Follow Us @soratemplates

12/07/13

Sayang...




Malam ini kita menahan lapar sayang, padahal kita telah puasa penuh seharian. Ada saja halangan untuk suatu pertemuan, namun lihat ada saja cara agar kita bisa berdua. Ditempat biasa, dengan makanan biasa dan cerita biasa. Itu saja. Mengenalmu sudah sangat lama. Sejak kita SMA bukan ya? Meskipun kita tidak pernah di sekolah yang sama. Kuliahpun kita berbeda, meski sama-sama di Jogja. Tapi kita tak pernah berubah bukan? Menyapa ‘sayang’ satu sama lainnya, meski kita bukan ‘siapa’ satu sama lainnya.

Malam ini kita menahan lapar sayang. Nanti setelah khotbah selesai dan orang-orang beranjak duluan dari barisan agar segera menemukan sandal yang sama dengan yang mereka pakai waktu memasuki bangunan. Mereka akan keluar dari tempat itu ramai-ramai, jika dilihat dari luar orang-orang itu mubal -aku tidak tahu padanan kata yang tepat di bahasa Indonesia- mereka keluar sambil bercakap-cakap. Yang enggan berdesakan atau yang mau bertafakur maka akan keluar belakangan, mereka akan ngaji dahulu di dalam bangunan. Dari luar sayang, suara orang yang mengaji bersahutan di dalam ruangan itu seperti dengungan. Mubal dan dengungan. Bagi orang barat yang membenci Islam melihat ini seperti sarang nyamuk. Bangunan itu seperti sarang nyamuk, untuk itu mereka menamainya sebagai  mosque kependekan dari mosquito. Kejam ya? Tapi kita tidak akan mempermasalahkan ini sayang, yang penting buru-burulah keluar dan temukan sandalmu. Aku menunggu. Kita makan bersama.

Malam ini kita akan bertemu sayang, kita akan makan malam. Bukan itu yang penting. Tapi bertemu denganmunya. Pertemuan kita tidak jauh-jauh dari cerita, curhat, memberi nasehat. Ya, aku selalu ingat dan saat inipun aku sudah tau bahan cerita yang akan kamu utarakan. Aku senang mendegarmu bercerita, aku senang melihat ekspresimu ketika mengatakan suatu kata yang memiliki emosi yang berbeda-beda, aku suka sudut pandangmu dalam melihat masalah, aku suka kamu yang selalu mendengarkanku, menanyakan kabarku, memastikan aku baik, aku suka kalau kita bertengkar karena perbedaan pandangan, bertengkar denganmu tidak pernah membuatku marah, tidak pernah membuatku rendah, tidak pernah membuatku mendendam. Itu kenapa aku betah. 



Malam ini sayang, tentu juga sudah kau tunggu. Seminggu ini kita hanya bisa saling mengirim message, kamu mengatakan bahwa kamu sedang kesal, sedang dirundung galau yang menyebalkan. Kamu selalu bilang, obat galau yang paling lancar hanyalah bertemu denganku, membicarakan semuanya, dan sudah selesai. Meskipun kamu tidak mengantongi nasehat apa-apa dariku. Kamu bilang, sudut pandangku membuatmu bisa melihat pandangan dengan lebih jelas. Dan bertemu denganku adalah moodbooster paling mujarab, karena dalam keadaan apapun, kita pasti tertawa. Ada saja bahan untuk tertawa.

Malam ini sayang, kita sudah menahan lapar. Hingga sedikit lebih malam. Ada hal penting yang ingin engkau ceritakan. Ya, aku memang suka mendengarkan ceritamu. Sebenarnya aku lebih suka mendengarkanmu bercerita masalah pergolakan politik, sosial, dan hal-hal yang berbau filsafat. Aku memuja kecerdasan dan kebeningan batinmu dalam masalah ini. Tapi di sela percakapan ini pasti akan ada cerita tentang pribadi kita yang begini-begini. Di sela percakapan ini pasti ada cerita tentang dia, dia, dan dia. Setiap kita bertemu pasti akan selalu ada orang ketiga yang kamu bicarakan. Pacarmu, mantanmu, pacarmu lagi, mantanmu kemudian. Sebagian ada yang aku kenal, sebagian tidak. Tepi prediksiku mengenai sikap wanita tidak pernah salah. Oh, biar ku luruskan, kamu bukan playboy, bukan. Aku takut pembaca disini menilai negatif dirimu. Kamu orang yang setia, tidak pernah berselingkuh, sangat sabar, dan mau memahami. Mantanmu hanya tiga sampai saat ini. Ah, aku tau semua sifat, perilaku, dan pemikiran mantanmu-mantanmu itu. Bahkan aku tahu setiap detail, setiap detik waktu, setiap inci perjalananmu dengan masing-masing perempuan itu. Betapa tidak, sejak kamu mulai merasa dewasa, mulai ingin belajar tanggung jawab terhadap orang lain, kamu memutuskan untuk pacaran. Saat itu kita kelas 2 SMA. Kamu minta pertimbanganku bagaimana kalau kamu pacaran, aku tidak bisa memaksa orang bukan? Apalagi saat itu kamu bilang sangat menyukainya. Ya, sudah kita berdua mencari cara dan membuat rencana agar ia, perempuan itu menerima sinyal darimu. Tentu akulah mak comblangnya. Akhirnya, satu setengah bulan setelah taktik terencana kita lakukan, kalian jadian juga. Aku sangat bahagia waktu kita. Kita berdua merayakan keberhasilan penembakan itu. Ketika aku menulis ini sekarang, aku merasa aneh dengan kejadian itu, kenapa kita berdua yang merayakan? Haha. Kemudian aku menjadi berteman baik dengan perempuan itu. Kita malah menjadi sahabat. Aku tempat curhat satu-satunya dia ketika ada masalah denganmu, dan kamu, sudah pastilah, kemana lagi kamu akan cerita masalahmu kalau tidak kepadaku?

Hubungan kalian berjalan 3,5 tahun. Hubungan yang setiap detailnya ada aku disitu. Aku menjadi orang ketiga yang diharapkan. Iya, aku tidak salah tulis: yang diharapkan. Perempuanmu akan goyah jika tidak ada aku, kamu juga pasti akan goyah jika tidak ada aku. Sedang aku hanya akan goyah jika melihatmu goyah, juga jika kamu tak menghargai keberadaanku. Perempuanmu memutuskan untuk tidak berhubungan denganmu karena merasa ada hal prinsipil yang tidak sesuai antara kalian berdua, demi menghargai itu, kamu menerimanya. Aku bersyukur, kita masih berhubungan baik. Sampai saat ini, perempuanmu masih menjadi sahabat dekatku. Aku juga bersyukur, meski diantara kalian aku tidak pernah menjadi masalah yang membuat kalian bertengkar. Perempuanmu sangat percaya kepadaku, dan aku memang sangat menjaga, dengan laki-laki manapun. Aku tidak mencoba bermain apapun (meskipun kita saling memanggil sayang, bagi kita itu seperti hi bro..! dan kita tidak pernah menggoda satu sama lain), dan aku memiliki kontrol diri dan kontrol emosi yang sangat baik. Aku bersyukur.

Seterusnya juga seperti itu. Aku tau setiap detail kehidupan cintamu. Aku tau setiap cerita, aku tau setiap keluh kesah. Ah, iya, kau juga tau setiap detail ceritaku. Aku juga pernah menjalin hubungan dengan laki-laki yang tidak kamu kenal. Hanya berjalan 1,5 tahun. Dia tidak terlalu suka kedekatanku denganmu. Untuk itu aku tidak banyak cerita kepadamu tentangnya, atau kepadanya tentangmu. Hanya hal-hal signifikan yang aku ceritakan. Tapi kamu sangat mengenalku, aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, aku bukan orang yang mudah memutuskan suatu hubungan. Sejak saat itu aku sudah tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun.

Malam ini kita menahan lapar, dan setelah kenyang kita akan bercerita panjang lebar. Perempuanmu membuatmu bingung, sumbu cemburunya mudah terbakar dan pikiran negatifnya berkeliaran tak karuan. Dia memang Sholihah pandai mengaji, juga memiliki keterampilan pembantu rumah tangga. Iya, ini aku kasar banget. Aku mengatakan ini memang untuk menyindirmu. Sejak kapan kamu memasukkan pandai memasak, mencuci, membereskan rumah, menyiapkan pakaian, dan pekerjaan domestik lainnya sebagai syarat calon isteri? Aku mengenalmu sebagai seorang yang adil menilai perempuan, yang tidak perlu khawatir dan ilfill jika ada perempuan tidak bisa memasak atau mencuci baju sendiri, toh hatinya baik dan perasaannya tulus. Ketika kamu mengatakan kecakapan domestik itu sebagai syarat calon isteri, aku bilang: mau cari isteri apa pembantu rumah tangga? Kita ke agen PRT saja gimana, nanti tak pilihkan? Kamu tertawa.

Malam ini kita lampiaskan lapar, dan kamu lampiaskan kesal. Dalam arti positif tentu saja. Maka aku akan mengatakan, sudah tinggalkan saja. Ini putus nyambung untuk kesekian kalinya. Kamu akan berkata, “aku sudah mempertahankan ini begitu lama, membersamainya, masa aku menyerah dan melepaskannya?” maka aku berkata ”sudah berapa kali Tuhan mengatakan kalau kalian tidak cocok?” kemudian kamu berfikir lagi. Dan beralih membahasku. Kehidupan cintaku tidak berkembang kemana-mana, kamu selalu menasehatiku untuk move on, sudahlah lupakan, cari yang lain, gak usah pemilih, nanti kamu jadi perawan tua, dan seabrek nasehat-nasehat lainnya. Dan kamu akan menyanyikan sedikir reff lagu untuk menyindirku, “aku tak bisa pindah… tak bisa ke lain hati…” kemudian tertawa. Aku menepok jidatku dan menanyakan apa aku ke dukun atau ke ustadz saja biar dicarikan jodoh. Kemudian kita tertawa, dan membahas ustadz siapa kira-kira yang link nya bagus dan bisa dimintai bantuan. Kita membuat list ustadz-ustadz yang kita kenal dan mempertimbangkannya. Kemudian aku protes, “masak aku yang nyari, aku kan perempuan”, “memangnya kenapa kalau perempuan, khatidjah perempuan?”, “gak mau, aku maunya laki-laki yang mencariku. Wanitakan hanya menunggu. Khatidjah juga menunggunya datang kan?”,”hedeeewww….” Katamu sambil geleng-geleng.

Malam ini kita sudah tidak lapar. Malam ini aku sudah mengatakan, hanya kepadamu aku mengatakan, wanita ini sedang menunggu seseorang datang. Hanya kamu yang tau. Tidakkah kau tau, sayang?

Tidak ada komentar: