Follow Us @soratemplates

26/04/13

Tidak akan seperti itu, Tuhan.



Tidak ada yang salah dengan emosi, tetapi bisa saja dengan cara mengungkapkan emosi. Orang boleh marah, kecewa tetapi uangkapkanlah dengan ‘tidak menyakiti’ orang boleh bangga, bahagia tetapi ungkapkanlah dengan ‘tidak menyakiti’.

Beberapa tahun yang lalu, saya begitu seringt dengan sekelompok teman. Seperti peer group biasanya kita ngobrol, sharing, ketawa, makan, atau hang out kemana bersama. Suatu hari aku baru merasa tersadar, ada satu teman yang selalu menghindar ketika satu teman lain bercerita. Aku baru sadar ketika salah seorang teman bercerita tentang keluarganya, ia minta ijin telfon. Biasanya kita abai, dan bilang ‘yayaya…’ tanpa menoleh padanya, tentu karena kita sedang asyik menyimak cerita keluarga tadi, tapi kebetulan aku sedikit menoleh kepadanya dan tanpa sengaja aku melihat layar HP yang digenggamnya gelap. ‘Lho kan nggak ada yg nelponin dia’ batinku. Tapi sepertinya memang tidak ada yang memperhatikannya selain aku. Karena penasaran, aku juga mengikutinya, tapi kali ini aku tidak minta ijin ke teman-teman, lupa, terlalu ‘terperangah’ dengan pandangan sekilasku tadi.


Dan ya.. dia tidak menerima telepon, dia pergi ke kamar mandi. Tak tau kenapa aku nungguin dia keluar kamar mandi. Ternyata cukup lama juga dia di kamar mandi –anehnya ketika dia di kamar mandi tidak ada suara air- . Begitu keluar aku kaget, matanya merah, dia juga kaget ketika melihatku di depan pintu kamar mandi. “Kamu kenapa e? kok merah matamu, habis nangis?” kadang aku memang nggak tau basa-basi.
Kemudian dia berjalan menuju dapur, disana ada tempat duduk yang cukup enak buat ngobrol. Aku tau dia akan bercerita banyak. “Tapi tolong jangan kasih tau temen-temen yang lain ya..” ia membuka obrolan. “sori kalau aku sering begini, aku bukannya nggak mau menghargai… tapi,” “ntar, begini gimana maksudnya?” “ya ini pergi keluar ketika kalian ngobrol tentang keluarga,” ah, aku memutar memori di otak. Kalau cerita tentang keluarga kayaknya sering banget kita lakukan. Tapi kok aku tidak menemukan memori tentang keluarganya anak ini ya? Ya ampun, dia memang tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Aku jadi merasa bersalah karena begitu tidak perhatian terhadap teman sendiri. Dan apa yang dia bilang tadi? Pergi keluar ketika kita sedang ngobrol masalah keluarga? Masya Allah. Aku mengutuki diriku, aku benar-benar tidak memperhatikannya. Bagaimana bisa? Ya ampun, aku merasa sangat bersalah.
Kalian semua memiliki keluarga yang bahagia, -kemudian dia menyebut nama kita satu-satu- tetapi aku tidak. Apalagi kalau mendengar cerita keluarga –dia menyebut salah seorang teman yang sering banget cerita tentang keluarganya yang gokil dan hangat-. Aku setiap hari musti dengerin treakan bapak, treakan ibu, gebrakan meja, sindiran dan saling menjatuhkan antara kedua orang tuaku. Aku nggak pernah tau apa yang bisa kulakukan. Aku iri dengan kalian, aku ingin punya keluarga kaya kalian. Ketika dengerin kalian cerita, nggak tau kenapa aku selalu pengen nangis, kenapa keluargaku nggak seperti keluarga kalian, aku juga ingin bisa cerita bahagia seperti itu


Dia bercerita lirih-lirih sambil menangis. Aku semakin merasa bersalah, betapa tidak care nya aku sama temen sendiri, “ri, maafin kita….” Cuma itu ternyata yang bisa keluar dari mulutku.
Enggak Yu, kalian gak salah. Gak ada yang salah, jangan merasa bersalah karena aku. Memang keadaanku seperti ini


Aku tetap berfikir bahwa aku salah, aku tidak berempati. Kita memang patut bersyukur karena suatu kebahagiaan (keluarga yang hangat misalnya) tetapi kita juga musti aware terhadap orang lain ketika ingin mengungkapkan kebahagiaan.



Tuhan, aku tidak ingin menjadi seperti itu. Yang berbahagia dan beruntung namun membuat sesak yang lain. Semoga aku selalu ingat untuk tetap rendah hati ketika diberi kebahagiaan dan keberuntungan.



Kemudian, setelah kejadian itu aku menjadi sedikit aware terhadap lingkungan. Hal-hal kecil kadang menjadi perhatianku. Suatu hari temanku yang belum menikah mengomentari teman lain yang sudah menikah ketika ia terserang sindrom – post-marriage-lebayatun-on-social-media – kata-kata ini aku dapat dari salah satu Tumblr seorang teman. Teman yang habis menikah ini sering sekali posting-posting status mesra dan ‘pacaran’ di facebook. Mungkin baginya itu menyenangkan dan memang hak dia. Tapi lihat di mata teman dekatnya dahulu ini, bahkan dia sudah bertahun-tahun berikhtiar biar bisa segera menikah, namun ada aja halangan. Ah, sayang sekali TEMAN DEKAT-nya saja luput dari rasa empatinya.


Dalam kasus ini, kadang MEDSOS menjadi sesuatu yang menfasilitasi ‘menyakiti orang lain tanpa sengaja’. Memasang foto-foto wisuda memang tidak ada salahnya, tapi itu juga hal yang akan membuat sesak perasaan temanmu yang belum bisa wisuda. Apalagi jika itu teman dekatmu. Aku tetiba keinget Ri, teman yang orang tuanya bertengkar tadi, dia suatu kali berkata, “Yu, tau gak. Aku sering men-skip status facebook, foto, twit orang yang menceritakan kebersamaan atau kebahagiaan keluarganya…hee, jahat ya aku?” “lhah, kenapa?” “kalau aku membaca dan melihat semua itu, aku jadi berfikir kalau semua orang itu bahagia dengan keluarganya. Dan  yang tidak bahagia, yang keluarganya berantakan Cuma aku sendiri. Cuma aku sendiri yang tidak beruntung, Yu” dia bicara seperti itu sambil ngawang pandangannya. O, ya ampun, aku ingin memeluk anak ini. Oya, setelah kejadian kamar kamdi dulu aku berjanji untuk mendengarkan ceritanya dan berjanji menjadi teman yang empatik baginya.



Ah, ada cerita lagi tentang mengungkapkan kebahagiaan. Suatu hari aku menyapa seorang teman yang duduk di bangku taman sendirian. Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya, Cuma kenal aja. Tapi karena aku punya kepentingan untuk duduk ditempat itu juga –janjian sama orang disitu- maka aku harus menyapanya. “hey, Ga. Sendirian? Luri mana? Biasanya sama Luri? Temen seperjuangan sehidup semati itu?” semua orang yang tau dia aku jamin bakal menanyakan hal serupa dengan pertanyaanku. Ga dengan Luri itu udah kayak pacar kemana-mana bareng dan tidak terpisahkan. Dan teman seperjuangan sehidup semati, Ga dan Luri yang pernah mengikrarkan itu sendiri pas ngerjain tugas bareng. “Lagi sibuk sama Mena dia”. “Oh… eh, bukannya dia menang lomba esay itu ya? Ya nggak sih? Bukannya sama kamu itu kelompoknya?” aku masih datar, aku masih belum menangkap keadaan Ga. “Ya itu Yu…” dia berkata sambil memothel-mothel kayu kecil seukuran korek api di tangannya.  Kenapa?” kali ini aku baru sadar kalau ada sesuatu. “Pernah nggak sih kamu ngalamin… apa ya namanya… kamu kira orang itu disisimu dan mendukungmu, tapi ternyata tidak? Kamu taukan deketnya aku sama Luri, essay itu aku yang tau infonya lebih dulu. Karena itu essay kelompok, wajarlah yang tak ajak Luri. Aku kira dia temen seperjuanganku Yu, tapi ternyata tidak. Aku baru sadar kalau hampir semua bahan yang ngerjain aku, sampe masalah sepele ngumpulin ke rektorat itu aku sendirian. Dulunya sih aku maklum kalau Luri ngerjain tugas atau lagi nganterin mamanya kemana gitu. Ya, aku maklum dan gak papa ngerjain ini sendiri, Luri itu udah tak anggep sodara. Tapi pas pengumuman aku baru tau, kalau ternyata Luri join sama kelompoknya Mena.Ternyata fokus Luri lebih ke Mena. Ya itu Yu, sedih banget rasanya kalau kamu nyangka itu temen seperjuanganmu tetapi ternyata tidak. Dan lagi, Luri nggak toleran lagi, apa dia nggak mikir perasaanku apa aku kalah gini? Dia tu seriiing banget update status tentang keberhasilannya, tentang kemenangannya. Kayaknya tu, aku bener-bener nggak dipertimbangkan apa ya sama dia?” 


Itu, aku nggak tau musti bilang apa. Dulu aku Cuma kasih nasihat yang sebenernya lebih bisa dihitung sebagai basa-basi daripada nasihat.


Aku jadi teringat kembali, dulu waktu SMA aku pernah mengupamakan bahwa setiap orang itu membawa pedang yang terbuka di punggungnya. Kalau dia tidak berhati-hati maka yang terkena goresan pedang itu (dan pasti tidak sengaja) adalah orang yang dekat dengannya.


Kemudian aku juga teringat dengan cerita Frankenstein –buku terjemahan pertama yang aku baca- disana aku mengambil kesimpulan, asal mula kejahatan adalah sikap ketidakadilan. Dan dari buku itu aku memahami bahwa ketidakadilan itu bukan berasal dari orang bodoh, orang miskin, orang menderita. Tetapi orang cerdas yang tidak empati, orang kaya yang tidak empati, dan orang yang bahagia yang tidak empati. Yang tidak memikirkan perasaan yang dalam keadaan tidak menyenangkan.



Bahagia, boleh saja. Tapi cara mengungkapkan kebahagiaan yang tidak empati, malah bisa menyakiti. Sedihnya, yang tersakiti adalah orang terdekat kita.

Tuhan, Aku tidak akan seperti itu.

3 komentar:

Ninda mengatakan...

aamiin :))

Ninda mengatakan...

dear manik,
wah belum posting lagi... hehe
kamu kayak agak curcol dikomen postingan saya nih... its okay...
iya menyalurkan rasa marah ada banyak hal... dengan menulis atau tidur...tapi buat saya yang paling manjur saat ini adalah ambil wudhu kemudian sholat... berbincang dengan Allah... insyaAllah hatinya tetap sehat. makanya itu rasanya paling sakit kalau waktu datang bulan... karena hal itu tidak bisa saya lakukan. jadi cuma bisa menulis atau tidur saja :)

oh ya soal postinganmu yang ini, seumur hidup bakal capek lo nik kalau overthinking perasaan orang lain. saya paham posisi temanmu yang menangis karena saya dlm keadaan yang sama. saya sedih kadang, tp semua saya pasrahkan kepada Allah... karena kalau tidak ada cobaan semacam itu yg menempa saya, belum tentu... belum tentu saya menjadi seperti saat ini, sekuat saat ini.dan saya bersyukur atas saya yang sekarang.
Allah senantiasa mengambil sesuatu dan menggantinya dgn yg lebih baik. barangkali sya tidak punya keluarga harmonis seperti orang2 lain... tp sampai saat ini, Allah begitu memudahkan urusan saya. hingga saya khawatir lalai.
semoga temanmu segera menemukan jalan kesabaran dan kebahagiaannya..
well jadi sepanjang posting hahaha

Unknown mengatakan...

haha.. iya mbak sepanjang postingan. Ini postingan lama banget ya, jadi aku perlu mengingat kembali emosi yang pernah aku rasakan pada saat itu. Dan well, ketika saat itu aku berat dengan masalahku dan menjadi 'tempat sampah' orang lain sedang aku kebingunggan bagaimana menumpahkan kedua beban itu. Jadilaaah, tulisan. Dan bagi saya (atau kita) menulis sudah cukup menjadi resolusi konflik.

Dulu, ,mungkin temanku hanya tulisan. Tapi Alhamdulillah saat ini banyak sabahabat baik di sekitarku yang selalu meluangkan waktu untuk bisa berbagi.