Bulan
Agustus adalah bulan yang menakjubkan bagi kami. Pada bulan ini roda kehidupan
serasa berputar lebih cepat daripada biasanya, bulan ini acara dan kegiatan
besar silih berganti. Pertama, ini adalah bulan awal masuk sekolah. Bagi kami
–aku dan ketiga teman se desaku- ini bukan awal masuk sekolah biasa, karena
kami baru saja diterima di SMP Muhammadiyah 1, di daerahku itu SMP Favorit.
Awal sekolah di sekolahan baru memang selalu menawarkan rasa yang campur aduk.
Kedua, 14 Agustus adalah hari pramuka, tentu saja kita akan sibuk dengan
jambore se-kecamatan. Ketiga, tahun ini bulan Agustus menjadi persinggahan
bulan suci Ramadhan, bulan yang menurut kami bulan paling romantis daripada
seribu bulan, eh, daripada 11 bulan yang lain. Dan, terakhir bulan Agustus
adalah bulannya Indonesia: kemerdekaan.
Melihat
agenda yang saling tumpuk menumpuk maka Ryan –si ketua genk- berinisiatif untuk
mengadakan rapat tertutup, hanya kami berempat (karena memang anggota genk kami
hanya empat orang). Agenda rapat itu adalah bagaimana caranya agar kami bisa
eksis di semua kegiatan dan tidak ketinggalan berita terhangat. Maka Ryan
membagi konsentrasi, dirinya fokus dengan keadaan sekolah baru, Mursyad fokus
pada kegiatan Pramuka, Sadi pada kegiatan Ramadhan, dan aku fokus pada kegiatan
17Agustus-an. Menurut kesepakatan, setiap sore setelah tadarusan di masjid kami
akan berkumpul melaporkan perkembangan setiap pos kegiatan. Sore itu tiba, Ryan
dengan semangat menceritakan ‘the most wanted Ipmawati (sebutan bagi siswa
putri)’ sampai guru terkiller. Mursyad
akan membuatkan ‘intisari buku saku pramuka’, Sadi sudah mendapatkan joki agar
buku Ramadhan kami tertanda tangani Khotib Tarawih tanpa harus berdesak-desakan
minta tanda tangan, dan aku... Aku hanya bisa melongo ketika teman-temanku
presentasi. Aku tidak punya materi untuk dibagi, secara lomba 17an masih sama
dengan tahun kemarin. Kami hanya bisa ikuti balap karung, kelereng, dan makan
kerupuk. Lomba lainnya untuk dewasa, usia kami belum bisa masuk, sedang ketiga
lomba tadi kami telah sepakat bahwa kami sudah terlalu ‘tua’ untuk ikut lomba
semacam itu. Dalam keadaan terdesak, waktu itu ketiga pasang mata temanku
berubah menjadi mata serigala kelaparan. Otakku melacak apa yang bisa aku
jadikan bahan bahasan, aku merasa semakin terjepit karena mata teman-temanku
menadi semakin nyalang, mereka benar-benar meminta sesuatu dari pengamatanku di
acara 17-an. “Rumah Veteran, bendera rumah veteran” Oke, kata itu muncul tidak
melalui proses yang benar di otak: muncul begitu saja.
“Tidak
ada yang menarik dari acara 17-an, tapi aku melihat sesuatu yang aneh, ganjil,
dan tidak biasa di rumah Pak Suto, veteran tetangga kita” aku menjelaskan.
Seketika kulihat mata nyalang teman-temanku berubah menjadi mata penasaran dan
menyelidik. Pak Suto adalah orang yang sangat tertutup, ia hidup sendiri,
anak-anaknya merantau dan hidup sukses di kota. Usianya hampir 80, dirumahnya
ia ditemani seorang perawat, seorang pembantu perempuan, dan seorang tukang
kebun sekaligus mekanik. Warga desa kami akrab dengan ketiga ‘batur’nya karena
mereka sering bersosialisasi. Tetapi tidak untuk pak Suto, Ia hampir tidak
pernah keluar rumah, rumahnya selalu ditutup rapat. Kemisteriusan Pak Suto
inilah mungkin yang membuat temanku sangat serius mendengarkan laporanku.
“Entah
tahun-tahun sebelumnya, tetapi sejak 1 Agustus kemarin aku melihat bendera
merah putih yang dikibarkan di depan rumahnya...” aku melihat teman-temanku
menegang “...menjuntai tanah...” “Hah?
Maksudnya..?” “setengah tiang...?” aku menggeleng “lebih rendah dari setengah
tiang. Hampir menyentuh tanah” “Alaaah... melorot kaliiii...” timpal Ryan. Aku
bersedekap dan menggelengkan kepala dengan mantap, “aku sering melihat Lek Min
dan Kang Dur nyapu dan merapikan halaman. Kalau melorot pasti mereka akan
membetulkan, kan benderanya di halaman itu juga. Tapi berhari-hari bendera itu
tidak berubah posisi”.
Sebenarnya
aku tidak merasa ada yang janggal dari itu, tetapi setelah aku mengatakannya
aku baru menyadari bahwa itu benar-benar janggal. Teman-temankupun merasa bahwa
itu janggal, hingga habis tarawih kita masih membicarakan tentang Pak Suto dan benderanya. Keesokan harinya
Ryan mengadakan rapat dadakan dan berinisiatif bahwa kami harus menyelidiki
fenomena ini. Berhari-hari kami bergantian mengintai rumah pak Suto, benar saja
pembantunya memang melihat benderanya dan tak ada niat menaikkannya. Kamipun melakukan
wawancara implisit dengan Lik Min dan Kang Dur, informasinya Nihil. Mereka
hanya tau kalau bendera itu yang memasang Pak Suto, dan mereka nggak mau ngowah-owah (merubah) hal itu.
Akhirnya
hari kemerdekaan pun datang, mulanya kami berprasangka kalau Pak Suto bakal
menaikkan benderanya di hari jadi Republik ini, tapi sampai sore kami tunggu
hasilnya nihil. Kami mulai gregetan dan merasa bahwa ini merupakan penghinaan
bagi bangsa Indonesia. Kami tidak rela bangsa Indonesia direndahkan serendah
itu. Demi kehormatan bangsa Indonesia kamipun bersepakat untuk menaikkan
bendera merah putih itu sendiri. Satu langkah sebelum maghrib kami sudah
berkumpul di halaman rumah Pak Suto, ini saat semua tetangga berkumpul di
masjid atau masuk kerumah untuk bersiap buka puasa, sehingga lingkungan menjadi
sepi. Perlahan kami lepas tali ikatan bendera itu. “Buuuuk...” belum selesai
kami melepas ikatan ada benda yang tiba-tiba melayang mengenai bahu kiri Mursyad. Kontan kami celingukan mencari tau
siapa yang melempar benda yang akhirnya kami ketahui benda tadi adalah sandal
jepit. Benar saja, Pak Suto berdiri di depan pintu rumahnya tanpa alas kaki dan
satu sandal jepit di tangan kanannya. “Biarkan bendera itu disitu biar dia tau
kalau dia berpijak diatas tanah!!” teriak pak Suto sambil mengacung-acungkan
sandalnya. Kontan kami lari tunggang langgang.
2 komentar:
masih belum paham apa maksud pak suto -_-
kayaknya pak Suto agak 'sinis' dengan bangsa Indonesia yang 'lupa daratan' lupa tempat berpijak, lupa perjuangan sejarah, sehingga beliau simbolkan dengan memendekkan benderanya, biar bendera (sebagai lambang bangsa Indonesia) tetap ingat bahwa ia berpijak diatas tanah.
Posting Komentar