Pernah sakit?
Aku pernah sakit. Di kos
sendirian, sangat lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak hanya untuk
sekedar membeli makan, untuk mengambil air putih pun sangat susah. Sedang mulut
dehidrasi, untuk duduk saja gemetaran. Saat sakit adalah saat seseorang
membutuhkan orang lain. Aku pernah merasakan itu, tetapi pada saat itu memang
tidak ada orang yang membantuku. Akhirnya, mau tak mau memang harus bergerak
sendiri. Ke kamar mandi untuk membersihkan diri meskipun serasa mau pingsan.
Dan terhuyung keluar untuk mencari makan sendiri karena sudah dua hari tidak
makan nasi, meski lima
langkah berhenti untuk sekedar ‘menghilangkan’ kunang-kunang dan tubuh yang
seketika menjadi dingin meriang.
Sakit, aku pernah mengalami itu.
Sakit dan sendiri aku juga pernah merasakan itu. Itu mengapa aku mau berempati…
Setiap ada teman yang aku tau dia
sakit dan dalam keadaan sendiri, aku akan menghubunginya. Menawarkan diri apa
yang bisa aku lakukan, membelikan makan misalnya. Kadang orang akan berfikir
ini berlebihan. Bayangkan jika ketika kamu menulis di medsos bahwa kamu sakit dan belum makan tiba-tiba ada orang yg SMS,
“hey, km sakit apa? Q lagi di jalan, q
bisa mampir kosmu. Mau dibawain apa? Makan atau obat?” kadang ada yang
menerima tawaranku. Aku senang dengan itu. Tapi kadang ada yang tidak dan
membalas “ya ampun yu, aku gak papa kali,
gak usah repot-repot”. Aku tidak merasa repot. Aku hanya pernah merasakan
tidak enaknya sakit sendirian. That’s way, ya berempati.
Tapi kemarin aku sakit, lagi.
Meskipun sebenarnya aku jarang sakit. Tapi sakitku hampir sama dengan sakit
yang pertama dulu, itu 2 tahun yang lalu. Meriang, tidak bisa kemana-mana.
Duduk saja berkunang-kunang. Berdiri tidak tahan karena rasanya hampir pingsan.
Jangankan itu semua, mengambil air putih yang kurang dari satu meter dari
tempat tidurku saja tidak mampu. Dan ya, seperti sakit sebelumnya. Aku
sendirian. Tidak ada yang membantu, tidak ada yang menawarkan bantuan. Dua hari
tidak makan, aku memaksakan diri untuk keluar, aku harus makan! Dan lagi,
berhenti sebentar setelah lima langkah untuk menghilangkan kunang-kunang.
Ditempat makanpun aku tiduran sampai penjualnya menegurku. Saat itu aku
berfikir, aku butuh seseorang, aku butuh seseorang seperti aku. Aku yang lain.
Yang menawarkan bantuan.
Kemudian aku berfikir bahwa semua
empatiku percuma. Dan dunia memiliki aturan sendiri yang ternyata berlawanan
dengan yang aku percaya selama ini. Moral masa kecilku mengajariku bahwa siapa
yang berbuat baik akan menerima kebaikan, siapa yang menolong akan ditolong,
siapa yang mengasihi akan dikasihi. Siapa yang peduli akan dipedulikan. Tapi
ternyata kenyataan saat ini berkebalikan berbuat baik, belum tentu dibaikin.
Menolong belum tentu ditolong. Memprioritaskan, belum tentu diprioritaskan.
Peduli, belum tentu dipedulikan. Tidak, aku tidak sedang membahas balasan atau
pamrih yang akan aku dapatkan, tetapi tentang hukum alam, sunatullah yang
seharusnya berjalan tetapi tidak berjalan. Seperti sepeda motor yang kondisinya
oke hanya tinggal bensinnya saja agar bisa berjalan. Kemudian kamu mengisi
bensinnya, tetapi motor itu masih tidak berjalan. Itu menyalahi aturan.
Maka seyogyanya manusia. Jika
suatu aturan tidak berlaku, maka ia akan menyesuaikan diri dengan membuat
aturan sendiri. Dan pada akhirnya aku menerima, sehingga aturannya menjadi
seperti ini: jika kamu berbuat baik, tergantung bagaimana orang yang kamu
baiki. Jika kamu peduli, tergantung bagaimana orang yang kamu pedulikan. Maka
jika A tidak harus B, bisa saja C,D atau yang lainnya.
Oh, ya. Pasti kamu berfikir
inikan masalah simpel bahwa tidak ada yang tau aku sakit dan aku tidak minta
pertolongan kepada teman misalnya. Aku pernah sakit dan minta tolong kepada
teman, teman yang sangat aku percaya. Dan aku merasa kita sangat dekat, itu
kenapa aku mau minta tolong kepadanya. Makan, aku minta tolong untuk dibelikan
makan karena ya jika sakit memang malas sekali untuk makan dan sehari semalam
aku belum makan, pagi itu aku minta dibelikan sarapan hanya agar aku memiliki
tenaga sehingga aku bisa melakukan keperluanku sendiri tanpa harus merepotkan
orang lain lagi. Pagi itu aku lapar sekali dan ingin segera menyudahi sakitku,
setidaknya dengan sedikit memiliki tenaga dari makanan tadi. Dia pergi mencari
makan dengan membawa motorku, biar lebih cepat. Tapi ternyata temanku tadi lama
sekali, hampir satu jam. Aku tidak menyangka bakalan selama itu, sedang aku
sangat merasa lemas sekali dan ya, membutuhkan makanan. Setelah kembali aku
akhirnya tau, sebelum membelikanku sarapan ternyata dia sarapan dulu dengan pacarnya.
Pantas saja satu jaman. Saat tau itu aku tidak bisa berekspresi apa-apa, karena
aku sangat lemas bahkan untuk sekedar berekspresi. Tetapi dalam hati aku
berjanji, aku tidak akan pernah minta tolong lagi. Dia, adalah teman yang
sangat aku percaya. Dan aku merasa kita dekat. Aku tidak akan minta tolong
lagi.
Kekanakan? Aku belajar psikologi
dan aku tau letak id-ego-superego. Menolong orang lain adalah superego yang
membuat ia harus melakukannya, karena tuntutan sosial. Bukan kemauannya.
Tetapi bertemu dengan kekasih adalah id
tidak tak bisa terelakkan dan itu merupakan pertarungan id-ego-superego yang
biasa terjadi. Dan aku diletakkan di superego itu, meskipun aku jauuuh lebih
mengenal dan membersamainya. Ah, sebenarnya masih banyak hal yang mendalam tentang
id-ego-superego ini. Dalam psikologi ini merupakan dasar perilaku manusia.
Bagini saja, aku gambarkan seperti sebuah ruangan konser, kita setiap pribadi
memiliki ruangan sendiri. Ruangan itu ada bagian tempat duduknya: VVIP, VIP,
tribun. Dan kau meletakkan teman-temanmu menurut prioritas id mu, menurut
kemauanmu, kesenanganmu. Teman-teman yang kau anggap baik, bisa diandalkan,
selalu ada, hangat dan menyenangkan akan kau taruh di depan dan kau namai
sebagai sahabat karib, dan di tribun terahir, di kursi yang belakang, disana
letak temanmu yang ada dan tiada. Yang hanya kau tau namanya, yang hanya ‘teman
menyapa’. Aku meletakkan sebagian teman-temanku di tempat duduk terbaik, VVIP
dimana jika mereka membutuhkanku aku akan selalu sedia ada. Tetapi yang membuatku
kaget dan tersadar saat ini. Ketika aku mengunjungi ruangan-ruangan konser
teman-temanku yang aku letakkan di barisan depan. Ternyata kursi yang
bertulisakan namaku tidak ada di bagian depan. Aku ditempatkan ditengah atau
bahkan dibelakang. Ini seperti kamu sangat mementingkan mereka sedang mereka
tidak terlalu mementingkanmu. Dan itu hampir semua, hampir semua orang yang aku
dudukan di depan seperi itu. Itu menyakitkan. Kadang, daripada aku duduk
dibelakang, mending aku keluar, keluar dari ruangan konser pertemanannya. Dia
tidak akan merasa kehilangan, karena aku di dudukan di belakang, ada dan tiada
tidak terlalu dipentingkan.
“menolong orang lain bagi orang
lain ditempatkan di superego, karena ini tuntutan sosial. Perbuatan baik yang
harus dilakukan. Tapi bagiku (dahulu), menolong orang lain aku letakkan di ego.
Karena berakar dari empati. Aku pernah merasakan kesusahan itu dan tidak ingin
orang lain merasa sesusah itu pula”
“Aku berhenti minta tolong (kini
dalam banyak hal). Aku kapok. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan pertolongan
kalau aku tidak minta tolong? Ah, bahkan dalam kasus aku menghubungi teman yang
sedang sakit, mereka juga tidak meminta pertolonganku bukan? Tapi aku yang menawarinya.
Aku butuh orang seperti aku, aku yang lain”
Atau aku harus sering-sering
mengeluh-ngeluh di medsos agar orang
berempati dan aku mendapat perhatian?
Tapi sayang, pertama: aku tidak tau cara mengeluh (mungkin
blog ini satu2nya cara mengeluh yg aku tau) kedua, aku tidak sedang dalam
rangka mencari perhatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar