Follow Us @soratemplates

16/03/12

Cukup


naik gunung yuk

Siang bolong. Disela-sela aku jumpalitan keliling Yogja (lebai), seorang teman mengirim SMS seperti itu. “Gunung mana?” aku sempat membalas, padahal SMS beberapa temanku yang menanyakan hal yang lebih penting tidak kubalas. Haha, kadang-kadang untuk menjawab SMS aku memerlukan waktu, pertimbangan, keadaan emosi, dan keadaan fisik yang memadai (berlebihan ya?). Apalagi kalau SMS itu mengenai hal yang penting. Jadi maaf kalau sering ngaret balas SMS :p

 

manut” jawabnya, singkat.
wokey. Tapi bar nyekrip yaa^^” haha. Ngeles.


Kemudian, aku mikir, ternyata aku memiliki janji untuk naik gunung setelah skripsi pada ke… empat orang yg berbeda. Janji dengan temen KKN, teman Organisasi, teman Kuliah, dan ini, temenku. Haha. Sebenarnya dia anak organisasi juga, tapi karena dia udah keluar dari organisasi dan  kita akrab, jadi yaa teman saja.



Banyak orang nggak percaya kalau aku hobi naik gunung, secara dari penampakan tampak feminim dengan rok dan jilbab. Tapi apalah, alam dan petualangan merupakan perpaduan yang sempurna untuk dinikmati. Aku bukan wanita yang menye-menye ketika dilepas di alam. Gak takut jatuh, gak takut gelap, gak takut licin, gak takut bahaya –semakin bahaya malah semakin membuatku excited- paling kalau di alam yang sedikit membuatku takut cuman ulet, cacing, lintah, hewan-hewan aneh, dan sebagainya. Tapi perlu dicatet, aku bukan wanita yang suka jerat-jerit waktu liat hewan-hewan seperti itu.



Aku naik gunung sejak SMA dan terakhir setelah pulang KKN. Dan aku memiliki kebiasaan yang sama setiap naik gunung, berhenti di pos terakhir sebelum puncak. Aku inget temenku benar-benar mengejekku karena cuman berhenti di pos terakhir itu dan nggak muncak, secara fisikku masih sangat kuat. Aku memilih duduk melihat awan bergulung, menunggu tenda dan menyaksikan teman-temanku  berjalan ke puncak. Aku juga sangat ingat salah satu temanku saaaangat menyesalkan perbuatanku karena memilih ‘duduk saja’ di pos terakhir dari pada muncak. Dalam pendakian itu yang wanita cuman aku dan temenku itu, dia sangaat pengen muncak, tapi kalau tanpaku, ya nggak beranilah dia. Haha. Sedang aku bersikeras buat ‘duduk saja’. Sebenarnya kasihan sih, tapi.. emang jahat sih aku T.T


Kadang aku merasa tidak perlu untuk meraih semuanya. Mungkin orang akan mengatakan bahwa apa yang aku lakukan ini percuma banget, naik gunung kok nggak muncak! Tetapi niatku adalah untuk naik gunung, bukan muncak. Menikmati beratnya menapaki medan setapak demi setapak, gelap, licin, musti loncat-loncat, dingin, dehidrasi, nafas ngos-ngosan, bawaan berat, suara-suara hewan aneh, pundak pegel, kaki seakan udah nggak kuat menahan beban. Itulah naik gunung, dan berada di pos terakhir, menikmati sunset dan awan yang menggulung seperti laut buatku sudah cukup. Aku tidak pernah tahu bagaimana keadaan puncak gunung, aku hanya bisa membayangkan bagaimana puncak itu dari teman-temanku waktu turun. Aku membiarkan keindahan puncak itu sebagai sebuah bayangan, ya, aku menggambarkannya, mereka-reka keindahan itu, dan aku tersenyum. Iya pasti indah sekali, dan aku tidak mau menghancurkan gambaran keindahan puncak gunung dengan melihat puncak itu. Kadang mendengarkan dan membayangkan akan lebih membahagiakan daripada menyaksikan kebahagiaan itu sendiri. Tidak muncak juga akan membuatku memiliki alasan untuk naik lagi, kesana lagi, dan penasaran lagi. Dan tetep duduk di pos terakhir dan membawa pulang penasaranku, rasa penasaran membuatku tidak pernah selesai untuk terus kesana lagi-kesana lagi.



Apa aku menyesal? Tidak. Aku tidak pernah menyesal. Angap saja ini sebuah keputusan, dan aku telah memutuskan untuk berkata, cukup. Sudah aku disini saja. Mungkin orang akan mengasosiasikan acara naik gunung ini dengan kehidupan dalam mencapai kesuksesan, dan meganggap aku sebagai loser, pecundang. Tapi sini aku tanya, puncak kesuksesan itu seperti apa? Dimana? Bukankan puncak kesuksesan itu adalah ketika kamu mengatakan cukup! Dan kamu bahagia dengan keputusan itu?

Tidak ada komentar: