Follow Us @soratemplates

20/07/12

Bendera yang Menjuntai



Bulan Agustus adalah bulan yang menakjubkan bagi kami. Pada bulan ini roda kehidupan serasa berputar lebih cepat daripada biasanya, bulan ini acara dan kegiatan besar silih berganti. Pertama, ini adalah bulan awal masuk sekolah. Bagi kami –aku dan ketiga teman se desaku- ini bukan awal masuk sekolah biasa, karena kami baru saja diterima di SMP Muhammadiyah 1, di daerahku itu SMP Favorit. Awal sekolah di sekolahan baru memang selalu menawarkan rasa yang campur aduk. Kedua, 14 Agustus adalah hari pramuka, tentu saja kita akan sibuk dengan jambore se-kecamatan. Ketiga, tahun ini bulan Agustus menjadi persinggahan bulan suci Ramadhan, bulan yang menurut kami bulan paling romantis daripada seribu bulan, eh, daripada 11 bulan yang lain. Dan, terakhir bulan Agustus adalah bulannya Indonesia: kemerdekaan.
Melihat agenda yang saling tumpuk menumpuk maka Ryan –si ketua genk- berinisiatif untuk mengadakan rapat tertutup, hanya kami berempat (karena memang anggota genk kami hanya empat orang). Agenda rapat itu adalah bagaimana caranya agar kami bisa eksis di semua kegiatan dan tidak ketinggalan berita terhangat. Maka Ryan membagi konsentrasi, dirinya fokus dengan keadaan sekolah baru, Mursyad fokus pada kegiatan Pramuka, Sadi pada kegiatan Ramadhan, dan aku fokus pada kegiatan 17Agustus-an. Menurut kesepakatan, setiap sore setelah tadarusan di masjid kami akan berkumpul melaporkan perkembangan setiap pos kegiatan. Sore itu tiba, Ryan dengan semangat menceritakan ‘the most wanted Ipmawati (sebutan bagi siswa putri)’ sampai guru terkiller. Mursyad akan membuatkan ‘intisari buku saku pramuka’, Sadi sudah mendapatkan joki agar buku Ramadhan kami tertanda tangani Khotib Tarawih tanpa harus berdesak-desakan minta tanda tangan, dan aku... Aku hanya bisa melongo ketika teman-temanku presentasi. Aku tidak punya materi untuk dibagi, secara lomba 17an masih sama dengan tahun kemarin. Kami hanya bisa ikuti balap karung, kelereng, dan makan kerupuk. Lomba lainnya untuk dewasa, usia kami belum bisa masuk, sedang ketiga lomba tadi kami telah sepakat bahwa kami sudah terlalu ‘tua’ untuk ikut lomba semacam itu. Dalam keadaan terdesak, waktu itu ketiga pasang mata temanku berubah menjadi mata serigala kelaparan. Otakku melacak apa yang bisa aku jadikan bahan bahasan, aku merasa semakin terjepit karena mata teman-temanku menadi semakin nyalang, mereka benar-benar meminta sesuatu dari pengamatanku di acara 17-an. “Rumah Veteran, bendera rumah veteran” Oke, kata itu muncul tidak melalui proses yang benar di otak: muncul begitu saja.
“Tidak ada yang menarik dari acara 17-an, tapi aku melihat sesuatu yang aneh, ganjil, dan tidak biasa di rumah Pak Suto, veteran tetangga kita” aku menjelaskan. Seketika kulihat mata nyalang teman-temanku berubah menjadi mata penasaran dan menyelidik. Pak Suto adalah orang yang sangat tertutup, ia hidup sendiri, anak-anaknya merantau dan hidup sukses di kota. Usianya hampir 80, dirumahnya ia ditemani seorang perawat, seorang pembantu perempuan, dan seorang tukang kebun sekaligus mekanik. Warga desa kami akrab dengan ketiga ‘batur’nya karena mereka sering bersosialisasi. Tetapi tidak untuk pak Suto, Ia hampir tidak pernah keluar rumah, rumahnya selalu ditutup rapat. Kemisteriusan Pak Suto inilah mungkin yang membuat temanku sangat serius mendengarkan laporanku.
“Entah tahun-tahun sebelumnya, tetapi sejak 1 Agustus kemarin aku melihat bendera merah putih yang dikibarkan di depan rumahnya...” aku melihat teman-temanku menegang “...menjuntai tanah...”  “Hah? Maksudnya..?” “setengah tiang...?” aku menggeleng “lebih rendah dari setengah tiang. Hampir menyentuh tanah” “Alaaah... melorot kaliiii...” timpal Ryan. Aku bersedekap dan menggelengkan kepala dengan mantap, “aku sering melihat Lek Min dan Kang Dur nyapu dan merapikan halaman. Kalau melorot pasti mereka akan membetulkan, kan benderanya di halaman itu juga. Tapi berhari-hari bendera itu tidak berubah posisi”.
Sebenarnya aku tidak merasa ada yang janggal dari itu, tetapi setelah aku mengatakannya aku baru menyadari bahwa itu benar-benar janggal. Teman-temankupun merasa bahwa itu janggal, hingga habis tarawih kita masih membicarakan tentang  Pak Suto dan benderanya. Keesokan harinya Ryan mengadakan rapat dadakan dan berinisiatif bahwa kami harus menyelidiki fenomena ini. Berhari-hari kami bergantian mengintai rumah pak Suto, benar saja pembantunya memang melihat benderanya dan tak ada niat menaikkannya. Kamipun melakukan wawancara implisit dengan Lik Min dan Kang Dur, informasinya Nihil. Mereka hanya tau kalau bendera itu yang memasang Pak Suto, dan mereka nggak mau ngowah-owah (merubah) hal itu.
Akhirnya hari kemerdekaan pun datang, mulanya kami berprasangka kalau Pak Suto bakal menaikkan benderanya di hari jadi Republik ini, tapi sampai sore kami tunggu hasilnya nihil. Kami mulai gregetan dan merasa bahwa ini merupakan penghinaan bagi bangsa Indonesia. Kami tidak rela bangsa Indonesia direndahkan serendah itu. Demi kehormatan bangsa Indonesia kamipun bersepakat untuk menaikkan bendera merah putih itu sendiri. Satu langkah sebelum maghrib kami sudah berkumpul di halaman rumah Pak Suto, ini saat semua tetangga berkumpul di masjid atau masuk kerumah untuk bersiap buka puasa, sehingga lingkungan menjadi sepi. Perlahan kami lepas tali ikatan bendera itu. “Buuuuk...” belum selesai kami melepas ikatan ada benda yang tiba-tiba melayang mengenai bahu kiri  Mursyad. Kontan kami celingukan mencari tau siapa yang melempar benda yang akhirnya kami ketahui benda tadi adalah sandal jepit. Benar saja, Pak Suto berdiri di depan pintu rumahnya tanpa alas kaki dan satu sandal jepit di tangan kanannya. “Biarkan bendera itu disitu biar dia tau kalau dia berpijak diatas tanah!!” teriak pak Suto sambil mengacung-acungkan sandalnya. Kontan kami lari tunggang langgang.

2 komentar:

Bale mengatakan...

masih belum paham apa maksud pak suto -_-

Unknown mengatakan...

kayaknya pak Suto agak 'sinis' dengan bangsa Indonesia yang 'lupa daratan' lupa tempat berpijak, lupa perjuangan sejarah, sehingga beliau simbolkan dengan memendekkan benderanya, biar bendera (sebagai lambang bangsa Indonesia) tetap ingat bahwa ia berpijak diatas tanah.