Saya tanya kenapa meninggalnya,
ibu saya seperti biasa jika bercerita sambil menahan emosi, ia akan memerah
wajahnya dan hampir berair mata. Mati Ngantung, budhe saya nglalu, mati gantung
diri! Saya kaget lagi, ‘lha kenapa?”. Tidak ada yang tau, tidak ada yang tau
kenapa Budhe saya nekat melakukan itu. Pakdhe saya yang ditanyai juga tidak
tau, ia merasa keluarganya baik-baik saja, mereka juga tidak habis bertengkar.
Ibu saya menyimpulkan kalau budhe saya tertekan karena masalah ekonomi dan masalah
keimanan.
Saya terhenyak diam beberapa
saya, mengira-ngira bagaimana perasaan budhe pada waktu sebelum memutuskan mengakhiri
hidupnya. Apa ia tidak kasihan sama kedua anaknya yang masih kecil? Sama Pakdhe
yang akan mengurus hidup sendirian? Memikirkan bagaimana sedihnya orang tuanya?
Bagaimana tetangga-tetangga bersikap terhadap keluarganya? Bagaimana
kerabatnya? Bagaimana teman-temannya?
Saya berfikir, kegetiran sehebat
apa yang menimpa budhe? Kenapa tidak ada yang tau badai yang menimpa perasaan budhe
saya? Kenapa tidak ada yang tau? Kenapa tidak ada yang menguatkannya? Kenapa tidak
ada yang peduli? Suaminya? Tetangga2nya? Teman-temannya? Saudara-saudaranya? Kemana
mereka? Saya mulai menyalahkan diri saya sendiri.
Yang saya tahu, setelah saya
belajar psikologi. Bunuh diri hanya akan terjadi pada orang yang (merasa) tidak
memiliki teman, yang merasa tidak dipedulikan.
Kadang kala, hidup memang begitu
berat, dalam sudut pandang kita begitu aneh. Pikiran kita tidak tentu. Kadang kita
ingin mencari dukungan yang menguatkan diri kita, tetapi kita takut, takut jika
kita justru disalahkan, dipojokkan, ditertawakan, atau bahkan keluh kesah kita
tak dianggap oleh orang lain. Atau kita takut jika keluh kesah kita justru
membuat orang lain repot, ikut sedih. Atau kita melihat orang lain juga sedang berada
dalam masalah, sedang sibuk, bahkan sedang bahagia, kita enggan untuk
menganggunya. Hingga akhirnya kita menyimpan kekalutan-kekalutan itu sendiri. Kemudian
kita merasa sendiri, kita merasa tidak memiliki teman.
Saya sudah beberapa kali berinteraksi
dan orang yang memiliki kerapuhan jiwa. Entah bagaimana Allah membuat sketsa
hidup saya menjadi sedemikian rupa. Jika ada orang yang mengenal saya pasti tau
kenapa saya ada di psikologi, meskipun dulu saya merasa tidak memilih jurusan
ini. Kadang saya merasa aneh dengan sketsa yang digambarkan Allah, kadang saya
jadi berfikir bahwa lingkungan saya sebenarnya ya yang seperti itu. Bahkan saya
tidak bisa berteman dengan baik dengan orang-orang yang kuat jiwanya, penuh
semangat hidupnya. Kadang saya merasa bahwa saya berada dalam bagian itu,
bagian kerapuhan jiwa.
Dahulu saya sering bermimpi saya
bisa menyelamatkan jiwa-jiwa yang rapuh itu. Tetapi melihat keadaan saya yang
bukan orang bijaksana, yang tidak bisa memberi nasihat, yang bahkan memiliki
kerapuhan jiwa itu sendiri menyadari bahwa itu impian yang terlalu tinggi. Satu-satunya yang bisa saya
lakukan, dengan empati yang saya miliki hanyalah menjadi teman. Seperti Ayu
Utami yang sengaja tidak menikah (meski akhirnya menikah juga) untuk menjadi
teman para lajang dalam menghadapi lingkungan yang menekan. Saya ingin menjadi
teman bagi jiwa yang rapuh, ikut dalam rombongan hati yang mudah patah dan saya
ingin sekali mereka tau bahwa mereka tidak sendirian.
Untuk itu, jika kamu juga
merasakan kerapuhan jiwa, merasa sendirian, merasa tidak dipedulikan, merasa
ingin menyudahi hidup. Demi Saya, demi empati saya, demi puisi-puisi yang
selalu saya buat dengan tema ini, bertahanlah hidup lebih lama. Tidak apa hidup
sendirian, itu urusan kita. Mari kita buat ruang yang nyaman untuk kita
sendiri, ruang yang bisa menerima ketika kita rapuh (karena di luar sana hanya
ada ruang untuk kekuatan, semangat, dan positivisme) ruang yang bisa menerima
ketika kita lemah, ruang yang bisa menerima ketika kita kehilangan pegangan.
Demi tulisan ini, please tetap
bertahan, jangan patah.
Biarkan saya menjadi teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar