Postingan ini mungkin masih bisa
dikaitkan dengan postingan sebelumnya yang ini. Masih dalam pertanyaan yang
sama. Mengapa justeru orang yang sabar yang mendapatkan kesempurnaan pahala?
Tanpa batas? Mengapa sabar? bagaimana sabar?
Adhe. Hampir setiap hari datang ke
kosku, kalau tidak mengajakku bertemu di luar. Seminggu bisa 4-5 kali aku pergi
atau bersama dia. Dia adalah teman lepas, artinya bukan teman dari satu tempat
yang sama (tidak sekampus, seorgansasi atau yg lainnya). Jadi otomatis jika Ia
tidak sengaja datang atau janjian denganku, kita tidak akan pernah bertemu. Alasan
mengapa Ia begitu sering menemuiku adalah hanya karena Ia ingin curhat. Curhat
apa yang setiap hari, coba? Tetapi begitulah dia. Selalu saja ada yang
diceritakan, selalu saja ada masalah-masalah baru yang muncul. Kantornya,
rumahnya, pacarnya, pekerjaannya, teman-temannya. Tetapi Adhe, menurutku adalah
orang yang ulet, orang yang berani menyelesaikan masalah (memang ada kok orang
yang bukan tidak bisa menyelesaikan masalah, tapi tidak berani menyelesaikan
masalah). Adhe selalu berusaha, dia selalu bertindak, dia selalu ‘menurutku’
ngurus banget jika ada sekecil-kecilnya masalah. Meskipun menurutku itu bukan
masalah yang perlu dibesarkan dan jika kita abaikan saja masalah itu akan bisa
dilupakan oleh semua orang. Contohnya ketika ada kesalahpahaman antara dia
dengan teman kantornya. Biasa masalah sosmed. Adhe menulis sesuatu di sosmed
dan teman-temannya merasa tersindir dengan tulisan itu, padahal Adhe tidak
bermaksud menyindir siapapun di kantornya.
Adhe kemudian merasa diasingkan
dilingkungan kerja. Ada yang berbeda dengan teman-teman kerjanya. Adhe pun
menyelidiki. Dia men-stalk semua
sosmed teman yang memperlakukannya sedikit berbeda. Dan ketemu! Ternyata ada
yang tersinggung dengan salah satu postingan Adhe di sosmed. Akhirnya Adhe menemui
satu persatu teman-temannya yang mengasingkannya secara terpisah. SATU PERSATU
ditemui secara pribadi, satu persatu ditanyai mengapa mereka berperilaku
berbeda terhadap dirinya, satu persatu Adhe menjelaskan letak masalah
sebenarnya, satu-persatu ia mintai maaf. Aku memberi saran, kalau masalahnya
sosmed ya tinggal bikin postingan baru untuk mengkonfirmasi postingan
sebelumnya. Ternyata Adhe tidak mau saranku. Itu bukan cara Adhe menyelesaikan masalah.
Adhe akan selalu begitu, bertindak, bertindak, bertindak. Menyelesaikan semua
setuntas-tuntasnya.
Ternyata maskipun sudah
dijelaskan satu-persatu, ada beberapa orang yang merasa tidak puas dan tetap
bertingkah aneh.
“Kurang sabar apalagi Yu aku menghadapi mereka. Ini tuh udah tak
sabar-sabarin nerima perilaku mereka, udah tak sabar-sabarin untuk ngejelasin
satu-persatu, aku sampe bingung Yu mau gimana lagi. Rasanya nggak nyaman banget
diperlakukan seperti itu”.
“Udahlah Dhe, yang pentingkan kamu udah ngejelasin letak masalahnya
dengan baik-baik. Lagian juga ini bukan
salahmu kok. Mereka aja yang terlalu sensitif, suudzhon. Kamu kan memang nggak
nyindir mereka? Udah untung kamu mau repot-repot jelasin ke mereka satu-satu.
Kalau mereka bergeming dengan sikapnya, ya urusan dia kan?”
Tapi Adhe tidak seperti itu. Hari
berikutnya dia ngumpulin teman-teman yang masih memperlakukannya seperti orang
asing. Adhe kembali menjelaskan, kembali menanyai mereka apa salahnya, kembali
meminta maaf. Adhe mau semua selesai, setuntasnya. Dia akan selalu bertindak
dan berusaha, tanpa mengeluh, tanpa protes, tanpa merasa keberatan (kecuali
kepadaku, tentu saja).
Tuhan, apakah ini sabar?
***
Leana. Lebih jarang bertemu
denganku. Mungkin dua minggu atau satu bulan sekali. Dia orang yang sangat
santai, rame, dan sociable. “gimana udah diurus perceraiannya?” aku
bertanya. Aku tau ini hal sensitif, tapi aku tau siapa Leana. Dia akan menjawab
ini dengan santai.
“Si bojo masih nggak mau ngurusnya. Yaudahlah...”
“lah? Keluarga gimana? Gak ada yang maksa gitu buat segera ngurus?”
“Ya keluarga udah tau semua keadaanku sama bojoku. Mereka maunya emang
kita segera cerai. Tapi gimana, bojoku kayaknya lagi asik ngurusin cewek
barunya”
“lah, kamu masih tinggak di rumah mertua kan?”
“iya…”
“terus?”
“Ya selama mereka nggak keberatan nampung aku tidur disana ya gak
masalah. Santailah. Masalah kayak gitukan nggak bisa diselesein buru-buru atau
dengan marah-marah. Iya kecewa, tapi daripada aku stress ngurusin ini terus.
Mending dibawa santai, di jalani dengan sabar. kalau pilihan dia kayak gitu, ya
udah mau gimana? Yang penting aku kerja, bisa main, bisa ada tempat pulang,
nggak stress… sabar aja ntar juga kelar masalahnya”
Tuhan, apa yang ini sabar?
***
Nadia. Wanita yang sangat teguh,
menurutku. Dia hanya akan minta ditemani kalau benar-benar butuh. Pendiam,
teguh, tenang. Suatu malam Nadia minta aku untuk menemaninya tidur di kos.
Menemani tidur di kos dalam kosakataku adalah akan mendengar banyak cerita ini
itu, curhat ini itu, guyonan ini itu. Tapi Nadia berbeda, jika menemani, maka
hanya menemani. Bada isya aku datang ke kos Nadia. Disana kita hanya makan,
sholat, internetan, dan tidur. Nadia tidak banyak bicara, tidak banyak
bercerita, dia hanya bercerita sedikit tentang organisasinya. Tapi aku tau
kalau dia ada masalah dan pasti bukan masalah dengan organisasinya. Nadia
adalah tipe orang yang akan menyimpan masalahnya sendiri. Ketika ia tidak tahan
dengan masalahnya sampai tahap ‘rasanya ingin menangis terus’ dia hanya ingin
ada orang disampingnya menemani malam harinya. Karena, jika tidak ada yang
menemaninya di malam hari, maka dia akan nangis terus-terusan sampai tidak
tidur. Aku sering kehilangan cara agar Nadia mau membuka diri dan menceritakan
masalahnya.
Jam 10 malam Nadia sudah merapikan
kasurnya untuk tidur, dalam hitungan sekian detik ia sempat melamun, dan
kuambil kesempatan itu untuk menembak masalahnya, memaksanya membuka diri.
“rumah lagi ada masalah ya?”
Dia melihatku agak lama, lalu
senyum kecil.
“kenapa kamu nggak bilang ke ayahmu kala..u….”
“enggak Yu, aku nggak pengen jadi beban mereka”
“tapi kan kam…u…”
“gak papa. Aku bisa tahan kok. Aku bisa sabar sama ini semua”
“Naaadd…”
“tidur ya…”
Mungkin dari sejagat
teman-temannya Nadia hanya aku yang tau masalahnya. Dan itu Cuma secuilll saja.
Begitu sulit membujuk Nadia untuk bercerita. Mungkin karena berurusan dengan
keluarga sehingga ia begitu sulit terbuka. Beban dari pertengakaran terus
menerus antara kedua orang tua Nadia tertumpuk di pundaknya. Nadia memang
selalu menjadi ujung tombak pertengkaran itu. Nadia sering tidak mendapatkan
hak-hak sebagai anak karena orang tuanya lupa untuk memenuhinya. Dia juga
sering menjadi korban keputusan sepihak yang dilakukan orang tuanya. Tapi Nadia
selalu menurut, tanpa protes, tanpa mengeluh.
Setelah itu Nadia meringkukan
dirinya dibawah selimut, menghadap tembok, membelakangiku. Aku masih scrolling medsos dari laptop. Malam-malam
menemani Nadia adalah malam-malam yang membuat pilu. Seperti yang sudah aku
duga, saat ini aku mendengarnya. Nadia memang sudah meringkuk tidur. Tapi itu
bukan suara dengkur atau suara nafas orang yang tidur. Tapi suara sengguk yang
ditahan. Begitu, dia tidur sambil menangis. Tapi apa yang bisa aku lakukan,
kadang air mataku keluar sendiri tanpa aku sadari mendengar senggukan Nadia
yang ditahan itu (padahal aku sedang scrolling medsos). Namun, sekecil-kecilnya
hal yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Mungkin hal itu adalah menemani
malamnya dan mendengar senggukan tertahannya.
Tapi, Tuhan… apakah ini sabar?
2 komentar:
Sabar... smuanya sabar... hahahaa si Nadia itu.. :')
Sabar... iia semuanya sabar.. suka sabarnya orang yg kedua.
astaga si Nadia itu.. :')
Eh yaa...
Maaf Lahir bathin mbak..
kapan2 aku doong curhat ke Mbak-nyaa.. ;;)
Posting Komentar