Follow Us @soratemplates

23/03/13

Menunggu Kabar Baik,




“Kriiing…”
Telepon berdering, sebuah nama terpampang pada layar touch screen.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 1 missed call.

“Kriiing…”
Lagi, dan nama itu lagi.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 2 missed calls.

“Kriiing…”
Masih nama yang sama, berturut ketiga kalinya.
Aku mengabaikan.
Tak lama, layar berganti dengan tulisan 3 missed calls.

Dua menit berlalu,
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang sama dengan missed calls tadi.
Apa kabar? Lama tidak bertemu. Kemana aja?”
Aku mengabaikan.
Kututup HP tanpa memberi balasan.

Dia, nama yang terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dahulu ketika masih sering bertemu, dia adalah orang yang sangat bergantung, menceritakan semua detail kehidupannya, mencurahkan semua keluh kesahnya, membagi seluruh kesedihan kesedihannya, membuka semua kebingungan-kebingungannya. Ketika ada hal bahagia dalam hidupnya, dia akan melompat dan memberitahuku seketika. Lihat, bagaimana dia sangat bergantung. Dia menceritakan seluruh kesedihannya seolah aku tidak pernah sedih, dia menceritakan seluruh kebingungannya seolah aku tidak pernah bingung, dia menceritakan keluh kesahnya, seolah hidupku selalu bahagia, tidak pernah ada masalah. Dia menceritakan semuanya seolah aku sudah selesai dengan semuanya.

Waktu melompat bersama jarak. Pada akhirnya kita jarang bertemu dan menyapa. Kemudian saluran itu menjadi penghubung antara kita. Apa kabar? Tiba-tiba ini menjadi pertanyaan yang mengerikan. Dia yang namanya terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dia tidak pernah tau sedikitpun tentang sedihku, dia tidak tau sama sekali tentang kebingunganku, dia tidak tau sama sekali tentang keluh kesahku, tidak tidak tau sama sekali tentang kepenatan dan masalahku. Dia, hanya tau aku seperti dulu, tempat bergantungnya, yang mungkin dianggap sudah dewasa dan tidak pernah mengalami gagal dan menderita. –bagaimana kau bisa memberitakan kabar buruk kepada orang yang sekalipun belum pernah mendengar kabar buruk darimu? Sekalipun dia orang yang dekat denganmu? -
Apa kabar? Dia, nama yang terpampang dalam layar itu adalah orang yang sangat aku kenal. Dia tidak menanyakan kabar, dia hanya ingin menyapa. Tetapi sapaan apa kabar ini, saat ini, bagiku, sangat membingungkan. Tunggu, tunggu hingga aku membereskan semua, menyelesaikan semua, memperbaiki semua. Hingga aku akhirnya bisa menjawab apa kabar dengan Alhamdulillah, baik.

Apa kabar? Karena setiap pertanyaan selalu memiliki pasangan jawaban. Seperti pertanyaan menjodohkan di mata pelajaran bahasa Indonesia, maka jawaban untuk apa kabar adalah Alhamdulillah baik. Tapi aku tidak sangup berdusta, karena agamaku mengajarkan itu dosa. Maka tunggu, tunggu hingga keadaanku Alhamdulillah baik hingga aku bisa membalas SMS apa kabar itu dengan kalimat Alhamdulillah baik. Tunggu.

Apa kabar?
Itu bukan pertanyaan menanyakan kabar.

-          Mungkin ini akan menginspirasimu, pernahkah kamu mengalami menanyakan kabar orang dan dia tidak membalas? Yah, mungkin dia merasa kamu  tidak sedang menanyakan kabarnya, hanya ingin menyapa saja, karena mungkin kalian telah lama tak bertukar sapa. Ah, mungkin ini yang sedikit menyesakkan: Mengapa orang tidak membalas ‘apa kabar’mu? Karena dia merasa kamu tidak sedang menanyakan kabarnya tetapi hanya ingin menyapanya. Karena kamu tidak peduli dengan kabarnya, hanya peduli pada rasa tidak enakmu karena sudah lama tidak bertegur sapa. Ah, egoisnya.
________________________________________________________________________________

Kemudian…
“Tilulit…dreeet…tilulit…dreeet…tilulit…dreet”
1 message received
Aku buka, nama yang berbeda dengan missed calls tadi.
Apa kabar? Aku Kangen nih, lama gak ketemu”
Kemudian aku menatap tulisan itu lama.
Dan kututup HP tanpa memberi balasan.

-          Bagaimana bisa kata ‘apa kabar’ tersambung dengan kata ‘aku’? jika apa kabar bermaksud untuk orang lain, dan kata ‘aku’? jadi sepertinya benar teori pertama, bahwa apa kabar bukan untuk menanyakan kabar orang lain (bukan untuk orang lain) tapi hanya sebuah sapaan. Dan ‘Aku’ yang selanjutnya merupakan penguatan bahwa si penanya memang tidak bermaksud menanyakan apapun tentang yg ditanya, tapi hanya menyatakan tentang perasaannya, dirinya sendiri. Ah, aku kesal dengan ketidaksingkronan ini. Hm, bagaimana aku harus membalasnya… “bagaimana aku harus peduli dengan perasaanmu sedang kamu tidak peduli dengan perasaanku?”
Ah, betapa double egoisnya.



Tidak ada komentar: