Follow Us @soratemplates

21/04/13

Perjalanan (mematikan) Rasa



Suatu hari, aku akan menjadi yang seperti kau harapkan. Jiwaku mati dan aku sudah tidak bisa merasakan: Suka cita dan kesedihan. Jatuh cinta dan penderitaan.

Suatu hari, aku akan menjadi seseorang yang kau katakan: Menanggalkan perasaan!

Ingat-ingat, aku selalu ingat. Di pagi yang usang, yang hanya dingin dan basah serta udara yang beraroma. Seolah, pagi ini hanya kita berdua yang hidup di dunia, ya?, katamu. Setelah ide gila berjalan dari tengah malam hingga pagi menyusuri jalan aspal ibu kota ini.  Kau tau, ada yang tidak beres dalam sistem kita? Aku mulai bergidik, di pagi yang usang ini, di sela peluh yang merembas bersama embun ini, kita berjalan tertatih ditengah tanjakan dan kau ingin membicarakan sistem? Sistem kehidupan? Sistem pemerintahan? Sistem apa? Aku malas sekali mendengarnya. Dan saat itu, aku mulai menyesal kenapa kita tidak langsung jatuh cinta saja? Mengapa jatuh cinta kepadamu harus memenuhi aturan –berjalan dari tengah malam hingga pagi di jalan utama ibu kota?- Aku merasa dipermainkan. Kamu pahamkan kalau aku sedang membicarakan perasaan? Perasaan kita?Aku berhenti berjalan, melihatmu tak paham. Kau melihatku sebentar dan meneruskan sisa tanjakan. Ingin sekali aku memukul kepalamu dari belakang. Kamu yang aku kenal pendiam, mengapa jadi filosofis dan menyusahkan seperti ini. Urung, aku mengikutimu dari belakang. Manusia, kita… makhluk yang istimewa. Kenapa? Karena kita punya perasaan, lihat kita sedang merasakan cinta. Dari samping aku melihat senyummu sedikit mengembang, sinis. Nah, kenapa tak dari dulu kau mengakui itu, mudah kan: kita jatuh cinta. Oh, tunggu, tidak ada kata ‘jatuh’ disana, tapi merasakan cinta. O God, betapa satu kata saja membuat perbedaan yang sungguh membuat sesak. Aku sangat yakin dia memiliki perasaan yang sama denganku, dan ya kita memang selalu bersama. Meski pergaulan kita tampak seperti sahabat yang hangat dan tidak seperti sepasang kekasih, namun aku sangat tau dia sangat bergantung denganku. Kadang aku merasa seperti digantung dan dimanfaatkan. Namun dalam frasa yang dia utarakan pagi itu, aku menjadi paham. Dia mengakuinya akhirnya, dia merasakan cinta, tapi dia tidak jatuh.
Perlu wakktu lama untuk mendengarkan kalimatmu selanjutnya. Hingga kita sampai di ujung tanjakan dan menikmati jalan yang datar. Kemudian kamu berhenti dan terlentang ditengah jalan. Aku mulai berfikir bahwa aku jatuh cinta kepada seorang gila, seorang maniak yang eksentrik!


Kemarilah, bintang terlihat jelas jika dilihat vertikal begini. Tak ayal aku melakukan juga. Dan kita lebih enak membicarakan Tuhan sambil melihat bintang-bintang. Mulanya aku berharap suatu hal yang romantis dengan adegan -tidur terlentang di tengah jalan memandang bintang sebelum shubuh-, tapi kemudian aku tersadar bahwa kita akan bergelut pada hal-hal teologis. Tapi anehnya, ketika kita diturunkan ke dunia, kita disuruh mematikan semua perasaan itu. Aku nggak ngerti. Maksudmu? Tuhan mulanya memberikan hak istimewa kepada manusia berupa perasaan, tetapi kemudian kita disuruh mematikannya? Aku tidak paham. Jangan bilang kau ingin mengatakan jika Tuhan melakukan kesalahan? Kamu diam beberapa saat, memejamkan mata sebentar kemudian menjawab, itu yang aku pikirkan.


Itu kejadian beberapa bulan lalu. Mulanya aku sangat beroposisi dengan pendapatmu. Aku tidak mau melakukan hal yang kamu percayai dan kamu lakukan: mematikan perasaan! Manusia memang menjadi deviant dari makhluk lain karena ia memiliki perasaan. Perasaan ini yang membuat menusia berbeda dengan makhluk lainnya di dunia, pun dengan yang di luar dunia. Hewan memiliki akal dan nafsu, tapi mereka tidak memiliki perasaan. Hewan bisa saja menjadi teman baik bagi manusia, anjing misalnya. Bukan karena perasaan sayang, tetapi karena hewan ini belajar bahwa jika baik terhadap majikan akan diberi makan. Hal itu adalah kerja nafsu dan akal.


Manusia,dengan perasaan akan memiliki kesempatan untuk merasakan beberapa emosi yang kompleks dan kadang saling tumpang tindih. Suka, duka, putus asa, iri, marah, terabaikan, dihargai, hormat, bergairah, atau yang lainnya. Aku belajar psikologi dan beranggapan bahwa manusia perlu bersyukur karena memiliki perasaan yang mampu merasakan emosi yang beraneka ragam. Itu suatu harta kekeayaan dan keberlimpahan. Bagiku, sudah sewajibnya manusia mengakui seluruh emosi yang ia rasakan, baik itu emosi positif atau negatif seperti marah, benci, dll. Sepanjang aku belajar psikologi, emosi yang tidak diakui ini justru akan terlampiaskan kepada hal lain. Seperti perasaan kecewa yang dirasakan Istri terhadap suami, tapi karena Istri beranggapan bahwa suami adalah kepala keluarga dan harus dituruti maka istri memendam rasa kecewa itu. Emosi yang dipendam terlalu lama akan menjadi bom waktu, atau terlampiaskan ke hal lain misalnya Istri menjadi judes dan cepat marah kepada anak (karena tidak bisa melampiaskan kepada suami). Tetapi lelaki ini berfikir lain denganku…


“Lihat kita, manusia. Dengan kemampuan perasaan. Pada saat kecil, kita bebas mengekspresikan apa yang kita rasakan. Kalau marah ya marah, sedih ya nangis, seneng ya ketawa. Tapi semakin dewasa kita disuruh untuk belajar mengendalikan, kata orang, tapi bagiku, belajar untuk sedikit demi sedikit menhilangkan perasaan yang kita rasakan. Bayangkan, bagaimana orang bisa disebut dewasa? Dunia kita mendefinisikan orang yang dewasa adalah yang bisa ‘tidak menunjukkan perasaan kita yang sebenarnya’ yang misalnya sedang ada masalah bisa tidak memperlihatkan masalah, ketika marah bisa tidak menunjukka rasa marah, dan sebagainya. Dan lihat pula, Agama kita juga mengajarkan hal yang sama: untuk tidak terlalu bahagia jika bahagia, terlalu sedih jika sedih dan bahkan fenomena ini yang membuatku tersadar: orang yang tersenyum ketika marah, terlihat bahagia ketika ditimpa masalah berat. Itu dianggap orang yang berjiwa besar, orang yang bersabar. Bagiku, dia orang-orang yang seperti itu adalah orang yang sudah sukses mematikan perasaannya. Ya, maka disinilah aku dengan konsepku yang sebenarnya konsep masyarakat pada umumnya juga, namun mereka terlalu naif mengakuinya. Kita hidup di dunia hanya untuk melawan dan mematikan rasa”


Aku beranjak bangun dari tanah aspal setelah ia mengakhiri kalimatnya. Pulang. Meninggalkan ia sendirian. Dan dalam perjalanannya, beberapa bulan berlalu setelah kejadian itu, aku menjadi manusia yang seperti apa yang ia katakan, manusia yang menanggalkan perasaan. Perjalanan kita, perjalanan mematikan rasa.

Tidak ada komentar: