Malam
ini kita menahan lapar sayang, padahal kita telah puasa penuh seharian.
Ada saja halangan untuk suatu pertemuan, namun lihat ada saja cara agar
kita bisa berdua. Ditempat biasa, dengan makanan biasa dan cerita
biasa. Itu saja. Mengenalmu sudah sangat lama. Sejak kita SMA bukan ya?
Meskipun kita tidak pernah di sekolah yang sama. Kuliahpun kita berbeda,
meski sama-sama di Jogja. Tapi kita tak pernah berubah bukan? Menyapa
‘sayang’ satu sama lainnya, meski kita bukan ‘siapa’ satu sama lainnya.
Malam
ini kita menahan lapar sayang. Nanti setelah khotbah selesai dan
orang-orang beranjak duluan dari barisan agar segera menemukan sandal
yang sama dengan yang mereka pakai waktu memasuki bangunan. Mereka akan
keluar dari tempat itu ramai-ramai, jika dilihat dari luar orang-orang
itu mubal -aku
tidak tahu padanan kata yang tepat di bahasa Indonesia- mereka keluar
sambil bercakap-cakap. Yang enggan berdesakan atau yang mau bertafakur
maka akan keluar belakangan, mereka akan ngaji dahulu di dalam bangunan.
Dari luar sayang, suara orang yang mengaji bersahutan di dalam ruangan
itu seperti dengungan. Mubal dan dengungan. Bagi orang barat yang
membenci Islam melihat ini seperti sarang nyamuk. Bangunan itu seperti
sarang nyamuk, untuk itu mereka menamainya sebagai mosque kependekan dari mosquito. Kejam
ya? Tapi kita tidak akan mempermasalahkan ini sayang, yang penting
buru-burulah keluar dan temukan sandalmu. Aku menunggu. Kita makan
bersama.
Malam
ini kita akan bertemu sayang, kita akan makan malam. Bukan itu yang
penting. Tapi bertemu denganmunya. Pertemuan kita tidak jauh-jauh dari
cerita, curhat, memberi nasehat. Ya, aku selalu ingat dan saat inipun
aku sudah tau bahan cerita yang akan kamu utarakan. Aku senang
mendegarmu bercerita, aku senang melihat ekspresimu ketika mengatakan
suatu kata yang memiliki emosi yang berbeda-beda, aku suka sudut
pandangmu dalam melihat masalah, aku suka kamu yang selalu
mendengarkanku, menanyakan kabarku, memastikan aku baik, aku suka kalau
kita bertengkar karena perbedaan pandangan, bertengkar denganmu tidak
pernah membuatku marah, tidak pernah membuatku rendah, tidak pernah
membuatku mendendam. Itu kenapa aku betah.
Malam
ini sayang, tentu juga sudah kau tunggu. Seminggu ini kita hanya bisa
saling mengirim message, kamu mengatakan bahwa kamu sedang kesal, sedang
dirundung galau yang menyebalkan. Kamu selalu bilang, obat galau yang
paling lancar hanyalah bertemu denganku, membicarakan semuanya, dan
sudah selesai. Meskipun kamu tidak mengantongi nasehat apa-apa dariku.
Kamu bilang, sudut pandangku membuatmu bisa melihat pandangan dengan
lebih jelas. Dan bertemu denganku adalah moodbooster paling mujarab,
karena dalam keadaan apapun, kita pasti tertawa. Ada saja bahan untuk
tertawa.
Malam
ini sayang, kita sudah menahan lapar. Hingga sedikit lebih malam. Ada
hal penting yang ingin engkau ceritakan. Ya, aku memang suka
mendengarkan ceritamu. Sebenarnya aku lebih suka mendengarkanmu
bercerita masalah pergolakan politik, sosial, dan hal-hal yang berbau
filsafat. Aku memuja kecerdasan dan kebeningan batinmu dalam masalah
ini. Tapi di sela percakapan ini pasti akan ada cerita tentang pribadi
kita yang begini-begini. Di sela percakapan ini pasti ada cerita tentang
dia, dia, dan dia. Setiap kita bertemu pasti akan selalu ada orang
ketiga yang kamu bicarakan. Pacarmu, mantanmu, pacarmu lagi, mantanmu
kemudian. Sebagian ada yang aku kenal, sebagian tidak. Tepi prediksiku
mengenai sikap wanita tidak pernah salah. Oh, biar ku luruskan, kamu
bukan playboy, bukan. Aku takut pembaca disini menilai negatif dirimu.
Kamu orang yang setia, tidak pernah berselingkuh, sangat sabar, dan mau
memahami. Mantanmu hanya tiga sampai saat ini. Ah, aku tau semua sifat,
perilaku, dan pemikiran mantanmu-mantanmu itu. Bahkan aku tahu setiap
detail, setiap detik waktu, setiap inci perjalananmu dengan
masing-masing perempuan itu. Betapa tidak, sejak kamu mulai merasa
dewasa, mulai ingin belajar tanggung jawab terhadap orang lain, kamu
memutuskan untuk pacaran. Saat itu kita kelas 2 SMA. Kamu minta
pertimbanganku bagaimana kalau kamu pacaran, aku tidak bisa memaksa
orang bukan? Apalagi saat itu kamu bilang sangat menyukainya. Ya, sudah
kita berdua mencari cara dan membuat rencana agar ia, perempuan itu
menerima sinyal darimu. Tentu akulah mak comblangnya. Akhirnya, satu
setengah bulan setelah taktik terencana kita lakukan, kalian jadian
juga. Aku sangat bahagia waktu kita. Kita berdua merayakan keberhasilan
penembakan itu. Ketika aku menulis ini sekarang, aku merasa aneh dengan
kejadian itu, kenapa kita berdua yang merayakan? Haha. Kemudian aku
menjadi berteman baik dengan perempuan itu. Kita malah menjadi sahabat.
Aku tempat curhat satu-satunya dia ketika ada masalah denganmu, dan
kamu, sudah pastilah, kemana lagi kamu akan cerita masalahmu kalau tidak
kepadaku?
Hubungan
kalian berjalan 3,5 tahun. Hubungan yang setiap detailnya ada aku
disitu. Aku menjadi orang ketiga yang diharapkan. Iya, aku tidak salah
tulis: yang diharapkan. Perempuanmu akan goyah jika tidak ada aku, kamu
juga pasti akan goyah jika tidak ada aku. Sedang aku hanya akan goyah
jika melihatmu goyah, juga jika kamu tak menghargai keberadaanku.
Perempuanmu memutuskan untuk tidak berhubungan denganmu karena merasa
ada hal prinsipil yang tidak sesuai antara kalian berdua, demi
menghargai itu, kamu menerimanya. Aku bersyukur, kita masih berhubungan
baik. Sampai saat ini, perempuanmu masih menjadi sahabat dekatku. Aku
juga bersyukur, meski diantara kalian aku tidak pernah menjadi masalah
yang membuat kalian bertengkar. Perempuanmu sangat percaya kepadaku, dan
aku memang sangat menjaga, dengan laki-laki manapun. Aku tidak mencoba
bermain apapun (meskipun kita saling memanggil sayang, bagi kita itu
seperti hi bro..! dan kita tidak pernah menggoda satu sama lain), dan
aku memiliki kontrol diri dan kontrol emosi yang sangat baik. Aku
bersyukur.
Seterusnya
juga seperti itu. Aku tau setiap detail kehidupan cintamu. Aku tau
setiap cerita, aku tau setiap keluh kesah. Ah, iya, kau juga tau setiap
detail ceritaku. Aku juga pernah menjalin hubungan dengan laki-laki yang
tidak kamu kenal. Hanya berjalan 1,5 tahun. Dia tidak terlalu suka
kedekatanku denganmu. Untuk itu aku tidak banyak cerita kepadamu
tentangnya, atau kepadanya tentangmu. Hanya hal-hal signifikan yang aku
ceritakan. Tapi kamu sangat mengenalku, aku bukan orang yang mudah jatuh
cinta, aku bukan orang yang mudah memutuskan suatu hubungan. Sejak saat
itu aku sudah tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun.
Malam
ini kita menahan lapar, dan setelah kenyang kita akan bercerita panjang
lebar. Perempuanmu membuatmu bingung, sumbu cemburunya mudah terbakar
dan pikiran negatifnya berkeliaran tak karuan. Dia memang Sholihah
pandai mengaji, juga memiliki keterampilan pembantu rumah tangga. Iya,
ini aku kasar banget. Aku mengatakan ini memang untuk menyindirmu. Sejak
kapan kamu memasukkan pandai memasak, mencuci, membereskan rumah,
menyiapkan pakaian, dan pekerjaan domestik lainnya sebagai syarat calon
isteri? Aku mengenalmu sebagai seorang yang adil menilai perempuan, yang
tidak perlu khawatir dan ilfill jika ada perempuan tidak bisa memasak
atau mencuci baju sendiri, toh hatinya baik dan perasaannya tulus.
Ketika kamu mengatakan kecakapan domestik itu sebagai syarat calon
isteri, aku bilang: mau cari isteri apa pembantu rumah tangga? Kita ke
agen PRT saja gimana, nanti tak pilihkan? Kamu tertawa.
Malam
ini kita lampiaskan lapar, dan kamu lampiaskan kesal. Dalam arti
positif tentu saja. Maka aku akan mengatakan, sudah tinggalkan saja. Ini
putus nyambung untuk kesekian kalinya. Kamu akan berkata, “aku sudah
mempertahankan ini begitu lama, membersamainya, masa aku menyerah dan
melepaskannya?” maka aku berkata ”sudah berapa kali Tuhan mengatakan
kalau kalian tidak cocok?” kemudian kamu berfikir lagi. Dan beralih
membahasku. Kehidupan cintaku tidak berkembang kemana-mana, kamu selalu
menasehatiku untuk move on, sudahlah lupakan, cari yang lain, gak usah
pemilih, nanti kamu jadi perawan tua, dan seabrek nasehat-nasehat
lainnya. Dan kamu akan menyanyikan sedikir reff lagu untuk menyindirku,
“aku tak bisa pindah… tak bisa ke lain hati…” kemudian tertawa. Aku
menepok jidatku dan menanyakan apa aku ke dukun atau ke ustadz saja biar
dicarikan jodoh. Kemudian kita tertawa, dan membahas ustadz siapa
kira-kira yang link nya bagus dan bisa dimintai bantuan. Kita membuat
list ustadz-ustadz yang kita kenal dan mempertimbangkannya. Kemudian aku
protes, “masak aku yang nyari, aku kan perempuan”, “memangnya kenapa
kalau perempuan, khatidjah perempuan?”, “gak mau, aku maunya laki-laki
yang mencariku. Wanitakan hanya menunggu. Khatidjah juga menunggunya
datang kan?”,”hedeeewww….” Katamu sambil geleng-geleng.
Malam
ini kita sudah tidak lapar. Malam ini aku sudah mengatakan, hanya
kepadamu aku mengatakan, wanita ini sedang menunggu seseorang datang.
Hanya kamu yang tau. Tidakkah kau tau, sayang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar