Follow Us @soratemplates

26/03/12

Setidaknya, kini ia tampak begitu bahagia.

18.15 2 Comments


Sudahlah Ma, jangan menangis lagi. Ini memang bagian hidup yang harus kita jalani. Lihatlah, Kamira, setidaknya kini ia tampak begitu bahagia.


Memang berat, sudah berapa tahun engkau merawat dia, dua puluh tujuh tahun? Seharusnya masa-masa ini adalah masa-masa bahagia kita, Kamira dengan gelimang kebahagiaan, hidup mapan bersama Bang Husnan. Dan tentu saja anak semata wayang, cucu semata wayang mama, dan keponakan semata wayangku, Ara. Ara yang chubby menggemaskan itu. Seharusnya Ma, tetapi Manusia memang tidak pernah tahu jalan Tuhan. Itu mengapa kita harus selalu ingat dan bersyukur.


Kamira anak yang baik dan membanggakan, selalu Ma. Dahulu sampai sekarang. Selain kakak bagiku, Kamira juga Ayah yang melindungi kita, semenjak Ayah tiada tentu saja. Dia wanita yang sungguh bisa diandalkan. Dalam usia mudanya tak pernah mengecewakan kita sedikitpun, semenjak kuliah dia bekerja dan mampu membiayai kuliahnya sendiri. Selain itu dia juga terlibat dalam organisasi yang ikut membentuk karakter kritisnya terhadap kehidupan serta membuatnya semakin mengerti empati dan tanggung jawab. Ya, Kamira wanita yang sanggat bertanggung Jawab, terhadap kehidupannya, terhadapku, adiknya satu-satunya, dan Mama tentu saja. Satu lagi Ma, Kamira tak pernah mengeluh dengan keadaan sekeras apapun, tak pernah putus asa, dan tak pernah menangis dalam keadaan apapun. Dalam memoriku memang aku tak pernah melihatnya lemah dan menangis, baru kali ini saja Ma. 


Kerasnya Kamira terhadap kehidupan membuat kita kuat kan Ma? Lihat bagaimana ia menjadi ‘ayah’ yang menegakkan disiplin di keluarga kita, sekali dua kali aku kesal dan mencari perlindungan darimu karena kena omelan Kamira ketika ia memergokiku melanggar aturan, atau males-malesan belajar. Ya, Kamira memang cerewet dan suka mengatur. Tapi itu semua, demi kita, demi masa depanku, demi kehormatan keluarga kita.


Dahulu kadang aku merasa kasihan dengan kehidupan Kamira yang sepertinya tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Aku tak pernah ingat kapan Kamira pergi bersama teman-temannya untuk bersenang-senang, kecuali waktu ada undangan kondangan. Seluruh waktu dan pikiran Kamira hanya untuk masa depan kita. Bekerja bekerja bekerja. Target target target. Itulah Kamira, Banyak pencapaian yang ia raih selama kuliah. Namun, ketika Kamira memutuskan untuk menerima lamaran Bang Husnan, semua menjadi berubah. Bang Husnan bagaikan malaikat yang menghentikan segala obsesi Kamira dan membayar semua kerja kerasnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bertubi-tubi. Ma, dalam masa-masa hidup kita, seingatku saat itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan bagi Kamira, sekalipun ia tak pernah terlihat bersedih. Dan Ma, apakah kau tahu? Kamira justru nampak lebih cantik setelah menikah dengan Bang Husnan, dia seperti bercahaya. Ya Ma, selalu bercahaya. Apalagi setelah kelahiran Ara, Kamira tidak hanya bercahaya, tetapi juga sangat hangat. Ma, aku juga inigin seperti itu nanti. Hidup Kamira sempurna, ia sudah tidak mengingginkan apapun. Pernah aku tanya tentang ide bisnis yang sering kita diskusikan, dia berkata: “hidupku sudah sanggat cukup. Aku tidak akan mengejar apa-apa lagi. Aku ingin menikmati dan mensyukuri apa yang aku dapatkan saat ini”. Ma, Kamira sedang berada dalam puncak kebahagiaan dan kesempurnaan hidup saat itu.


Jalan Tuhan Ma, Aku yakin Bang Husnan berhati-hati kalau menaiki kendaraan. Saat itu memang jalan sedang sepi, tetapi keadaan sepi lah yang membuat bus-bus antar provinsi itu ngebut-ngebutan. Toh, sopir bus juga sudah ditanggkap. Jangan meminta nyawa kembali Ma, Bang Husnan dan Ara itu milik Tuhan, Tuhan berhak mengambilnya kapan saja bukan? Jangan meminta nyawa kembali kepada sopir bus itu, bahkan ia tidak bisa melindungi nyawanya sendiri.


Jangan Ma, jangan salahkan Tuhan. Mari terima ini dengan lapang dada, sesak Ma? Iya. Aku juga merasakannya, perih Ma? Sangat, sangat perih Ma. Apalagi melihat keadaan Kamira yang seperti ini. Kamira belum bisa menerima kenyataan bahwa Bang Husnan dan Ara telah berpulang, ke kehidupan abadi. Kamira linglung, depresi dan kehilangan orientasi terhadap kehidupan. Bukan Ma, Kamira bukan tidak kuat. Dia hanya sedang mengumpulkan kekuatan, tetap percaya Ma. Kita juga harus kuat, harus lebih kuat dari siapapun. Demi Kamira.
Lihat senyumnya Ma, sudah lama bukan Kamira tidak tersenyum seperti itu. Sejak tiga bulan kejadian kecelakaan maut itu. Setidaknya, Ia sekarang terlihat begitu bahagia. Ia masih memeluk bonneka itu Ma, dahulu waktu dirumah, Mama selalu membuang boneka itu ketika Kamira menggendong dan mencandainya dan mengatakan bahwa itu boneka, bukan Ara. Tentu Kamira marah-marah dan menggamuk. Perih Ma? Iya, aku hanya bisa menangis di balik pintu pada waktu itu.


Sudah Ma, Puri ini memang tempat terbaik untuk kepulihan Kamira. Dia memerlukan perawatan yang ahli. Prosesnya memang lama, kata psikiater yang merawatnya. Tetapi kita harus sabar, optimis dan selalu berdoa. Kamira pasti kembali Ma, kembali kuat seperti dahulu.
Kamira anak yang baik dan membanggakan, selalu Ma. Dahulu sampai sekarang. Lihat, setidaknya saat ini ia terlihat begitu bahagia.

21/03/12

Cinta tidak Salah, tapi Cara Mencintai Bisa Saja Salah

01.43 2 Comments

Suatu hari (elah) aku mendengar iklan non komersial  radio, radionya lupa. Di iklan itu ada dua cewek yang sedang berdialog, dari dialognya, bisa kita duga bahwa mereka karib bangat. Kurang lebih gini (aku cuman inget inti dialognya, jadi ini sambil ngayal nulisnya):


Cew 1: Lo bener  nggak papa?
Cew2: Gak papa (sambil nangis sesengukan), dia udah sering kayak gini kok ke gue…
Cew1 : Ya ampun, kenapa lo mau sih digituin, kenapa gak putusin aja?
Cew2: enggaklah, gw sayang banget sama dia. Gue ngerti kok ini dia lakuin karena dia juga sayang sama gue. Cuman dia nggak tahu cara buat nunjukinnya..
Cew1: Serius lo? Sampe kapan lo mau di siksa terus sama dia?
Cew 2: Iya. Ini udah untuk terakhir kali kok, dia udah janji nggak bakal nglakuin ini lagi ke gue..
Cew1: Yakin Lo?
Cew2 : Iya. Dia janji udah bener2 janji  kok (tiba2 ada suara HP berdering). Eh, sori gw angkat telpon dari cow gw dulu, musti buru-buru diangkat kalau enggak dia bakal marah-marah.. sori tinggal bentar yaa… (suara langkah kaki dan suara cewe semakin samar menjauh)

20/03/12

Mengganti Cinta, memulangkan Rindu

04.51 0 Comments

04.14 Hujan dan belum tidur.



Sepertinya rindu ini memerlukan muara, tetapi gagal rupanya. Berkali-kali mencoba mencarikan jalan agar ia terpelihara, agar luka tak semakin kentara.Tetapi muram sepertinya.
Aku membaca banyak puisi malam ini, hanya  untuk menuntaskan alamat rindu yang menganggu. Itu caraku, beranjak dari malam ke malam dengan puisi di dalam ingatan. Ya, menentukan ke pos mana rindu ini akan dialamatkan. Aku tidak sedang berbicara denganmu, tidak. Pada diriku sendiri, itu.



Aku semakin limbung dengan angan-angan mengenai Tuhan, alam, perubahan, takdir, manusia, rasa, rindu dan surga. Ayolah, siapa yang mau mendefinisikan itu untukku, satu persatu? Ah, tidak. Kenapa kau bertanya  ‘mengapa kau tidak mengikutkan kata cinta?’. Aku bosan, itu saja. Kalaupun diperbolehkan, aku ingin mengganti kata cinta itu dengan kata lain yang tidak terlalu familiar. Kata yang ketika diucapkan langsung membuatmu membuncah seperti tersengat listrik, atau mendengar petir di siang benderang. Haha… berlebihan ya? Pernah nggak sih kamu ketika mendengar seseorang mengucapkan satu kata, kemudian dirimu langsung menoleh seperti dipanggil, konsentrasimu langsung buyar mencari asal suara, memori dan afeksimu langsung menjalar ke folder-folder lama yang disana ada file yang bernama kenangan? Ya, aku maunya cinta menjadi kata sedahsyat itu. Aku bosan dengan kata cinta yang selalu dihubung-hubungkan dengan pacaran kayak anak-anak remaja. Oya, apa aku sudah memiliki pengganti kata yang tempat untuk menggantikan kata cinta? Ya, sudah. Aku tidak akan menyebutkan secara eksplisit, karena ini rahasia. Kata itu adalah ‘NAMANYA’, Nama Dia.



Itulah kenapa aku tidak mau menyebutnya secara eksplisit, karena kamu pasti akan membacanya dan mengucapkannya. Apa jadinya coba, begitu kamu mengucapkan namanya, aku akan kejang-kejang, tersengat listrik, mendengar guntur, buyar konsentrasi, dan kehilangan eksistensi ‘right here and right now’. Aku akan menyelam ke dalam pikiran yang sudah jauuuuh tersimpan di tumpukan folder yang telah usang. Huh! Dan itu melelahkan.



Itu mengapa, aku ingin memulangkan rindu-rindu ini ke NAMANYA, rindu itu berisi semua data, rasa dan cerita di Folder kenangan yang usang. Aku ingin memulangkanya, mengembalikannya. Tetapi dia sudah terlanjur menghilang T.T Bagaimana?

16/03/12

Cukup

20.20 0 Comments

naik gunung yuk

Siang bolong. Disela-sela aku jumpalitan keliling Yogja (lebai), seorang teman mengirim SMS seperti itu. “Gunung mana?” aku sempat membalas, padahal SMS beberapa temanku yang menanyakan hal yang lebih penting tidak kubalas. Haha, kadang-kadang untuk menjawab SMS aku memerlukan waktu, pertimbangan, keadaan emosi, dan keadaan fisik yang memadai (berlebihan ya?). Apalagi kalau SMS itu mengenai hal yang penting. Jadi maaf kalau sering ngaret balas SMS :p

 

manut” jawabnya, singkat.
wokey. Tapi bar nyekrip yaa^^” haha. Ngeles.


Kemudian, aku mikir, ternyata aku memiliki janji untuk naik gunung setelah skripsi pada ke… empat orang yg berbeda. Janji dengan temen KKN, teman Organisasi, teman Kuliah, dan ini, temenku. Haha. Sebenarnya dia anak organisasi juga, tapi karena dia udah keluar dari organisasi dan  kita akrab, jadi yaa teman saja.



Banyak orang nggak percaya kalau aku hobi naik gunung, secara dari penampakan tampak feminim dengan rok dan jilbab. Tapi apalah, alam dan petualangan merupakan perpaduan yang sempurna untuk dinikmati. Aku bukan wanita yang menye-menye ketika dilepas di alam. Gak takut jatuh, gak takut gelap, gak takut licin, gak takut bahaya –semakin bahaya malah semakin membuatku excited- paling kalau di alam yang sedikit membuatku takut cuman ulet, cacing, lintah, hewan-hewan aneh, dan sebagainya. Tapi perlu dicatet, aku bukan wanita yang suka jerat-jerit waktu liat hewan-hewan seperti itu.



Aku naik gunung sejak SMA dan terakhir setelah pulang KKN. Dan aku memiliki kebiasaan yang sama setiap naik gunung, berhenti di pos terakhir sebelum puncak. Aku inget temenku benar-benar mengejekku karena cuman berhenti di pos terakhir itu dan nggak muncak, secara fisikku masih sangat kuat. Aku memilih duduk melihat awan bergulung, menunggu tenda dan menyaksikan teman-temanku  berjalan ke puncak. Aku juga sangat ingat salah satu temanku saaaangat menyesalkan perbuatanku karena memilih ‘duduk saja’ di pos terakhir dari pada muncak. Dalam pendakian itu yang wanita cuman aku dan temenku itu, dia sangaat pengen muncak, tapi kalau tanpaku, ya nggak beranilah dia. Haha. Sedang aku bersikeras buat ‘duduk saja’. Sebenarnya kasihan sih, tapi.. emang jahat sih aku T.T


Kadang aku merasa tidak perlu untuk meraih semuanya. Mungkin orang akan mengatakan bahwa apa yang aku lakukan ini percuma banget, naik gunung kok nggak muncak! Tetapi niatku adalah untuk naik gunung, bukan muncak. Menikmati beratnya menapaki medan setapak demi setapak, gelap, licin, musti loncat-loncat, dingin, dehidrasi, nafas ngos-ngosan, bawaan berat, suara-suara hewan aneh, pundak pegel, kaki seakan udah nggak kuat menahan beban. Itulah naik gunung, dan berada di pos terakhir, menikmati sunset dan awan yang menggulung seperti laut buatku sudah cukup. Aku tidak pernah tahu bagaimana keadaan puncak gunung, aku hanya bisa membayangkan bagaimana puncak itu dari teman-temanku waktu turun. Aku membiarkan keindahan puncak itu sebagai sebuah bayangan, ya, aku menggambarkannya, mereka-reka keindahan itu, dan aku tersenyum. Iya pasti indah sekali, dan aku tidak mau menghancurkan gambaran keindahan puncak gunung dengan melihat puncak itu. Kadang mendengarkan dan membayangkan akan lebih membahagiakan daripada menyaksikan kebahagiaan itu sendiri. Tidak muncak juga akan membuatku memiliki alasan untuk naik lagi, kesana lagi, dan penasaran lagi. Dan tetep duduk di pos terakhir dan membawa pulang penasaranku, rasa penasaran membuatku tidak pernah selesai untuk terus kesana lagi-kesana lagi.



Apa aku menyesal? Tidak. Aku tidak pernah menyesal. Angap saja ini sebuah keputusan, dan aku telah memutuskan untuk berkata, cukup. Sudah aku disini saja. Mungkin orang akan mengasosiasikan acara naik gunung ini dengan kehidupan dalam mencapai kesuksesan, dan meganggap aku sebagai loser, pecundang. Tapi sini aku tanya, puncak kesuksesan itu seperti apa? Dimana? Bukankan puncak kesuksesan itu adalah ketika kamu mengatakan cukup! Dan kamu bahagia dengan keputusan itu?

12/03/12

Bisa saja

00.43 2 Comments
Bisa saja aku memilih satu diantaranya.

Tetapi aku rasa, kadang hidup tidak selalu harus memilih.

Sungai tidak pernah memilih kemana ia akan bermuara.

Laut. Cuma satu itu, tidak ada muara lainnya.

Aku...

Juga ingin bermuara, tanpa memilih.

10/03/12

Apa ini.

03.30 2 Comments
Sepertinya aku terlalu mencintai diriku sendiri.


Dan bodohnya, aku seneng banget kalau disuruh sendirian.



Kadang merasa aneh sendiri. T.T

09/03/12

Temanku yang Hebat!

18.39 0 Comments

Lihat, kamu hebat sekali membuat perencanaan hidupmu.
Semua begitu teratur, target-target masa depan, penempaan-penempaan diri, ambisi-ambisi.

Kamu begitu rapih mengatur semua perencanaanmu,
Itu! semua tertulis di dinding kamarmu bukan? Ditulis indah dengan hiasan-hiasan, gambar, dan deadline yang jelas: hari, tanggal, bulan dan tahunnya.

Kamu begitu tekun menaati semua perencanaanmu,
Lihat, di dinding itu, di buku agendamu, di diarymu, di HP mu, semua seakan menjadi ‘alarm’ agar kamu selalu ingat dengan masa depan. “jangan sia-sia kan waktu, PRODUKTIF!” aku ingat sekali, kata produktif yang ditulis besar-besar di semua ‘alarm’ mu. 

Lihat, di sana tertulis jam berapa kamu harus bangun, apa yang harus kamu lakukan setelah itu, buku apa saja yang harus kamu baca dalam satu minggu, hafalan yang harus kamu kejar, pelatihan apa yang harus kamu ikuti, organisasi apa yang harus kamu singgahi, pemikiran-pemikiran siapa saja yang harus kamu telusuri, berita-berita apa saja yang harus di update, keterampilan-keterampilan apa saja yang harus kamu kuasai, tulisan yang harus kamu selesaikan, karya yang harus mendapat penghargaan –tembus ini itu-. 

Kamu hebat sekali menempa diri, menyiapkan masa depan, mengatur kehidupan.

Tetapi sepertinya ada yang terlupa,
Kamu lupa kalau harus tersenyum dengan orang disampingmu,
Kamu lupa untuk berbagi tempat duduk jika ia menghampirimu,
Kamu lupa untuk menyapa ‘hai, apa kabar… bagaimana keadaanmu?’
Kamu lupa untuk melontarkan guyonan sederhana di tengah pembicaraan.
Kamu lupa untuk ‘makan bareng, keluar bareng’ bersama teman-teman.
Kamu lupa untuk membantu orang lain berjalan, meskipun selangkah.

Dan kamu lupa dengan orang-orang masa lalumu, yang telah mengantarkanmu kesitu. Ketempat itu: tempatmu sekarang.

Kamu juga lupa kepadaku bukan?

Hitam Putih

18.36 0 Comments

Bukankah kita sangat berbeda?
Aku hitam kamu putih
(Semoga orang tidak mengkaitkan warna hitam itu jahat dan putih itu baik)

Aku sih nggak papa dekat-dekat denganmu dan melebur menjadi abu-abu,
Tapi sepertinya kamu nggak mau, dan begitu antipati terhadapku.

Untuk itu -demi kamu tidak merasa tidak nyaman, maka aku menjauh-

Tetapi sepertinya ada sesuatu yang hilang darimu, darimu yang kukenal dahulu.
O iya, yang hilang itu : dirimu
.

07/03/12

Menunggu

03.14 1 Comments
Katakan sudah berapakali kau lakukan itu?
Kegiatan itu : Menunggu!

Sekarang, apa yang paling kau tunggu?



"Hujan"
Jawabmu.

"Kalau kamu?"


"Aku...
... Hujan yang mendatangkan kamu"



@yuardwi

Gadis Cantik Bermata Sipit

02.10 2 Comments

Hai, gadis cantik bermata sipit. Sudah berapa lama kita tidak bertemu?

Lihat betapa berbeda dirimu, wajahmu kuyu, matamu layu. Dan seperti seperti yang aku duga, kamu canggung melihatku. Kebetulan atau apa, setelah lama kita tidak berjumpa sekarang secara tidak sengaja kita ditempat yang sama, menunggu kereta.

Stasiun kereta ini bukan tempat yang syahdu untuk mengadu sendu, lihat betapa kau sangat berbeda kalau tidak dikatakan mencolok dari orang-orang disekitarmu, dari para penjaja makanan, pedagang asongan, penumpang yang berserakan di peron diantara tas-tas besar, wajah lusuh dan kelelahan. Sedang kamu duduk sendirian di kursi peron. Aku juga tidak habis pikir, mengapa tidak ada orang lain yang duduk di kursi panjang itu, setidaknya penumpang lain, dari pada ndlosor di lantai. Entahlah, sepertinya memang tempat itu ‘sengaja’ di kosongkan untukku. Kamu begitu terlihat tenang menikmati dirimu sendiri,  acuh dengan kegaduhan stasiun.

Entah mengapa juga begitu masuk stasiun mataku langsung tertuju ketempatmu duduk. Bagiku sikapku wajar karena aku memang mengincar tempat duduk itu, tapi kemudian kau menolehkan wajahmu ke samping kiri, kearah pintu masuk, kearahku. Sekian detik kita bertatap dan diam, tapi aku terus berjalan pelan. Canggung bukan? Canggung bukan main. Keadaan ini benar-benar tidak bisa dimanipulasi, aku tidak bisa pura-pura tidak melihat, atau tiba-tiba pergi melengos ke tukang asongan, ke kamar mandi atau apa. Itu cara lama saat dulu sengaja atau tidak sengaja bertemu, dan aku tahu kau pun juga sering melakukan itu. Tetapi sekarang berbeda, tatapanmu seperti menunjukku dan menyuruhku duduk disampingmu. Akhirnya, pada detik kesekian kau pun tersenyum pelan, reflek aku membalas senyum, sama simpulnya.

06/03/12

00.30 0 Comments
Sebenarnya aku hanya disini saja,
dibelakangmu,
menjejakkan kaki di bekas pijiakanmu,

05/03/12

Menunggu Matahari Pergi.

03.28 0 Comments

Sudah kubagi beberapa episode dengan senja,
Kau masih juga disana.
Apa? Memata-mataiku ya?

Bagaimana kalau kubilang aku membencimu disana,
Posisi duduk sambil tertawa,
Diatas bebatuan tempat kita biasa menghantarkan senja,
Bersama-sama, hingga  habis cahaya.
Aku benci kau terus duduk disana,
Sana, ke Nisanmu sana.

Perasaanku ini sederhana maunya, kamu yang nyata. Itu saja.
Keadaanku ini sederhana sebenarnya, aku masih belum bisa terima. Itu saja.

Kamu, kembali ya…

Luka

03.21 0 Comments

Yah, aku pulang kerumah. Tapi tak seperti hari-hari yang lalu. Tak ada senyumanmu yang selalu mengambang di depan pintu, menyambutku. Apa kau masih marah?
Yah, sudah berapa lama kita tidak bertemu? Apa kau ingat waktu dulu ketika kau mengajakku ke gedung tempatmu bekerja, kau dudukkan aku di atas beton dengan beberapa gorengan dan air minum. 

Apa yang kau lihat?” katamu ketika aku menegadah keatas,
ayah yang membangunnya?”
Ya, Ayah dan  teman-teman ayah
Kalau besar aku ingin buat juga
Jangan, ini pekerjaan laki-laki. Kamu menggambar saja bangunan apa yg akan kamu buat, lalu serahkan ke Ayah, akan ayah bangunkan
Benar yah? Baiklah, kalau besar nanti aku mau jadi tukang gambar!”
Bukan tukang gambar sayang, arsitek
Hah.. Arsi..tek?

Berapa umurku waktu itu Yah? O ya, enam tahun ya? Dan sedikitpun tak ada kata yang terlewat bukan? Bahkan aku ingat sekali peristiwa sebelumnya. Ketika di sekolah guru dan teman-temanku sudah tak tahu lagi bagaimana menghentikan tangis dan teriakanku, anak-anak itu nakal sekali yah, mereka menaruh kotoran kucing di dalam sepatuku. Setiap anak melepas sepatunya dikelas Yah ketika pelajaran olah raga, dan anak-anak usil itu beraksi waktu itu. Lalu kau datang kesekolah. Yah, aku masih ingat, masih dengan helm putih penuh debu, kaos kuning dan celana panjang, serta sepatu boat, oya sepeda kumbang kita. Pasti kau tengah bekerja dan tergopoh datang kesekolah begitu mendengar kabar kalau aku menangis, dan saat itu juga kau membawaku pergi ke tempat kerjamu. Yah, tahukah engkau mengapa anak-anak melakukan itu? Sepatuku jelek sekali Yah