Suatu hari, aku akan
menjadi yang seperti kau harapkan. Jiwaku mati dan aku sudah tidak bisa
merasakan: Suka cita dan kesedihan. Jatuh cinta dan penderitaan.
Suatu
hari, aku akan menjadi seseorang yang kau katakan: Menanggalkan perasaan!
Ingat-ingat,
aku selalu ingat. Di pagi yang usang, yang hanya dingin dan basah serta udara
yang beraroma. Seolah, pagi ini hanya
kita berdua yang hidup di dunia, ya?, katamu. Setelah ide gila berjalan
dari tengah malam hingga pagi menyusuri jalan aspal ibu kota ini. Kau tau,
ada yang tidak beres dalam sistem kita? Aku mulai bergidik, di pagi yang
usang ini, di sela peluh yang merembas bersama embun ini, kita berjalan
tertatih ditengah tanjakan dan kau ingin membicarakan sistem? Sistem kehidupan?
Sistem pemerintahan? Sistem apa? Aku malas sekali mendengarnya. Dan saat itu,
aku mulai menyesal kenapa kita tidak langsung jatuh cinta saja? Mengapa jatuh
cinta kepadamu harus memenuhi aturan –berjalan dari tengah malam hingga pagi di
jalan utama ibu kota?- Aku merasa dipermainkan. Kamu pahamkan kalau aku sedang membicarakan perasaan? Perasaan kita?Aku
berhenti berjalan, melihatmu tak paham. Kau melihatku sebentar dan meneruskan
sisa tanjakan. Ingin sekali aku memukul kepalamu dari belakang. Kamu yang aku
kenal pendiam, mengapa jadi filosofis dan menyusahkan seperti ini. Urung, aku
mengikutimu dari belakang. Manusia, kita…
makhluk yang istimewa. Kenapa? Karena kita punya perasaan, lihat kita sedang
merasakan cinta. Dari samping aku melihat senyummu sedikit mengembang,
sinis. Nah, kenapa tak dari dulu kau mengakui itu, mudah kan: kita jatuh cinta.
Oh, tunggu, tidak ada kata ‘jatuh’ disana, tapi merasakan cinta. O God, betapa
satu kata saja membuat perbedaan yang sungguh membuat sesak. Aku sangat yakin
dia memiliki perasaan yang sama denganku, dan ya kita memang selalu bersama.
Meski pergaulan kita tampak seperti sahabat yang hangat dan tidak seperti
sepasang kekasih, namun aku sangat tau dia sangat bergantung denganku. Kadang
aku merasa seperti digantung dan dimanfaatkan. Namun dalam frasa yang dia
utarakan pagi itu, aku menjadi paham. Dia mengakuinya akhirnya, dia merasakan
cinta, tapi dia tidak jatuh.
Perlu
wakktu lama untuk mendengarkan kalimatmu selanjutnya. Hingga kita sampai di
ujung tanjakan dan menikmati jalan yang datar. Kemudian kamu berhenti dan
terlentang ditengah jalan. Aku mulai berfikir bahwa aku jatuh cinta kepada
seorang gila, seorang maniak yang eksentrik!
Kemarilah, bintang terlihat jelas
jika dilihat vertikal begini. Tak ayal aku
melakukan juga. Dan kita lebih enak
membicarakan Tuhan sambil melihat bintang-bintang. Mulanya aku berharap
suatu hal yang romantis dengan adegan -tidur terlentang di tengah jalan
memandang bintang sebelum shubuh-, tapi kemudian aku tersadar bahwa kita akan
bergelut pada hal-hal teologis. Tapi
anehnya, ketika kita diturunkan ke dunia, kita disuruh mematikan semua perasaan
itu. Aku nggak ngerti. Maksudmu?
Tuhan mulanya memberikan hak istimewa kepada manusia berupa perasaan, tetapi
kemudian kita disuruh mematikannya? Aku tidak paham. Jangan bilang kau ingin
mengatakan jika Tuhan melakukan kesalahan? Kamu diam beberapa saat, memejamkan
mata sebentar kemudian menjawab, itu yang
aku pikirkan.
Itu
kejadian beberapa bulan lalu. Mulanya aku sangat beroposisi dengan pendapatmu. Aku
tidak mau melakukan hal yang kamu percayai dan kamu lakukan: mematikan
perasaan! Manusia memang menjadi deviant dari
makhluk lain karena ia memiliki perasaan. Perasaan ini yang membuat menusia
berbeda dengan makhluk lainnya di dunia, pun dengan yang di luar dunia. Hewan memiliki
akal dan nafsu, tapi mereka tidak memiliki perasaan. Hewan bisa saja menjadi
teman baik bagi manusia, anjing misalnya. Bukan karena perasaan sayang, tetapi
karena hewan ini belajar bahwa jika baik terhadap majikan akan diberi makan. Hal
itu adalah kerja nafsu dan akal.
Manusia,dengan
perasaan akan memiliki kesempatan untuk merasakan beberapa emosi yang kompleks
dan kadang saling tumpang tindih. Suka, duka, putus asa, iri, marah,
terabaikan, dihargai, hormat, bergairah, atau yang lainnya. Aku belajar
psikologi dan beranggapan bahwa manusia perlu bersyukur karena memiliki
perasaan yang mampu merasakan emosi yang beraneka ragam. Itu suatu harta
kekeayaan dan keberlimpahan. Bagiku, sudah sewajibnya manusia mengakui seluruh
emosi yang ia rasakan, baik itu emosi positif atau negatif seperti marah,
benci, dll. Sepanjang aku belajar psikologi, emosi yang tidak diakui ini justru
akan terlampiaskan kepada hal lain. Seperti perasaan kecewa yang dirasakan
Istri terhadap suami, tapi karena Istri beranggapan bahwa suami adalah kepala
keluarga dan harus dituruti maka istri memendam rasa kecewa itu. Emosi yang dipendam
terlalu lama akan menjadi bom waktu, atau terlampiaskan ke hal lain misalnya
Istri menjadi judes dan cepat marah kepada anak (karena tidak bisa melampiaskan
kepada suami). Tetapi lelaki ini berfikir lain denganku…
“Lihat kita, manusia. Dengan kemampuan
perasaan. Pada saat kecil, kita bebas mengekspresikan apa yang kita rasakan. Kalau
marah ya marah, sedih ya nangis, seneng ya ketawa. Tapi semakin dewasa kita
disuruh untuk belajar mengendalikan, kata orang, tapi bagiku, belajar untuk
sedikit demi sedikit menhilangkan perasaan yang kita rasakan. Bayangkan,
bagaimana orang bisa disebut dewasa? Dunia kita mendefinisikan orang yang
dewasa adalah yang bisa ‘tidak menunjukkan perasaan kita yang sebenarnya’ yang
misalnya sedang ada masalah bisa tidak memperlihatkan masalah, ketika marah
bisa tidak menunjukka rasa marah, dan sebagainya. Dan lihat pula, Agama kita
juga mengajarkan hal yang sama: untuk tidak terlalu bahagia jika bahagia,
terlalu sedih jika sedih dan bahkan fenomena ini yang membuatku tersadar: orang
yang tersenyum ketika marah, terlihat bahagia ketika ditimpa masalah berat. Itu
dianggap orang yang berjiwa besar, orang yang bersabar. Bagiku, dia orang-orang
yang seperti itu adalah orang yang sudah sukses mematikan perasaannya. Ya, maka
disinilah aku dengan konsepku yang sebenarnya konsep masyarakat pada umumnya
juga, namun mereka terlalu naif mengakuinya. Kita hidup di dunia hanya untuk
melawan dan mematikan rasa”
Aku
beranjak bangun dari tanah aspal setelah ia mengakhiri kalimatnya. Pulang. Meninggalkan
ia sendirian. Dan dalam perjalanannya, beberapa bulan berlalu setelah kejadian
itu, aku menjadi manusia yang seperti apa yang ia katakan, manusia yang menanggalkan
perasaan. Perjalanan kita, perjalanan mematikan rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar