Langit senja muram,
matahari masih enggan pergi meskipun awan yang berarak membuat komplotan yang
semakin mengental dan menggumpal, mengarak matahari untuk pulang. Lanang masih
di dalam rumah, di ruangan yang bisa disebut ruang apa saja. Ya ruang tamu, ya
ruang tengah untuk berkumpul, ya ruang makan, dan ya gudang untuk menaruh semua
barang. Lanang membongkar isi lemari pakaian di pojokan ruangan itu, sebagian
isi lemari terhambur keluar, berantakan! Itu adalah lemari khusus untuk
menyimpan kain-kain keperluan rumah tangga: kemul, sarung, mukena, sprei,
serbet, taplak, dan barang yang dari tadi pagi tadi dicari Lanang: Bendera.
Bendera Indonesia berukuran A3, warnanya luntur sudah tidak merah putih lagi,
tetapi menjadi orange-krem dilumat usia. Lanang tidak pernah tahu kapan
bapaknya membeli bendera itu, sebenarnya dia juga tidak yakin apakah bendera
itu dibeli atau dikasih. Tahun kemarin Lanang pernah mengajukan usul kepada
bapaknya untuk membeli bendera baru, karena warna bendera yang mereka miliki
sekarang tidak merepresentasikan bendera Indonesia. “Ini apa namanya?” kata
Bapak Lanang sedikit menghentak, sambil merentangkan bendera itu di depan wajah
Lanang. “Bendera...” Jawab Lanang polos. “Bendera apa?” “Merah Putih” “Bendera
apaaa?” menghentak lagi “I.. Indonesia” suara Lanang melirih, “Nah, selama
Indonesia belum ganti bendera, Bapak Juga tidak akan ganti bendera!”. Oke, Fine!
Pikir Lanang.
Ini tanggal 16 Agustus,
terlalu terlambat untuk mengibarkan bendera Indonesia di depan rumah.
Tetangga-tetangga lainnya sudah sejak awal bulan mengibarkan bendera dua warna
itu, dan seluruh desapun riuh dengan hiasan merah putih di pinggir jalan. Lanang
sebenarnya sangat malas mencari tiang mambu dan mengibarkan bendera itu di
depan rumah. Demi menghentikan teriakan Bapaknya tentang ‘agar tidak dituduh
PKI’ Lanang akhirnya mengibarkan bendera itu. Lanang mengira pasti Bapaknya ini
punya sejarah pahit tentang PKI, namun Bapak Lanang, tidak pernah keluar
perkataan selain marah dan perintah, ia tidak pernah cerita apapun tentang
kehidupannya.
Satu langkah menuju
maghrib, bendera kucel itu baru ditemukan, dilipat ditengah diantara
serbet-serbet yang disimpan ibunya. Baunya sudah tidak dapat didefinisikan
lagi, karena barang ini memang hanya ‘keluar’ dari sarang satu tahun sekali.
‘Benar-benar pusaka!’ batin Lanang ketika menemukan bendera itu. Segera Lanang
merapikan gunungan kain yang menghambur berantakan di sekitarnya, memasukkan
lagi kedalam lemari. Bendera ini tidak mungkin di cucinya dulu karena sudah
tidak keburu waktu, meskipun konsep mengibarkan bendera sedikit sama dengan
menjemur bendera. Lanang memutuskan untuk menyetrikanya saja, dan kamudian
memasangnya di tiang bambu yang dicarinya tadi pagi.
Bendera sudah terpasang,
Lanang meletakkan beberapa batu besar di pangkal tiang bambu, tanah yang
digalinya untuk menancapkan tiang tidak terlalu kuat menahan bambu itu jika
terkena angin. Batin Lanang berdesir, dalam pikirannya konsep merdeka belum
tercerna menjadi sebuah makna. Ia hanya menumpuk di pojokan memori Lanang sebagai
sebuah kata, menumpuk bersama ratusan ribu kata lainnya. Dalam rangka
mengibarkan bendera merah-putih itu, Lanang mencoba sekali lagi memaknai kata
merdeka. Tapi mentok, Lanang hanya sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan itu
hanyalah milik orang kaya, orang berduit. Jika belum kaya, maka belum bisa
melumat lezatnya kemerdekaan.
Pukul 20.53. Lanang
tersenyum nyinyir, dibacanya sekilas makalah-makalah yang ia kumpulkan dari
perpustakaan dan artikel dari majalah dan koran bekas dan dibacanya lagi
makalah yang ia buat untuk tugas kewarganegaraan. Tahun ketiga ia bersekolah di
SMA, ketiga kalinya Lanang membuat makalah dengan tema ‘Memaknai Kemerdekaan’,
dan untuk ketiga kalinya pula ia menuliskan ‘Kita Belum Merdeka’ di Judul
Makalahnya. Lanang bukan siswa yang bodoh, ia mengumpulkan bukti kalau memang
Indonesia belum merdeka. Masalah HAM, perlakuan di depan hukum, kapitalisme
global, intervensi asing dan kemiskinan adalah masalah-masalah yang selalu ia
angkat sebagai bukti masih tertindasnya masyarakat Indonesia.
Hari itu awan mengelabu,
Lanang menghampiri seseorang yang bertamu di rumahnya, seseorang berpakaian
perwira. “Loh, Bapak ini kan...”, “Ahmad Yani” Lelaki baya itu memotong kalimat
Lanang sambil menyalaminya. Lanang bingung melihat sosok yang foto wajahnya di
pajang di setiap kelas di sekolahnya. “Mmmm, ada perlu apa ya pak? Atau mau
saya panggilkan bapak saya?” masih bingung “Tidak. Saya hanya ingin mengucapkan
Selamat Hari Kemerdekaan” Lanang mengernyit. “Iya, kita sudah merdeka! Bapak
dan teman-teman bapak susah payah sampai mati kayak gini demi kemerdekaan itu.
Masa iya kamu tega bilang kalau kita belum merdeka, masak iya kamu tega
menafikkan perjuangan bapak dan ratusan ribu teman bapak yang lain?” Lanang
melonggo, ini apa-apaan? “Nak” Orang itu menepuk pundaknya, “kemerdekaan itu
harus dijaga, di sini, disini dan disini” Orang tua itu menyentuh dada, kening,
dan tangan Lanang berurutan. “Jika kamu tidak menjaganya disini, disini dan
disini, kemerdekaan itu akan hilang. Apa yang Bapak perjuangkan jadi percuma”. Tiba-tiba terdengar geluduk mengelegar, teras
rumah Lanang terasa goyang, bum! Terasa sakit badan Lanang, dari jauh ia
mendengar batuk bapaknya. Lanang membuka mata, “hah, mimpi!” Lanang mendapati
dirinya terjatuh dari dipan. Seketika ia bangkit menuju meja belajarnya,
mencari makalah yang ia buat tadi malam, menghapusnya dengan typo dan
menuliskan “Kita Sudah Merdeka” diatasnya.
7 komentar:
wew... menarik. lanang opo wedok? hehehehe. over all, ceritanya punya pesan yang tersampaikan
Ceritane Lanang, akune wadon. Hahaha..
Thanks Mon :-)
bagus banget, sarat akan pesan moral tentang kemerdekaan:
Mbak, piye tho carane nglebokne lagu neng blog koyok blogmu?
aku wes njajal gawe sundcloud tapi ra kenek2 -_____-"
*komen ra nyambung
Wah, aku terhenyak saat baca kalimat terakhirnya. Bagus banget! :)
Kalau boleh saran, coba bagian percakapan dipisah, jangan di satu paragraf seperti itu. Ada beberapa poin yang membuatnya gak bisa dicerna dengan sederhana. Hehe :)
cek lagi tulisannya..
kemerdekaan itu haus dijaga..*harus* :D
Baru bisaa buka blog via PC T.T
Andaka : Hatur Nuhuuunn. Semoga bisa memberi 'pengaruh' buat yang baca. hehe
Zakia : sik yooo... :-)
Basith : Iya, ada beberapa masukan juga ttg itu. Tapi kalau dipisah bisa melebhi 2 halaman. You know laah, hehe. Mungkin di postingan lain bisa tak rapiin.
Agus : siap gan
Posting Komentar