Follow Us @soratemplates

06/07/12

Kemerdekaan Lanang

FlashFiction ini diikut sertakan dalam proyek nulis bareng peduli bareng 67 cerita untuk Indonesia


Langit senja muram, matahari masih enggan pergi meskipun awan yang berarak membuat komplotan yang semakin mengental dan menggumpal, mengarak matahari untuk pulang. Lanang masih di dalam rumah, di ruangan yang bisa disebut ruang apa saja. Ya ruang tamu, ya ruang tengah untuk berkumpul, ya ruang makan, dan ya gudang untuk menaruh semua barang. Lanang membongkar isi lemari pakaian di pojokan ruangan itu, sebagian isi lemari terhambur keluar, berantakan! Itu adalah lemari khusus untuk menyimpan kain-kain keperluan rumah tangga: kemul, sarung, mukena, sprei, serbet, taplak, dan barang yang dari tadi pagi tadi dicari Lanang: Bendera. Bendera Indonesia berukuran A3, warnanya luntur sudah tidak merah putih lagi, tetapi menjadi orange-krem dilumat usia. Lanang tidak pernah tahu kapan bapaknya membeli bendera itu, sebenarnya dia juga tidak yakin apakah bendera itu dibeli atau dikasih. Tahun kemarin Lanang pernah mengajukan usul kepada bapaknya untuk membeli bendera baru, karena warna bendera yang mereka miliki sekarang tidak merepresentasikan bendera Indonesia. “Ini apa namanya?” kata Bapak Lanang sedikit menghentak, sambil merentangkan bendera itu di depan wajah Lanang. “Bendera...” Jawab Lanang polos. “Bendera apa?” “Merah Putih” “Bendera apaaa?” menghentak lagi “I.. Indonesia” suara Lanang melirih, “Nah, selama Indonesia belum ganti bendera, Bapak Juga tidak akan ganti bendera!”. Oke, Fine! Pikir Lanang.
Ini tanggal 16 Agustus, terlalu terlambat untuk mengibarkan bendera Indonesia di depan rumah. Tetangga-tetangga lainnya sudah sejak awal bulan mengibarkan bendera dua warna itu, dan seluruh desapun riuh dengan hiasan merah putih di pinggir jalan. Lanang sebenarnya sangat malas mencari tiang mambu dan mengibarkan bendera itu di depan rumah. Demi menghentikan teriakan Bapaknya tentang ‘agar tidak dituduh PKI’ Lanang akhirnya mengibarkan bendera itu. Lanang mengira pasti Bapaknya ini punya sejarah pahit tentang PKI, namun Bapak Lanang, tidak pernah keluar perkataan selain marah dan perintah, ia tidak pernah cerita apapun tentang kehidupannya.
Satu langkah menuju maghrib, bendera kucel itu baru ditemukan, dilipat ditengah diantara serbet-serbet yang disimpan ibunya. Baunya sudah tidak dapat didefinisikan lagi, karena barang ini memang hanya ‘keluar’ dari sarang satu tahun sekali. ‘Benar-benar pusaka!’ batin Lanang ketika menemukan bendera itu. Segera Lanang merapikan gunungan kain yang menghambur berantakan di sekitarnya, memasukkan lagi kedalam lemari. Bendera ini tidak mungkin di cucinya dulu karena sudah tidak keburu waktu, meskipun konsep mengibarkan bendera sedikit sama dengan menjemur bendera. Lanang memutuskan untuk menyetrikanya saja, dan kamudian memasangnya di tiang bambu yang dicarinya tadi pagi.
Bendera sudah terpasang, Lanang meletakkan beberapa batu besar di pangkal tiang bambu, tanah yang digalinya untuk menancapkan tiang tidak terlalu kuat menahan bambu itu jika terkena angin. Batin Lanang berdesir, dalam pikirannya konsep merdeka belum tercerna menjadi sebuah makna. Ia hanya menumpuk di pojokan memori Lanang sebagai sebuah kata, menumpuk bersama ratusan ribu kata lainnya. Dalam rangka mengibarkan bendera merah-putih itu, Lanang mencoba sekali lagi memaknai kata merdeka. Tapi mentok, Lanang hanya sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan itu hanyalah milik orang kaya, orang berduit. Jika belum kaya, maka belum bisa melumat lezatnya kemerdekaan.
Pukul 20.53. Lanang tersenyum nyinyir, dibacanya sekilas makalah-makalah yang ia kumpulkan dari perpustakaan dan artikel dari majalah dan koran bekas dan dibacanya lagi makalah yang ia buat untuk tugas kewarganegaraan. Tahun ketiga ia bersekolah di SMA, ketiga kalinya Lanang membuat makalah dengan tema ‘Memaknai Kemerdekaan’, dan untuk ketiga kalinya pula ia menuliskan ‘Kita Belum Merdeka’ di Judul Makalahnya. Lanang bukan siswa yang bodoh, ia mengumpulkan bukti kalau memang Indonesia belum merdeka. Masalah HAM, perlakuan di depan hukum, kapitalisme global, intervensi asing dan kemiskinan adalah masalah-masalah yang selalu ia angkat sebagai bukti masih tertindasnya masyarakat Indonesia.
Hari itu awan mengelabu, Lanang menghampiri seseorang yang bertamu di rumahnya, seseorang berpakaian perwira. “Loh, Bapak ini kan...”, “Ahmad Yani” Lelaki baya itu memotong kalimat Lanang sambil menyalaminya. Lanang bingung melihat sosok yang foto wajahnya di pajang di setiap kelas di sekolahnya. “Mmmm, ada perlu apa ya pak? Atau mau saya panggilkan bapak saya?” masih bingung “Tidak. Saya hanya ingin mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan” Lanang mengernyit. “Iya, kita sudah merdeka! Bapak dan teman-teman bapak susah payah sampai mati kayak gini demi kemerdekaan itu. Masa iya kamu tega bilang kalau kita belum merdeka, masak iya kamu tega menafikkan perjuangan bapak dan ratusan ribu teman bapak yang lain?” Lanang melonggo, ini apa-apaan? “Nak” Orang itu menepuk pundaknya, “kemerdekaan itu harus dijaga, di sini, disini dan disini” Orang tua itu menyentuh dada, kening, dan tangan Lanang berurutan. “Jika kamu tidak menjaganya disini, disini dan disini, kemerdekaan itu akan hilang. Apa yang Bapak perjuangkan jadi percuma”.  Tiba-tiba terdengar geluduk mengelegar, teras rumah Lanang terasa goyang, bum! Terasa sakit badan Lanang, dari jauh ia mendengar batuk bapaknya. Lanang membuka mata, “hah, mimpi!” Lanang mendapati dirinya terjatuh dari dipan. Seketika ia bangkit menuju meja belajarnya, mencari makalah yang ia buat tadi malam, menghapusnya dengan typo dan menuliskan “Kita Sudah Merdeka” diatasnya.

7 komentar:

Mamon mengatakan...

wew... menarik. lanang opo wedok? hehehehe. over all, ceritanya punya pesan yang tersampaikan

Unknown mengatakan...

Ceritane Lanang, akune wadon. Hahaha..

Thanks Mon :-)

Symphony of Elegy mengatakan...

bagus banget, sarat akan pesan moral tentang kemerdekaan:

Indiana Malia mengatakan...

Mbak, piye tho carane nglebokne lagu neng blog koyok blogmu?
aku wes njajal gawe sundcloud tapi ra kenek2 -_____-"
*komen ra nyambung

Basith Kuncoro Adji mengatakan...

Wah, aku terhenyak saat baca kalimat terakhirnya. Bagus banget! :)

Kalau boleh saran, coba bagian percakapan dipisah, jangan di satu paragraf seperti itu. Ada beberapa poin yang membuatnya gak bisa dicerna dengan sederhana. Hehe :)

COFFEE. mengatakan...

cek lagi tulisannya..

kemerdekaan itu haus dijaga..*harus* :D

Unknown mengatakan...

Baru bisaa buka blog via PC T.T

Andaka : Hatur Nuhuuunn. Semoga bisa memberi 'pengaruh' buat yang baca. hehe

Zakia : sik yooo... :-)

Basith : Iya, ada beberapa masukan juga ttg itu. Tapi kalau dipisah bisa melebhi 2 halaman. You know laah, hehe. Mungkin di postingan lain bisa tak rapiin.

Agus : siap gan