Follow Us @soratemplates

17/06/13

Nglalu, Mati Tanpa Teman.




Kemarin, saat pulang kerumah ibu saya memberitahu bahwa ada kerabat yang meninggal dunia. Saya kaget karena kerabat yang saya panggil Budhe itu masih muda. Anaknya dua berusia SD. Pakdhe saya juga masih ada, bekerja untuk mereka. Setiap lebaran mereka pasti datang kerumah, Ibu dari Pakdhe saya ini dulu yang merawat saya dan saudara saya waktu masih kecil. Pakdhe saya juga sering tinggal dirumah beberapa bulan jika ada pekerjaan di daerah dekat rumah.

Saya tanya kenapa meninggalnya, ibu saya seperti biasa jika bercerita sambil menahan emosi, ia akan memerah wajahnya dan hampir berair mata. Mati Ngantung, budhe saya nglalu, mati gantung diri! Saya kaget lagi, ‘lha kenapa?”. Tidak ada yang tau, tidak ada yang tau kenapa Budhe saya nekat melakukan itu. Pakdhe saya yang ditanyai juga tidak tau, ia merasa keluarganya baik-baik saja, mereka juga tidak habis bertengkar. Ibu saya menyimpulkan kalau budhe saya tertekan karena masalah ekonomi dan masalah keimanan.

Saya terhenyak diam beberapa saya, mengira-ngira bagaimana perasaan budhe pada waktu sebelum memutuskan mengakhiri hidupnya. Apa ia tidak kasihan sama kedua anaknya yang masih kecil? Sama Pakdhe yang akan mengurus hidup sendirian? Memikirkan bagaimana sedihnya orang tuanya? Bagaimana tetangga-tetangga bersikap terhadap keluarganya? Bagaimana kerabatnya? Bagaimana teman-temannya?

Saya berfikir, kegetiran sehebat apa yang menimpa budhe? Kenapa tidak ada yang tau badai yang menimpa perasaan budhe saya? Kenapa tidak ada yang tau? Kenapa tidak ada yang menguatkannya? Kenapa tidak ada yang peduli? Suaminya? Tetangga2nya? Teman-temannya? Saudara-saudaranya? Kemana mereka? Saya mulai menyalahkan diri saya sendiri.

Yang saya tahu, setelah saya belajar psikologi. Bunuh diri hanya akan terjadi pada orang yang (merasa) tidak memiliki teman, yang merasa tidak dipedulikan.

Kadang kala, hidup memang begitu berat, dalam sudut pandang kita begitu aneh. Pikiran kita tidak tentu. Kadang kita ingin mencari dukungan yang menguatkan diri kita, tetapi kita takut, takut jika kita justru disalahkan, dipojokkan, ditertawakan, atau bahkan keluh kesah kita tak dianggap oleh orang lain. Atau kita takut jika keluh kesah kita justru membuat orang lain repot, ikut sedih. Atau kita melihat orang lain juga sedang berada dalam masalah, sedang sibuk, bahkan sedang bahagia, kita enggan untuk menganggunya. Hingga akhirnya kita menyimpan kekalutan-kekalutan itu sendiri. Kemudian kita merasa sendiri, kita merasa tidak memiliki teman.


Saya sudah beberapa kali berinteraksi dan orang yang memiliki kerapuhan jiwa. Entah bagaimana Allah membuat sketsa hidup saya menjadi sedemikian rupa. Jika ada orang yang mengenal saya pasti tau kenapa saya ada di psikologi, meskipun dulu saya merasa tidak memilih jurusan ini. Kadang saya merasa aneh dengan sketsa yang digambarkan Allah, kadang saya jadi berfikir bahwa lingkungan saya sebenarnya ya yang seperti itu. Bahkan saya tidak bisa berteman dengan baik dengan orang-orang yang kuat jiwanya, penuh semangat hidupnya. Kadang saya merasa bahwa saya berada dalam bagian itu, bagian kerapuhan jiwa.

Dahulu saya sering bermimpi saya bisa menyelamatkan jiwa-jiwa yang rapuh itu. Tetapi melihat keadaan saya yang bukan orang bijaksana, yang tidak bisa memberi nasihat, yang bahkan memiliki kerapuhan jiwa itu sendiri menyadari bahwa itu impian yang  terlalu tinggi. Satu-satunya yang bisa saya lakukan, dengan empati yang saya miliki hanyalah menjadi teman. Seperti Ayu Utami yang sengaja tidak menikah (meski akhirnya menikah juga) untuk menjadi teman para lajang dalam menghadapi lingkungan yang menekan. Saya ingin menjadi teman bagi jiwa yang rapuh, ikut dalam rombongan hati yang mudah patah dan saya ingin sekali mereka tau bahwa mereka tidak sendirian.

Untuk itu, jika kamu juga merasakan kerapuhan jiwa, merasa sendirian, merasa tidak dipedulikan, merasa ingin menyudahi hidup. Demi Saya, demi empati saya, demi puisi-puisi yang selalu saya buat dengan tema ini, bertahanlah hidup lebih lama. Tidak apa hidup sendirian, itu urusan kita. Mari kita buat ruang yang nyaman untuk kita sendiri, ruang yang bisa menerima ketika kita rapuh (karena di luar sana hanya ada ruang untuk kekuatan, semangat, dan positivisme) ruang yang bisa menerima ketika kita lemah, ruang yang bisa menerima ketika kita kehilangan pegangan.


Demi tulisan ini, please tetap bertahan, jangan patah.
Biarkan saya menjadi teman.

Tidak ada komentar: