memutuskan untuk pacaran. Saat itu kita kelas 2 SMA. Kamu minta pertimbanganku bagaimana kalau kamu pacaran, aku tidak bisa memaksa orang bukan? Apalagi saat itu kamu bilang sangat menyukainya. Ya, sudah kita berdua mencari cara dan membuat rencana agar ia, perempuan itu menerima sinyal darimu. Tentu akulah mak comblangnya. Akhirnya, satu setengah bulan setelah taktik terencana kita lakukan, kalian jadian juga. Aku sangat bahagia waktu kita. Kita berdua merayakan keberhasilan penembakan itu. Ketika aku menulis ini sekarang, aku merasa aneh dengan kejadian itu, kenapa kita berdua yang merayakan? Haha. Kemudian aku menjadi berteman baik dengan perempuan itu. Kita malah menjadi sahabat. Aku tempat curhat satu-satunya dia ketika ada masalah denganmu, dan kamu, sudah pastilah, kemana lagi kamu akan cerita masalahmu kalau tidak kepadaku?

Hubungan kalian berjalan 3,5 tahun. Hubungan yang setiap detailnya ada aku disitu. Aku menjadi orang ketiga yang diharapkan. Iya, aku tidak salah tulis: yang diharapkan. Perempuanmu akan goyah jika tidak ada aku, kamu juga pasti akan goyah jika tidak ada aku. Sedang aku hanya akan goyah jika melihatmu goyah, juga jika kamu tak menghargai keberadaanku. Perempuanmu memutuskan untuk tidak berhubungan denganmu karena merasa ada hal prinsipil yang tidak sesuai antara kalian berdua, demi menghargai itu, kamu menerimanya. Aku bersyukur, kita masih berhubungan baik. Sampai saat ini, perempuanmu masih menjadi sahabat dekatku. Aku juga bersyukur, meski diantara kalian aku tidak pernah menjadi masalah yang membuat kalian bertengkar. Perempuanmu sangat percaya kepadaku, dan aku memang sangat menjaga, dengan laki-laki manapun. Aku tidak mencoba bermain apapun (meskipun kita saling memanggil sayang, bagi kita itu seperti hi bro..! dan kita tidak pernah menggoda satu sama lain), dan aku memiliki kontrol diri dan kontrol emosi yang sangat baik. Aku bersyukur.

Seterusnya juga seperti itu. Aku tau setiap detail kehidupan cintamu. Aku tau setiap cerita, aku tau setiap keluh kesah. Ah, iya, kau juga tau setiap detail ceritaku. Aku juga pernah menjalin hubungan dengan laki-laki yang tidak kamu kenal. Hanya berjalan 1,5 tahun. Dia tidak terlalu suka kedekatanku denganmu. Untuk itu aku tidak banyak cerita kepadamu tentangnya, atau kepadanya tentangmu. Hanya hal-hal signifikan yang aku ceritakan. Tapi kamu sangat mengenalku, aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, aku bukan orang yang mudah memutuskan suatu hubungan. Sejak saat itu aku sudah tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun.

Malam ini kita menahan lapar, dan setelah kenyang kita akan bercerita panjang lebar. Perempuanmu membuatmu bingung, sumbu cemburunya mudah terbakar dan pikiran negatifnya berkeliaran tak karuan. Dia memang Sholihah pandai mengaji, juga memiliki keterampilan pembantu rumah tangga. Iya, ini aku kasar banget. Aku mengatakan ini memang untuk menyindirmu. Sejak kapan kamu memasukkan pandai memasak, mencuci, membereskan rumah, menyiapkan pakaian, dan pekerjaan domestik lainnya sebagai syarat calon isteri? Aku mengenalmu sebagai seorang yang adil menilai perempuan, yang tidak perlu khawatir dan ilfill jika ada perempuan tidak bisa memasak atau mencuci baju sendiri, toh hatinya baik dan perasaannya tulus. Ketika kamu mengatakan kecakapan domestik itu sebagai syarat calon isteri, aku bilang: mau cari isteri apa pembantu rumah tangga? Kita ke agen PRT saja gimana, nanti tak pilihkan? Kamu tertawa.

Malam ini kita lampiaskan lapar, dan kamu lampiaskan kesal. Dalam arti positif tentu saja. Maka aku akan mengatakan, sudah tinggalkan saja. Ini putus nyambung untuk kesekian kalinya. Kamu akan berkata, “aku sudah mempertahankan ini begitu lama, membersamainya, masa aku menyerah dan melepaskannya?” maka aku berkata ”sudah berapa kali Tuhan mengatakan kalau kalian tidak cocok?” kemudian kamu berfikir lagi. Dan beralih membahasku. Kehidupan cintaku tidak berkembang kemana-mana, kamu selalu menasehatiku untuk move on, sudahlah lupakan, cari yang lain, gak usah pemilih, nanti kamu jadi perawan tua, dan seabrek nasehat-nasehat lainnya. Dan kamu akan menyanyikan sedikir reff lagu untuk menyindirku, “aku tak bisa pindah… tak bisa ke lain hati…” kemudian tertawa. Aku menepok jidatku dan menanyakan apa aku ke dukun atau ke ustadz saja biar dicarikan jodoh. Kemudian kita tertawa, dan membahas ustadz siapa kira-kira yang link nya bagus dan bisa dimintai bantuan. Kita membuat list ustadz-ustadz yang kita kenal dan mempertimbangkannya. Kemudian aku protes, “masak aku yang nyari, aku kan perempuan”, “memangnya kenapa kalau perempuan, khatidjah perempuan?”, “gak mau, aku maunya laki-laki yang mencariku. Wanitakan hanya menunggu. Khatidjah juga menunggunya datang kan?”,”hedeeewww….” Katamu sambil geleng-geleng.

Malam ini kita sudah tidak lapar. Malam ini aku sudah mengatakan, hanya kepadamu aku mengatakan, wanita ini sedang menunggu seseorang datang. Hanya kamu yang tau. Tidakkah kau tau, sayang?

11/07/13

Teman Sepermainan

23.20 0 Comments
Real life, real story, real character, real name...



Siva, 3 tahun. Membawa dua batang lidi yang diacungkan seperti membawa dupa dan bernyanyi di teras “tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekaraaaang jugaaa…”. Hari ini Siva ulang tahun. Dia merayakannya sendiri, dengan caranya sendiri.


Tiwi, 4 tahun. Mencoba bermain dengan bola plastik kecil, melemparkannya ke lubang tiang jemuran yang berbentuk bulat. Yaph! Dia melompat. Dug! Bola itu menatap tiang jemuran dan terpental mengenai kepalanya. Aduh!


Nada, 4 tahun. Bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Kemudian masuk ke rumahku sambil menangis, dia mengadu bahwa temannya berbuat jahat kepadanya. Aku dekap dia sebentar. Satu menit tangisnya reda. Dia kembali bermain dengan teman yang menjahatinya tadi.



Api, 2 tahun. Lelaki sendiri dalam kelompok bermain dan paling kecil. Teman-temannya menyuruhnya bermain sendiri dan tidak ikut bermain dengan mereka. Api menyingkir sebentar dan hanya menonton teman yang lain bermain. Kemudian dia menarik baju bagian bawahnya keatas dan mengantungkannya diatas mulut. Api berlari menuju kerumunan teman bermain yang mengusirnya tadi sambil bersorak. Teman-temannya tadi lari satu persatu sambil berteriak-teriak. Api membuka baju penutup mulutnya dan tertawa kearahku, memperlihatkan giginya yang putih kecil-kecil.


Azalia, 6 bulan. Tidur. Aku berjaga disampingnya. Dia sedikit bergerak dan terbangun membuka mata. Aku hanya melihat wajahnya, Azalia juga balas menatapiku. Dia kentut tiga kali, dut…dut…dut. Kemudian kembali tidur lagi.



Nafisa, 3 tahun. Menyanyikan semuuuaaaa lagu yang ia tahu kepada Azalia. “bocah nakal bocah nakal, njaluk dijamoni. Jamu opo jamu opo jamu brotowali”. Ibuku datang, “Mbah Nung kok klambine koyo bos Romlah?”.


Api, 2 tahun. Melihat ibunya bekerja banyak sekali hari ini, dan memang keadaannya sedang meriang.
Ibuk atit buk, kecel buk? Pi pijeti ya, sing cakit endi buk?” sambil memijat kepala Ibunya.


Aji, 1,5 tahun.  Semua temannya membawa sepeda. Aji juga ingin membawa sepeda. Orang tuanya memberikannya sepeda mini kecil, sekecil dirinya. Tapi rantai sepedanya dibiarkan lepas dari girnya sehingga tidak bisa dipakai. Hanya bisa dituntun. Aji ingin membawa sepeda. Dia membawa sepeda.


Nisa, 8/9 tahun. Personality Disorder (orang tuanya tidak memeriksakan keadaannya, tapi aku rasa bukan autis atau disorder yang biasa dialami anak-anak. Dia menyadari orang lain (atau makhluk lain) selain dirinya yang berbuat kekerasan kepadanya, delusif, self care dan komunikasi buruk. Untuk itu, tidak disekolahkan).
Dek Aza….
Waah, saiki isoh nyeluk dik Aza…” (waah, sekarang bisa memanggil dek Aza) Ibuku yang sedang menggendong Azalia menyahut.
Niki mau pun saget ngodhog banyu, umbah-umbah, nyaponi omah barang (ini tadi sudah bisa masak air, cuci baju, sama nyapu rumah) kata ayahnya.


Azkia, 4 tahun. Kok Mbak Ia jarang ke rumah bu lik lagi?


Semua anak tadi bermain di halaman rumahku, Azalia tentu saja dalam gendonganku. Ibuku datang membawa makanan “kur..kur…kur…” anak-anak buru-buru berkumpul mendekat di teras rumah, makan bersama. Mereka semua tetangga-tetanggaku, setiap hari, pagi-siang-sore selalu ada dihalaman rumah. Nafisa sampai malem karena dia keponakan dan nunggu dijemput orang tuanya. Mereka memang merepotkan, mereka memang penuh kejutan.