“naik
gunung yuk”
Siang bolong. Disela-sela aku jumpalitan
keliling Yogja (lebai), seorang teman mengirim SMS seperti itu. “Gunung mana?”
aku sempat membalas, padahal SMS beberapa temanku yang menanyakan hal yang
lebih penting tidak kubalas. Haha, kadang-kadang untuk menjawab SMS aku
memerlukan waktu, pertimbangan, keadaan emosi, dan keadaan fisik yang memadai (berlebihan
ya?). Apalagi kalau SMS itu mengenai hal yang penting. Jadi maaf kalau sering
ngaret balas SMS :p
“manut” jawabnya, singkat.
“wokey. Tapi bar nyekrip yaa^^” haha. Ngeles.
Kemudian, aku mikir, ternyata aku memiliki
janji untuk naik gunung setelah skripsi pada ke… empat orang yg berbeda. Janji
dengan temen KKN, teman Organisasi, teman Kuliah, dan ini, temenku. Haha.
Sebenarnya dia anak organisasi juga, tapi karena dia udah keluar dari organisasi
dan kita akrab, jadi yaa teman saja.
Banyak orang nggak percaya kalau aku hobi
naik gunung, secara dari penampakan tampak feminim dengan rok dan jilbab. Tapi
apalah, alam dan petualangan merupakan perpaduan yang sempurna untuk dinikmati. Aku bukan wanita yang menye-menye ketika dilepas di alam. Gak takut jatuh,
gak takut gelap, gak takut licin, gak takut bahaya –semakin bahaya malah
semakin membuatku excited- paling kalau di alam yang sedikit membuatku takut
cuman ulet, cacing, lintah, hewan-hewan aneh, dan sebagainya. Tapi perlu dicatet,
aku bukan wanita yang suka jerat-jerit waktu liat hewan-hewan seperti itu.
Aku naik gunung sejak SMA dan terakhir
setelah pulang KKN. Dan aku memiliki kebiasaan yang sama setiap naik gunung,
berhenti di pos terakhir sebelum puncak. Aku inget temenku benar-benar
mengejekku karena cuman berhenti di pos terakhir itu dan nggak muncak, secara
fisikku masih sangat kuat. Aku memilih duduk melihat awan bergulung, menunggu tenda
dan menyaksikan teman-temanku berjalan
ke puncak. Aku juga sangat ingat salah satu temanku saaaangat menyesalkan perbuatanku
karena memilih ‘duduk saja’ di pos terakhir dari pada muncak. Dalam pendakian itu
yang wanita cuman aku dan temenku itu, dia sangaat pengen muncak, tapi kalau
tanpaku, ya nggak beranilah dia. Haha. Sedang aku bersikeras buat ‘duduk saja’.
Sebenarnya kasihan sih, tapi.. emang jahat sih aku T.T
Kadang aku merasa tidak perlu untuk meraih
semuanya. Mungkin orang akan mengatakan bahwa apa yang aku lakukan ini percuma
banget, naik gunung kok nggak muncak! Tetapi niatku adalah untuk naik gunung,
bukan muncak. Menikmati beratnya menapaki medan setapak demi setapak, gelap,
licin, musti loncat-loncat, dingin, dehidrasi, nafas ngos-ngosan, bawaan berat,
suara-suara hewan aneh, pundak pegel, kaki seakan udah nggak kuat menahan
beban. Itulah naik gunung, dan berada di pos terakhir, menikmati sunset dan awan
yang menggulung seperti laut buatku sudah cukup. Aku tidak pernah tahu
bagaimana keadaan puncak gunung, aku hanya bisa membayangkan bagaimana puncak
itu dari teman-temanku waktu turun. Aku membiarkan keindahan puncak itu sebagai
sebuah bayangan, ya, aku menggambarkannya, mereka-reka keindahan itu, dan aku
tersenyum. Iya pasti indah sekali, dan aku tidak mau menghancurkan gambaran
keindahan puncak gunung dengan melihat puncak itu. Kadang mendengarkan dan
membayangkan akan lebih membahagiakan daripada menyaksikan kebahagiaan itu
sendiri. Tidak muncak juga akan membuatku memiliki alasan untuk naik lagi,
kesana lagi, dan penasaran lagi. Dan tetep duduk di pos terakhir dan membawa
pulang penasaranku, rasa penasaran membuatku tidak pernah selesai untuk terus
kesana lagi-kesana lagi.
Apa aku menyesal? Tidak. Aku tidak pernah
menyesal. Angap saja ini sebuah keputusan, dan aku telah memutuskan untuk
berkata, cukup. Sudah aku disini saja. Mungkin orang akan mengasosiasikan acara
naik gunung ini dengan kehidupan dalam mencapai kesuksesan, dan meganggap aku
sebagai loser, pecundang. Tapi sini aku tanya, puncak kesuksesan itu seperti
apa? Dimana? Bukankan puncak kesuksesan itu adalah ketika kamu mengatakan
cukup! Dan kamu bahagia dengan keputusan itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar