Follow Us @soratemplates

26/07/12

Mencintai Muhammad (SAW) -1-

12.54 0 Comments




4 tahunan lalu, aku mendapati diriku berada dalam lingkungan yang mengharuskan mengidolakan Muhammad, Nabi Muhammad SAW. Aku inget banget kesan itu aku dapatkan pertama kali saat melakukan wawancara pengurus baru Rohis. Dalam lembar biodata yang kami gunakan untuk wawancara terdapat kolom pertanyaan 'siapa idolamu'. Sebagian besar calon pengurus yang mendaftar menuliskan 'Nabi Muhammad SAW' sebagai idolanya. Yah, aku sih memaklumi, karena memang mereka mau masuk Rohis, apa jadinya kalau calon pengurus tadi menulis Boyzone, Westlife, Eminem dsbg sebagai idola mereka? diketawain, meskipun itu jawaban jujur dari mereka. Karena disana aku juga melakukan wawancara, pastilah tak tanya apa yang membuatmu mengidolakan Nabi Muhammad, dan persis dugaanku, jawabannya tidak ada yang spesifik : karena Nabi Muhammad adalah teladan yang harus kita ikuti dan idolakan. Normatif.... sangat normatif. Sepertinya anak-anak baru ini tidak terlalu paham dengan arti kata 'idola'. Ketika aku minta memberikan contoh perbuatanna yang membuatnya mengidoakannyapun jawabannya juga sangat umum: beliau baik, penuh kasih-sayang, dsbg. Kesimpulanku, dia tidak mengenal Muhammad (SAW).


Begitulah yang terjadi pada training yang kami selenggarakan beberapa hari berikutnya. Trainer dengan mantap mengatakan bahwa kalau kita mengaku orang islam, harus mengidolakan Muhammad SAW dan sahabat-sahabat nabi. Pikirku, idola kok dipaksa-paksa, ya suka-suka orang lah mau ngidolain siapa. Tapi itulah yang terjdi di lingkunganku waktu itu, kalau tidak mengidolakan Muhammad SAW bisa dikatakan Islamnya nggak bener-bener. Jadi dalam lingkunganku waktu itu, idola kita adalah sama Muhammad SAW, terlepas benar-benar mengidolakannya apa tidak.

Aku sendiri, pada saat itu tidak terlalu mengidolakannya. Pengethuanku tentang Nabi Muhammad paling juga seperti anak-anak yang aku wawancara tadi, normatif. Dan batasan itu tidak cukup untuk menjadikannya idola. Bayangkan anak-anak yang menidolakan artis koreanya, merekaa rela melakukan apapun demi bisa melihatnya, mengorbankan banyak harta, bela-belain bolos sekolah, repot ngurusin ini itu, sampe ada yang menyayat tangannya untuk mencuri perhatian sang idola. Pernahkah? 


Jujur saat itu aku sama sekali belum pernah nangis-nangis untuk nabi Muhammad, apalagi berdoa agar dipertemukan sama beliau. Saat itu aku hanya memiliki kemauan yang sederhana, mengenalnya sehingga bisa mencintainya. Tapi apa daya, Sirah Nabawi, buku kisah Nabi Muhammad yang terpisah-pisah sampai artikel-artikel tentang beliau tak juga mengenbangkan hatiku untuk mencintainya. Berkali-kali Sirah Nabawiyah tak baca, baru beberapa lembar sudah bosan luar biasa karena isinya hadis dan tulisan arab. Inti cerita jadi sangat mudah menguar ke udara, hilang seketika.

20/07/12

Bendera yang Menjuntai

10.42 2 Comments


Bulan Agustus adalah bulan yang menakjubkan bagi kami. Pada bulan ini roda kehidupan serasa berputar lebih cepat daripada biasanya, bulan ini acara dan kegiatan besar silih berganti. Pertama, ini adalah bulan awal masuk sekolah. Bagi kami –aku dan ketiga teman se desaku- ini bukan awal masuk sekolah biasa, karena kami baru saja diterima di SMP Muhammadiyah 1, di daerahku itu SMP Favorit. Awal sekolah di sekolahan baru memang selalu menawarkan rasa yang campur aduk. Kedua, 14 Agustus adalah hari pramuka, tentu saja kita akan sibuk dengan jambore se-kecamatan. Ketiga, tahun ini bulan Agustus menjadi persinggahan bulan suci Ramadhan, bulan yang menurut kami bulan paling romantis daripada seribu bulan, eh, daripada 11 bulan yang lain. Dan, terakhir bulan Agustus adalah bulannya Indonesia: kemerdekaan.
Melihat agenda yang saling tumpuk menumpuk maka Ryan –si ketua genk- berinisiatif untuk mengadakan rapat tertutup, hanya kami berempat (karena memang anggota genk kami hanya empat orang). Agenda rapat itu adalah bagaimana caranya agar kami bisa eksis di semua kegiatan dan tidak ketinggalan berita terhangat. Maka Ryan membagi konsentrasi, dirinya fokus dengan keadaan sekolah baru, Mursyad fokus pada kegiatan Pramuka, Sadi pada kegiatan Ramadhan, dan aku fokus pada kegiatan 17Agustus-an. Menurut kesepakatan, setiap sore setelah tadarusan di masjid kami akan berkumpul melaporkan perkembangan setiap pos kegiatan. Sore itu tiba, Ryan dengan semangat menceritakan ‘the most wanted Ipmawati (sebutan bagi siswa putri)’ sampai guru terkiller. Mursyad akan membuatkan ‘intisari buku saku pramuka’, Sadi sudah mendapatkan joki agar buku Ramadhan kami tertanda tangani Khotib Tarawih tanpa harus berdesak-desakan minta tanda tangan, dan aku... Aku hanya bisa melongo ketika teman-temanku presentasi. Aku tidak punya materi untuk dibagi, secara lomba 17an masih sama dengan tahun kemarin. Kami hanya bisa ikuti balap karung, kelereng, dan makan kerupuk. Lomba lainnya untuk dewasa, usia kami belum bisa masuk, sedang ketiga lomba tadi kami telah sepakat bahwa kami sudah terlalu ‘tua’ untuk ikut lomba semacam itu. Dalam keadaan terdesak, waktu itu ketiga pasang mata temanku berubah menjadi mata serigala kelaparan. Otakku melacak apa yang bisa aku jadikan bahan bahasan, aku merasa semakin terjepit karena mata teman-temanku menadi semakin nyalang, mereka benar-benar meminta sesuatu dari pengamatanku di acara 17-an. “Rumah Veteran, bendera rumah veteran” Oke, kata itu muncul tidak melalui proses yang benar di otak: muncul begitu saja.
“Tidak ada yang menarik dari acara 17-an, tapi aku melihat sesuatu yang aneh, ganjil, dan tidak biasa di rumah Pak Suto, veteran tetangga kita” aku menjelaskan. Seketika kulihat mata nyalang teman-temanku berubah menjadi mata penasaran dan menyelidik. Pak Suto adalah orang yang sangat tertutup, ia hidup sendiri, anak-anaknya merantau dan hidup sukses di kota. Usianya hampir 80, dirumahnya ia ditemani seorang perawat, seorang pembantu perempuan, dan seorang tukang kebun sekaligus mekanik. Warga desa kami akrab dengan ketiga ‘batur’nya karena mereka sering bersosialisasi. Tetapi tidak untuk pak Suto, Ia hampir tidak pernah keluar rumah, rumahnya selalu ditutup rapat. Kemisteriusan Pak Suto inilah mungkin yang membuat temanku sangat serius mendengarkan laporanku.
“Entah tahun-tahun sebelumnya, tetapi sejak 1 Agustus kemarin aku melihat bendera merah putih yang dikibarkan di depan rumahnya...” aku melihat teman-temanku menegang “...menjuntai tanah...”  “Hah? Maksudnya..?” “setengah tiang...?” aku menggeleng “lebih rendah dari setengah tiang. Hampir menyentuh tanah” “Alaaah... melorot kaliiii...” timpal Ryan. Aku bersedekap dan menggelengkan kepala dengan mantap, “aku sering melihat Lek Min dan Kang Dur nyapu dan merapikan halaman. Kalau melorot pasti mereka akan membetulkan, kan benderanya di halaman itu juga. Tapi berhari-hari bendera itu tidak berubah posisi”.
Sebenarnya aku tidak merasa ada yang janggal dari itu, tetapi setelah aku mengatakannya aku baru menyadari bahwa itu benar-benar janggal. Teman-temankupun merasa bahwa itu janggal, hingga habis tarawih kita masih membicarakan tentang  Pak Suto dan benderanya. Keesokan harinya Ryan mengadakan rapat dadakan dan berinisiatif bahwa kami harus menyelidiki fenomena ini. Berhari-hari kami bergantian mengintai rumah pak Suto, benar saja pembantunya memang melihat benderanya dan tak ada niat menaikkannya. Kamipun melakukan wawancara implisit dengan Lik Min dan Kang Dur, informasinya Nihil. Mereka hanya tau kalau bendera itu yang memasang Pak Suto, dan mereka nggak mau ngowah-owah (merubah) hal itu.
Akhirnya hari kemerdekaan pun datang, mulanya kami berprasangka kalau Pak Suto bakal menaikkan benderanya di hari jadi Republik ini, tapi sampai sore kami tunggu hasilnya nihil. Kami mulai gregetan dan merasa bahwa ini merupakan penghinaan bagi bangsa Indonesia. Kami tidak rela bangsa Indonesia direndahkan serendah itu. Demi kehormatan bangsa Indonesia kamipun bersepakat untuk menaikkan bendera merah putih itu sendiri. Satu langkah sebelum maghrib kami sudah berkumpul di halaman rumah Pak Suto, ini saat semua tetangga berkumpul di masjid atau masuk kerumah untuk bersiap buka puasa, sehingga lingkungan menjadi sepi. Perlahan kami lepas tali ikatan bendera itu. “Buuuuk...” belum selesai kami melepas ikatan ada benda yang tiba-tiba melayang mengenai bahu kiri  Mursyad. Kontan kami celingukan mencari tau siapa yang melempar benda yang akhirnya kami ketahui benda tadi adalah sandal jepit. Benar saja, Pak Suto berdiri di depan pintu rumahnya tanpa alas kaki dan satu sandal jepit di tangan kanannya. “Biarkan bendera itu disitu biar dia tau kalau dia berpijak diatas tanah!!” teriak pak Suto sambil mengacung-acungkan sandalnya. Kontan kami lari tunggang langgang.

13/07/12

Salah Orbit : Menjaga jarak aman

17.46 0 Comments
Bagini saja.
Menjaga jarak aman antar kaki-kaki kita.
Agar tidak saling bersentuhan.

Saya hanya merasa tidak berada di orbit seharusnya.
Ketika semuuua sudah di lakukan tetapi tidak pernah ada penghargaan,
Ketika berkali-kali kau mengulur emosi untuk bertahan tapi tak pernah ada pengertian
Ketika semuuua kebaikan tak pernah ada positive reinforcement yang diberikan
Ketika kesabaran tak pernah menemui cahaya untuk disudahkan
Ketika semua terasa begitu kosong, tak ada artinya, tak ada pengharapan
Ada dan tiada jiwa raga tak pernah diperhitungkan.

Mungkin saya hanya perlu mengambil nafas sebentar, mundur perlahan.
Mungkin saya hanya salah orbit,
atau salah mengukur jarak aman.

10/07/12

Makna Kemerdekaan

16.01 2 Comments


Seperti Lanang yang mencari makna kemerdekaan, pada mulanya yang ia temukan hanya gumpalan-gumpalan pesimisme dan sinisme, ah merdeka apaan!! Salah satu temanku juga berkomentar dalam blognya bahwa kebanyakan orang senang dengan sadomasochis, senang melukai diri sendiri. Hal buruk yang diutarakan seseorang sebenarnya merupakan hal buruk yang terjadi dalam dirinnya sendiri. Dalam Ilmu Psikologi itu disebut proyeksi.
Kalau masih belum nggeh hubungan  proyeksi, sadomasochis dan cerita Lanang, sini aku utarakan lagi. Dalam cerita Kemerdekaan Lanang, Lanang digambarkan sebagai orang miskin tetapi kritis dan cerdas.Maka jelas akan terjadi benturan antara idealisme yang ia pelajari dan yakini dengan keadaan yang terjadi dalam dirinya. Ujungnya tak ayal lagi :Pesimisme dan Sinisme.
Lanang mengatakan bahwa negara ini belum merdeka, yang terjadi sebenarnya adalah Lanang sendiri yang tidak mau memerdekakan dirinya. Meyakini dan menjaga bahwa kemerdekaan itu kuncinya, maka pikiran dan perbuatan akan mengikutinya.

06/07/12

Kemerdekaan Lanang

11.36 7 Comments
FlashFiction ini diikut sertakan dalam proyek nulis bareng peduli bareng 67 cerita untuk Indonesia


Langit senja muram, matahari masih enggan pergi meskipun awan yang berarak membuat komplotan yang semakin mengental dan menggumpal, mengarak matahari untuk pulang. Lanang masih di dalam rumah, di ruangan yang bisa disebut ruang apa saja. Ya ruang tamu, ya ruang tengah untuk berkumpul, ya ruang makan, dan ya gudang untuk menaruh semua barang. Lanang membongkar isi lemari pakaian di pojokan ruangan itu, sebagian isi lemari terhambur keluar, berantakan! Itu adalah lemari khusus untuk menyimpan kain-kain keperluan rumah tangga: kemul, sarung, mukena, sprei, serbet, taplak, dan barang yang dari tadi pagi tadi dicari Lanang: Bendera. Bendera Indonesia berukuran A3, warnanya luntur sudah tidak merah putih lagi, tetapi menjadi orange-krem dilumat usia. Lanang tidak pernah tahu kapan bapaknya membeli bendera itu, sebenarnya dia juga tidak yakin apakah bendera itu dibeli atau dikasih. Tahun kemarin Lanang pernah mengajukan usul kepada bapaknya untuk membeli bendera baru, karena warna bendera yang mereka miliki sekarang tidak merepresentasikan bendera Indonesia. “Ini apa namanya?” kata Bapak Lanang sedikit menghentak, sambil merentangkan bendera itu di depan wajah Lanang. “Bendera...” Jawab Lanang polos. “Bendera apa?” “Merah Putih” “Bendera apaaa?” menghentak lagi “I.. Indonesia” suara Lanang melirih, “Nah, selama Indonesia belum ganti bendera, Bapak Juga tidak akan ganti bendera!”. Oke, Fine! Pikir Lanang.
Ini tanggal 16 Agustus, terlalu terlambat untuk mengibarkan bendera Indonesia di depan rumah. Tetangga-tetangga lainnya sudah sejak awal bulan mengibarkan bendera dua warna itu, dan seluruh desapun riuh dengan hiasan merah putih di pinggir jalan. Lanang sebenarnya sangat malas mencari tiang mambu dan mengibarkan bendera itu di depan rumah. Demi menghentikan teriakan Bapaknya tentang ‘agar tidak dituduh PKI’ Lanang akhirnya mengibarkan bendera itu. Lanang mengira pasti Bapaknya ini punya sejarah pahit tentang PKI, namun Bapak Lanang, tidak pernah keluar perkataan selain marah dan perintah, ia tidak pernah cerita apapun tentang kehidupannya.
Satu langkah menuju maghrib, bendera kucel itu baru ditemukan, dilipat ditengah diantara serbet-serbet yang disimpan ibunya. Baunya sudah tidak dapat didefinisikan lagi, karena barang ini memang hanya ‘keluar’ dari sarang satu tahun sekali. ‘Benar-benar pusaka!’ batin Lanang ketika menemukan bendera itu. Segera Lanang merapikan gunungan kain yang menghambur berantakan di sekitarnya, memasukkan lagi kedalam lemari. Bendera ini tidak mungkin di cucinya dulu karena sudah tidak keburu waktu, meskipun konsep mengibarkan bendera sedikit sama dengan menjemur bendera. Lanang memutuskan untuk menyetrikanya saja, dan kamudian memasangnya di tiang bambu yang dicarinya tadi pagi.
Bendera sudah terpasang, Lanang meletakkan beberapa batu besar di pangkal tiang bambu, tanah yang digalinya untuk menancapkan tiang tidak terlalu kuat menahan bambu itu jika terkena angin. Batin Lanang berdesir, dalam pikirannya konsep merdeka belum tercerna menjadi sebuah makna. Ia hanya menumpuk di pojokan memori Lanang sebagai sebuah kata, menumpuk bersama ratusan ribu kata lainnya. Dalam rangka mengibarkan bendera merah-putih itu, Lanang mencoba sekali lagi memaknai kata merdeka. Tapi mentok, Lanang hanya sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan itu hanyalah milik orang kaya, orang berduit. Jika belum kaya, maka belum bisa melumat lezatnya kemerdekaan.
Pukul 20.53. Lanang tersenyum nyinyir, dibacanya sekilas makalah-makalah yang ia kumpulkan dari perpustakaan dan artikel dari majalah dan koran bekas dan dibacanya lagi makalah yang ia buat untuk tugas kewarganegaraan. Tahun ketiga ia bersekolah di SMA, ketiga kalinya Lanang membuat makalah dengan tema ‘Memaknai Kemerdekaan’, dan untuk ketiga kalinya pula ia menuliskan ‘Kita Belum Merdeka’ di Judul Makalahnya. Lanang bukan siswa yang bodoh, ia mengumpulkan bukti kalau memang Indonesia belum merdeka. Masalah HAM, perlakuan di depan hukum, kapitalisme global, intervensi asing dan kemiskinan adalah masalah-masalah yang selalu ia angkat sebagai bukti masih tertindasnya masyarakat Indonesia.
Hari itu awan mengelabu, Lanang menghampiri seseorang yang bertamu di rumahnya, seseorang berpakaian perwira. “Loh, Bapak ini kan...”, “Ahmad Yani” Lelaki baya itu memotong kalimat Lanang sambil menyalaminya. Lanang bingung melihat sosok yang foto wajahnya di pajang di setiap kelas di sekolahnya. “Mmmm, ada perlu apa ya pak? Atau mau saya panggilkan bapak saya?” masih bingung “Tidak. Saya hanya ingin mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan” Lanang mengernyit. “Iya, kita sudah merdeka! Bapak dan teman-teman bapak susah payah sampai mati kayak gini demi kemerdekaan itu. Masa iya kamu tega bilang kalau kita belum merdeka, masak iya kamu tega menafikkan perjuangan bapak dan ratusan ribu teman bapak yang lain?” Lanang melonggo, ini apa-apaan? “Nak” Orang itu menepuk pundaknya, “kemerdekaan itu harus dijaga, di sini, disini dan disini” Orang tua itu menyentuh dada, kening, dan tangan Lanang berurutan. “Jika kamu tidak menjaganya disini, disini dan disini, kemerdekaan itu akan hilang. Apa yang Bapak perjuangkan jadi percuma”.  Tiba-tiba terdengar geluduk mengelegar, teras rumah Lanang terasa goyang, bum! Terasa sakit badan Lanang, dari jauh ia mendengar batuk bapaknya. Lanang membuka mata, “hah, mimpi!” Lanang mendapati dirinya terjatuh dari dipan. Seketika ia bangkit menuju meja belajarnya, mencari makalah yang ia buat tadi malam, menghapusnya dengan typo dan menuliskan “Kita Sudah Merdeka” diatasnya.