Follow Us @soratemplates

14/11/12

P.E.R.A.N



Picture
Dunia ini adalah permainan peran. Setiap orang memainkan satu peran yang tentu saja berbeda dengan peran orang lain. Untuk membuat sebuah cerita utuh, tidak mungkin ada peran yang sama dalam satu pertunjukan.

Putri, semua wanita ingin menjadi putri dalam sebuah pertunjukan. Menjadi tokoh sentral yang mendapatkan banyak simpati, empati, dan perhatian. Tapi tidak mungkin dalam satu pertunjukan semua pemain menjadi tokoh sentralnya.

Tugas pemain adalah memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Misal menjadi putri, jadilah putri yang terbaik dan memesonakan penonton. Misalkan menjadi Upik Abu, jadilah Upik Abu yang hebat hingga penonton mendapatkan emosi dari pertunjukan itu. Tapi, Upik Abu tidak pernah mendapatkan empati, simpati, dan perhatian seperti halnya Putri. Sebagus apapun lakonnya waktu itu.

Upik Abu, jika ia benar-benar memerankan lakonnya itu dengan baik, itu hanya akan diapresiasi oleh rekan sesama pemain, Sutradara, teman-teman dekat dan keluarga. Itupun bukan sebagai Upik Abu, tetapi sebagai dirinya, dirinya yang begitu habat memerankan Upik Abu, dirinya yang merupakan pribadi sesungguhnya. Sedang Upik Abu, sehebat apapun dia dilakonkan, tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian seperti Putri.

Kalau dunia ini adalah permainan peran, panggung sandiwara, setiap orang memerankan A, B, X, apalah… lalu, siapa kita sebenarnya? Siapa kita tanpa topeng peran itu?

Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan sutradara dan yang diinginkan audience, mereka menginginkan suatu pertunjukan berisi cerita yang hidup. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?

Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan Tuhan dan masyarakat, mereka menginginkan suatu kehidupan yang wajar sesuai dengan kehendak dan aturannya, untuk menjadi suatu cerita yang sesuai dengan norma dan dapat diterima masyarakat. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?

Mungkin kita akan bahagia dan selalu siap sedia untuk berperan, jika peran kita adalah peran sentral. Berperan Putri atau Raja. Tapi jika selama ini peran kita adalah Upik Abu? Upik Abu, sehebat apapun dia dilakonkan, tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian seperti Putri.

Sialnya, pemeran tidak pernah menentukan sendiri ia ingin berperan sebagai apa. Untuk membuat pertunjukan yang sempurna, tentu diperlukan pemeran-pemeran yang sempurna untuk memerankan sebuah lakon. Sutradara, Sutradara akan menyeleksi pemeran-pemerannya. Kemudian berkata: “Putri itu cantik, kulitnya putih dan sikapnya lembut. Kamu tidak cocok untuk peran ini” atau “Peranmu sebagai Upik Abu yang bengis dan jahat. Kamu tidak perlu belajar sopan santun, sekarang cobalah belajar  sedikit beringas dan keji, oya.. kamu tidak perlu memepercantik diri. Perawatan yang kita sediakan hanya untuk Putri, selain itu tidak dapat fasilitas ini”

Ah, mungkin saja kehidupan ini bukan masalah memerankan sesuatu. Tapi berebut suatu peran.

Tanya kepada Tuhan, mengapa kita harus berperan menjadi orang yang kalah jika kita bisa menang? Mengapa harus berperan menjadi Babu jika bisa menjadi Raja. Mengapa yang menjadi Presiden itu dia bukan saya? Mengapa harus ada yang berperan sebagai pengemis dan anak jalanan yang terlunta-lunta. Tuhan, siapa yang membuat cerita?

Ah, tapi kemudian suara-suara berhamburan. “Aku bahagia menjadi bawahan, bukan atasan. Aku menikmatinya, aku menikmati peran ini”, “aku senang dapat berpartisipasi di bagian ini, meskipun aku bukan menjadi orang yang utama dan bahkan orang nggak akan memperhitungkan peran saya disini. Tetapi karena melihat pentingnya peran ini, saya bersedia memerankan. Meskipun tanpa ada apresiasi, pujian, atau kekaguman dari orang lain. Tapi, aku bahagia dengan peran ini

Jadi, ini bukan perkara berebut peran? Lalu apa?

Aaaarrgghh, aku menghancurkan panggung sandiwara dalam pikiranku. Tidak ada peran di dunia ini, tidak ada pertunjukan yang perlu ditunjukkan. Tidak ada perebutan peran untuk menjadi Putri, tidak ada kekecewaan untuk menjadi Upik Abu. Dunia ini bukan panggung sandiwara, bukan! bukan dunia ini! Tapi diri ini yang menjadi panggung sandiwara. Dan kita berperan untuk diri kita sendiri, bukan demi suatu cerita atau pertunjukan masyarakat. Putri dan Upik Abu dalam diri kita, ya.. mungkin kita memang sedang berebut peran. Kita mempertaruhkan segalanya untuk peran itu. Peran sentral untuk diri kita sendiri. Peran sentral untuk diri kita sendiri. Peran sentral untuk diri kita sendiri…!

Kita tidak sedang berperan apapun di dunia, dunia ini bukan panggung sandiwara. Panggung sandiwara justru ada di dada kita, kita sedang berebut peran, untuk menjadi pemeran sentral dalam diri sendiri. Mungkin saja,

Tidak ada komentar: