Picture |
Putri, semua wanita ingin menjadi putri dalam sebuah
pertunjukan. Menjadi tokoh sentral yang mendapatkan banyak simpati, empati, dan
perhatian. Tapi tidak mungkin dalam satu pertunjukan semua pemain menjadi tokoh
sentralnya.
Tugas pemain adalah memainkan perannya dengan
sebaik-baiknya. Misal menjadi putri, jadilah putri yang terbaik dan memesonakan
penonton. Misalkan menjadi Upik Abu, jadilah Upik Abu yang hebat hingga
penonton mendapatkan emosi dari pertunjukan itu. Tapi, Upik Abu tidak pernah
mendapatkan empati, simpati, dan perhatian seperti halnya Putri. Sebagus
apapun lakonnya waktu itu.
Upik Abu, jika ia benar-benar memerankan lakonnya
itu dengan baik, itu hanya akan diapresiasi oleh rekan sesama pemain, Sutradara,
teman-teman dekat dan keluarga. Itupun bukan sebagai Upik Abu, tetapi sebagai
dirinya, dirinya yang begitu habat memerankan Upik Abu, dirinya yang merupakan
pribadi sesungguhnya. Sedang Upik Abu, sehebat apapun dia dilakonkan,
tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian seperti Putri.
Kalau dunia ini adalah permainan peran, panggung
sandiwara, setiap orang memerankan A, B, X, apalah… lalu, siapa kita
sebenarnya? Siapa kita tanpa topeng peran itu?
Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan
suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan sutradara
dan yang diinginkan audience, mereka menginginkan suatu pertunjukan
berisi cerita yang hidup. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar
ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?
Betapa lelahnya jika kita terus menerus memainkan
suatu peran dalam kehidupan. Peran adalah tuntutan yang diinginkan Tuhan dan
masyarakat, mereka menginginkan suatu kehidupan yang wajar sesuai dengan
kehendak dan aturannya, untuk menjadi suatu cerita yang sesuai dengan norma dan
dapat diterima masyarakat. Tapi kita, pemeran-pemeran itu, apa kita benar-benar
ingin memerankan ini? Menciptakan cerita ini?
Mungkin kita akan bahagia dan selalu siap sedia
untuk berperan, jika peran kita adalah peran sentral. Berperan Putri atau Raja.
Tapi jika selama ini peran kita adalah Upik Abu? Upik Abu, sehebat apapun
dia dilakonkan, tetap tidak akan mendapatkan simpati, empati, dan perhatian
seperti Putri.
Sialnya, pemeran tidak pernah menentukan sendiri ia
ingin berperan sebagai apa. Untuk membuat pertunjukan yang sempurna, tentu
diperlukan pemeran-pemeran yang sempurna untuk memerankan sebuah lakon.
Sutradara, Sutradara akan menyeleksi pemeran-pemerannya. Kemudian berkata: “Putri
itu cantik, kulitnya putih dan sikapnya lembut. Kamu tidak cocok untuk peran
ini” atau “Peranmu sebagai Upik Abu yang bengis dan jahat. Kamu tidak
perlu belajar sopan santun, sekarang cobalah belajar sedikit beringas dan keji, oya.. kamu
tidak perlu memepercantik diri. Perawatan yang kita sediakan hanya untuk Putri,
selain itu tidak dapat fasilitas ini”
Ah, mungkin saja kehidupan ini bukan masalah
memerankan sesuatu. Tapi berebut suatu peran.
Tanya kepada Tuhan, mengapa kita harus berperan
menjadi orang yang kalah jika kita bisa menang? Mengapa harus berperan menjadi
Babu jika bisa menjadi Raja. Mengapa yang menjadi Presiden itu dia bukan saya?
Mengapa harus ada yang berperan sebagai pengemis dan anak jalanan yang
terlunta-lunta. Tuhan, siapa yang membuat cerita?
Ah, tapi kemudian suara-suara berhamburan. “Aku
bahagia menjadi bawahan, bukan atasan. Aku menikmatinya, aku menikmati peran
ini”, “aku senang dapat berpartisipasi di bagian ini, meskipun aku bukan
menjadi orang yang utama dan bahkan orang nggak akan memperhitungkan peran saya
disini. Tetapi karena melihat pentingnya peran ini, saya bersedia memerankan.
Meskipun tanpa ada apresiasi, pujian, atau kekaguman dari orang lain. Tapi, aku
bahagia dengan peran ini”
Jadi, ini bukan perkara berebut peran? Lalu apa?
Aaaarrgghh, aku menghancurkan panggung sandiwara
dalam pikiranku. Tidak ada peran di dunia ini, tidak ada pertunjukan yang perlu
ditunjukkan. Tidak ada perebutan peran untuk menjadi Putri, tidak ada
kekecewaan untuk menjadi Upik Abu. Dunia ini bukan panggung sandiwara, bukan!
bukan dunia ini! Tapi diri ini yang menjadi panggung sandiwara. Dan kita
berperan untuk diri kita sendiri, bukan demi suatu cerita atau pertunjukan
masyarakat. Putri dan Upik Abu dalam diri kita, ya.. mungkin kita memang sedang
berebut peran. Kita mempertaruhkan segalanya untuk peran itu. Peran sentral
untuk diri kita sendiri. Peran sentral untuk diri kita sendiri. Peran sentral
untuk diri kita sendiri…!
Kita tidak sedang berperan apapun di dunia, dunia
ini bukan panggung sandiwara. Panggung sandiwara justru ada di dada kita, kita
sedang berebut peran, untuk menjadi pemeran sentral dalam diri sendiri. Mungkin
saja,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar