Follow Us @soratemplates

11/04/13

Sakit



Pernah sakit?
Aku pernah sakit. Di kos sendirian, sangat lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak hanya untuk sekedar membeli makan, untuk mengambil air putih pun sangat susah. Sedang mulut dehidrasi, untuk duduk saja gemetaran. Saat sakit adalah saat seseorang membutuhkan orang lain. Aku pernah merasakan itu, tetapi pada saat itu memang tidak ada orang yang membantuku. Akhirnya, mau tak mau memang harus bergerak sendiri. Ke kamar mandi untuk membersihkan diri meskipun serasa mau pingsan. Dan terhuyung keluar untuk mencari makan sendiri karena sudah dua hari tidak makan nasi, meski lima langkah berhenti untuk sekedar ‘menghilangkan’ kunang-kunang dan tubuh yang seketika menjadi dingin meriang.
Sakit, aku pernah mengalami itu. Sakit dan sendiri aku juga pernah merasakan itu. Itu mengapa aku mau berempati…


Setiap ada teman yang aku tau dia sakit dan dalam keadaan sendiri, aku akan menghubunginya. Menawarkan diri apa yang bisa aku lakukan, membelikan makan misalnya. Kadang orang akan berfikir ini berlebihan. Bayangkan jika ketika kamu menulis di medsos bahwa kamu sakit dan belum makan tiba-tiba ada orang yg SMS, “hey, km sakit apa? Q lagi di jalan, q bisa mampir kosmu. Mau dibawain apa? Makan atau obat?” kadang ada yang menerima tawaranku. Aku senang dengan itu. Tapi kadang ada yang tidak dan membalas “ya ampun yu, aku gak papa kali, gak usah repot-repot”. Aku tidak merasa repot. Aku hanya pernah merasakan tidak enaknya sakit sendirian. That’s way, ya berempati.


Tapi kemarin aku sakit, lagi. Meskipun sebenarnya aku jarang sakit. Tapi sakitku hampir sama dengan sakit yang pertama dulu, itu 2 tahun yang lalu. Meriang, tidak bisa kemana-mana. Duduk saja berkunang-kunang. Berdiri tidak tahan karena rasanya hampir pingsan. Jangankan itu semua, mengambil air putih yang kurang dari satu meter dari tempat tidurku saja tidak mampu. Dan ya, seperti sakit sebelumnya. Aku sendirian. Tidak ada yang membantu, tidak ada yang menawarkan bantuan. Dua hari tidak makan, aku memaksakan diri untuk keluar, aku harus makan! Dan lagi, berhenti sebentar setelah lima langkah untuk menghilangkan kunang-kunang. Ditempat makanpun aku tiduran sampai penjualnya menegurku. Saat itu aku berfikir, aku butuh seseorang, aku butuh seseorang seperti aku. Aku yang lain. Yang menawarkan bantuan.


Kemudian aku berfikir bahwa semua empatiku percuma. Dan dunia memiliki aturan sendiri yang ternyata berlawanan dengan yang aku percaya selama ini. Moral masa kecilku mengajariku bahwa siapa yang berbuat baik akan menerima kebaikan, siapa yang menolong akan ditolong, siapa yang mengasihi akan dikasihi. Siapa yang peduli akan dipedulikan. Tapi ternyata kenyataan saat ini berkebalikan berbuat baik, belum tentu dibaikin. Menolong belum tentu ditolong. Memprioritaskan, belum tentu diprioritaskan. Peduli, belum tentu dipedulikan. Tidak, aku tidak sedang membahas balasan atau pamrih yang akan aku dapatkan, tetapi tentang hukum alam, sunatullah yang seharusnya berjalan tetapi tidak berjalan. Seperti sepeda motor yang kondisinya oke hanya tinggal bensinnya saja agar bisa berjalan. Kemudian kamu mengisi bensinnya, tetapi motor itu masih tidak berjalan. Itu menyalahi aturan.


Maka seyogyanya manusia. Jika suatu aturan tidak berlaku, maka ia akan menyesuaikan diri dengan membuat aturan sendiri. Dan pada akhirnya aku menerima, sehingga aturannya menjadi seperti ini: jika kamu berbuat baik, tergantung bagaimana orang yang kamu baiki. Jika kamu peduli, tergantung bagaimana orang yang kamu pedulikan. Maka jika A tidak harus B, bisa saja C,D atau yang lainnya.


Oh, ya. Pasti kamu berfikir inikan masalah simpel bahwa tidak ada yang tau aku sakit dan aku tidak minta pertolongan kepada teman misalnya. Aku pernah sakit dan minta tolong kepada teman, teman yang sangat aku percaya. Dan aku merasa kita sangat dekat, itu kenapa aku mau minta tolong kepadanya. Makan, aku minta tolong untuk dibelikan makan karena ya jika sakit memang malas sekali untuk makan dan sehari semalam aku belum makan, pagi itu aku minta dibelikan sarapan hanya agar aku memiliki tenaga sehingga aku bisa melakukan keperluanku sendiri tanpa harus merepotkan orang lain lagi. Pagi itu aku lapar sekali dan ingin segera menyudahi sakitku, setidaknya dengan sedikit memiliki tenaga dari makanan tadi. Dia pergi mencari makan dengan membawa motorku, biar lebih cepat. Tapi ternyata temanku tadi lama sekali, hampir satu jam. Aku tidak menyangka bakalan selama itu, sedang aku sangat merasa lemas sekali dan ya, membutuhkan makanan. Setelah kembali aku akhirnya tau, sebelum membelikanku sarapan ternyata dia sarapan dulu dengan pacarnya. Pantas saja satu jaman. Saat tau itu aku tidak bisa berekspresi apa-apa, karena aku sangat lemas bahkan untuk sekedar berekspresi. Tetapi dalam hati aku berjanji, aku tidak akan pernah minta tolong lagi. Dia, adalah teman yang sangat aku percaya. Dan aku merasa kita dekat. Aku tidak akan minta tolong lagi.


Kekanakan? Aku belajar psikologi dan aku tau letak id-ego-superego. Menolong orang lain adalah superego yang membuat ia harus melakukannya, karena tuntutan sosial. Bukan kemauannya. Tetapi  bertemu dengan kekasih adalah id tidak tak bisa terelakkan dan itu merupakan pertarungan id-ego-superego yang biasa terjadi. Dan aku diletakkan di superego itu, meskipun aku jauuuh lebih mengenal dan membersamainya. Ah, sebenarnya masih banyak hal yang mendalam tentang id-ego-superego ini. Dalam psikologi ini merupakan dasar perilaku manusia. Bagini saja, aku gambarkan seperti sebuah ruangan konser, kita setiap pribadi memiliki ruangan sendiri. Ruangan itu ada bagian tempat duduknya: VVIP, VIP, tribun. Dan kau meletakkan teman-temanmu menurut prioritas id mu, menurut kemauanmu, kesenanganmu. Teman-teman yang kau anggap baik, bisa diandalkan, selalu ada, hangat dan menyenangkan akan kau taruh di depan dan kau namai sebagai sahabat karib, dan di tribun terahir, di kursi yang belakang, disana letak temanmu yang ada dan tiada. Yang hanya kau tau namanya, yang hanya ‘teman menyapa’. Aku meletakkan sebagian teman-temanku di tempat duduk terbaik, VVIP dimana jika mereka membutuhkanku aku akan selalu sedia ada. Tetapi yang membuatku kaget dan tersadar saat ini. Ketika aku mengunjungi ruangan-ruangan konser teman-temanku yang aku letakkan di barisan depan. Ternyata kursi yang bertulisakan namaku tidak ada di bagian depan. Aku ditempatkan ditengah atau bahkan dibelakang. Ini seperti kamu sangat mementingkan mereka sedang mereka tidak terlalu mementingkanmu. Dan itu hampir semua, hampir semua orang yang aku dudukan di depan seperi itu. Itu menyakitkan. Kadang, daripada aku duduk dibelakang, mending aku keluar, keluar dari ruangan konser pertemanannya. Dia tidak akan merasa kehilangan, karena aku di dudukan di belakang, ada dan tiada tidak terlalu dipentingkan.



menolong orang lain bagi orang lain ditempatkan di superego, karena ini tuntutan sosial. Perbuatan baik yang harus dilakukan. Tapi bagiku (dahulu), menolong orang lain aku letakkan di ego. Karena berakar dari empati. Aku pernah merasakan kesusahan itu dan tidak ingin orang lain merasa sesusah itu pula


Aku berhenti minta tolong (kini dalam banyak hal). Aku kapok. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan pertolongan kalau aku tidak minta tolong? Ah, bahkan dalam kasus aku menghubungi teman yang sedang sakit, mereka juga tidak meminta pertolonganku bukan? Tapi aku yang menawarinya. Aku butuh orang seperti aku, aku yang lain


Atau aku harus sering-sering mengeluh-ngeluh di medsos agar orang berempati dan aku mendapat perhatian?


Tapi sayang,  pertama: aku tidak tau cara mengeluh (mungkin blog ini satu2nya cara mengeluh yg aku tau) kedua, aku tidak sedang dalam rangka mencari perhatian.

Tidak ada komentar: