“Kriiing…”
Telepon berdering, sebuah nama terpampang pada layar touch screen.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 1 missed call.
“Kriiing…”
Lagi, dan nama itu lagi.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 2 missed calls.
“Kriiing…”
Masih nama yang sama, berturut ketiga kalinya.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 3 missed calls.
Dua menit berlalu,
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang sama dengan missed calls tadi.
“Apa kabar? Lama tidak
bertemu. Kemana aja?”
Aku mengabaikan.
Kututup HP tanpa memberi balasan.
Dia, nama yang terpampang dalam
layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dahulu ketika masih sering
bertemu, dia adalah orang yang sangat bergantung, menceritakan semua detail
kehidupannya, mencurahkan semua keluh kesahnya, membagi seluruh kesedihan
kesedihannya, membuka semua kebingungan-kebingungannya. Ketika ada hal bahagia
dalam hidupnya, dia akan melompat dan memberitahuku seketika. Lihat, bagaimana
dia sangat bergantung. Dia menceritakan seluruh kesedihannya seolah aku tidak
pernah sedih, dia menceritakan seluruh kebingungannya seolah aku tidak pernah
bingung, dia menceritakan keluh kesahnya, seolah hidupku selalu bahagia, tidak
pernah ada masalah. Dia menceritakan semuanya seolah aku sudah selesai dengan
semuanya.
Waktu melompat bersama jarak.
Pada akhirnya kita jarang bertemu dan menyapa. Kemudian saluran itu menjadi
penghubung antara kita. Apa kabar?
Tiba-tiba ini menjadi pertanyaan yang mengerikan. Dia yang namanya terpampang
dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dia tidak pernah tau
sedikitpun tentang sedihku, dia tidak tau sama sekali tentang kebingunganku,
dia tidak tau sama sekali tentang keluh kesahku, tidak tidak tau sama sekali
tentang kepenatan dan masalahku. Dia, hanya tau aku seperti dulu, tempat
bergantungnya, yang mungkin dianggap sudah dewasa dan tidak pernah mengalami
gagal dan menderita. –bagaimana kau bisa memberitakan kabar buruk kepada orang
yang sekalipun belum pernah mendengar kabar buruk darimu? Sekalipun dia orang
yang dekat denganmu? -
Apa kabar? Dia, nama yang terpampang dalam layar itu adalah orang
yang sangat aku kenal. Dia tidak menanyakan kabar, dia hanya ingin menyapa. Tetapi
sapaan apa kabar ini, saat ini, bagiku, sangat membingungkan. Tunggu, tunggu
hingga aku membereskan semua, menyelesaikan semua, memperbaiki semua. Hingga
aku akhirnya bisa menjawab apa kabar dengan Alhamdulillah, baik.
Apa kabar? Karena setiap pertanyaan selalu memiliki pasangan
jawaban. Seperti pertanyaan menjodohkan di mata pelajaran bahasa Indonesia,
maka jawaban untuk apa kabar adalah Alhamdulillah baik. Tapi aku tidak sangup
berdusta, karena agamaku mengajarkan itu dosa. Maka tunggu, tunggu hingga
keadaanku Alhamdulillah baik hingga aku bisa membalas SMS apa kabar itu dengan
kalimat Alhamdulillah baik. Tunggu.
Apa kabar?
Itu bukan pertanyaan menanyakan
kabar.
-
Mungkin ini akan menginspirasimu, pernahkah kamu
mengalami menanyakan kabar orang dan dia tidak membalas? Yah, mungkin dia
merasa kamu tidak sedang menanyakan
kabarnya, hanya ingin menyapa saja, karena mungkin kalian telah lama tak
bertukar sapa. Ah, mungkin ini yang sedikit menyesakkan: Mengapa orang tidak
membalas ‘apa kabar’mu? Karena dia merasa kamu tidak sedang menanyakan kabarnya
tetapi hanya ingin menyapanya. Karena kamu tidak peduli dengan kabarnya, hanya
peduli pada rasa tidak enakmu karena sudah lama tidak bertegur sapa. Ah,
egoisnya.
________________________________________________________________________________
Kemudian…
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang berbeda dengan missed calls tadi.
“Apa kabar? Aku Kangen
nih, lama gak ketemu”
Kemudian aku menatap tulisan itu lama.
Dan kututup HP tanpa memberi balasan.
-
Bagaimana bisa kata ‘apa kabar’ tersambung
dengan kata ‘aku’? jika apa kabar bermaksud untuk orang lain, dan kata ‘aku’?
jadi sepertinya benar teori pertama, bahwa apa kabar bukan untuk menanyakan
kabar orang lain (bukan untuk orang lain) tapi hanya sebuah sapaan. Dan ‘Aku’
yang selanjutnya merupakan penguatan bahwa si penanya memang tidak bermaksud
menanyakan apapun tentang yg ditanya, tapi hanya menyatakan tentang
perasaannya, dirinya sendiri. Ah, aku kesal dengan ketidaksingkronan ini. Hm,
bagaimana aku harus membalasnya… “bagaimana aku harus peduli dengan perasaanmu
sedang kamu tidak peduli dengan perasaanku?”
Ah, betapa
double egoisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar