Beban. Aku berfikir mengapa
manusia menyebut masalah dengan sebutan beban. Hal-hal kecil yang menumpuk, hal
besar yang menghantam. Hal-hal kecil yang tak disadari dan hal besar yang menggoncang. Mengapa
manusia menyebut masalah sebagai beban adalah karena terasakan. Masalah akan
dihitung secata kuantitaif dan bisa di tulis diatas kertas dikalkulasikan
melalui SWAT, dan kamu bisa mendapat jawaban mengatasi masalahmu, seketika.
Beban, bahkan bisa terasa meskipun masalah itu telah selesai. Beban kadang ada
tanpa kita menyadari apa masalahnya. Mungkin, itu mengapa manusia menyebut
sebagai beban.
“Yang sabar” adalah ucapan yang
biasanya diberikan seseorang kepada orang lain yang tertimpa masalah. Bukan,
bukan tertimpa masalah, tetapi yang memikul beban. Karena, jika seseorang
tertimpa masalah maka nasehat yang tepat adalah ‘selesaikan masalahnya,
bertindaklah’.
Memikul beban. Berbeda dengan
memikirkan masalah. Beban bukanlah sesuatu yang kamu gendong kemudian kamu
letakkan sebentar untuk istirahat kemudian memikulnya lagi. Tidak bisa. Beban
adalah hal yang harus dibawa-bawa teruuus, hingga sampai tujuannya. Bahkan
dibawa hingga liang akhirat. Masalah? kadang kamu lupa kan kalau kamu ada
masalah?
Manusia banyak menanggung beban.
Aku juga menanggung beban. Menggendong beban kemana-mana tanpa bisa berhenti
sebentar atau meletakkannya sebentar. Melelahkan. Menjemukan. Membuat frustasi
dan depresi.
Tapi Tuhan berkata bahwa “hanya
orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. - Entahlah, hubunganku dengan Tuhanku memang
terasa aneh. Aku sering mempertanyakan apapun mengenai kehidupan. Aku merasa
ketidakadilan. Aku merasa ketidak singkronan (akan saya tulis di postingan
berikutnya) yang tidak aplikatif, yang tidak humanis antara konsep Tuhan dengan
konsep manusia. Aku pernah protes mengapa manusia diciptakan berbeda, kan
kasihan yang tidak beruntung secara fisik, lahir dari keluarga tidak jelas dan
miskin, dengan gen dan IQ yang berbeda, kemudian mereka semua sama-sama
bertarung di satu dunia. Di dalam sekolah misalnya, ada anak juara satu terus
dan ada anak yang nilainya jeblok terus, tidak naik kelas terus. Kan kasihan.
Mereka tidak memilih untuk lahir dengan IQ tinggi atau jongkok. Betapa tidak
adilnya. Aku pernah menulis hal semacam ini di status facebook. Malamnya ketika
mengaji dan seperti biasa membaca terjemahannya, disitu ada satu ayat yang
mengatakan mengapa Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda. Ah, langsung
dijawab saja sama Tuhan, fikirku. Untuk kasus tentang sabar ini juga sama. Aku
mendapatkan konfirmasi ini begitu saja saat membaca terjemahan ngaji soreku-
Tapi, kenapa hanya orang yang sabar yang mendapatkan pahala yang sempurna?
Dulu aku juga pernah memprotes
kata sabar ini. Menurutku kata ini terlalu konseptuil dan tidak operasional.
Sehingga, pun orang sering mengatakan yang sabar, tapi yang sabar itu
bagaimana? Sabar itu apa? Bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar