Follow Us @soratemplates

05/03/12

Luka


Yah, aku pulang kerumah. Tapi tak seperti hari-hari yang lalu. Tak ada senyumanmu yang selalu mengambang di depan pintu, menyambutku. Apa kau masih marah?
Yah, sudah berapa lama kita tidak bertemu? Apa kau ingat waktu dulu ketika kau mengajakku ke gedung tempatmu bekerja, kau dudukkan aku di atas beton dengan beberapa gorengan dan air minum. 

Apa yang kau lihat?” katamu ketika aku menegadah keatas,
ayah yang membangunnya?”
Ya, Ayah dan  teman-teman ayah
Kalau besar aku ingin buat juga
Jangan, ini pekerjaan laki-laki. Kamu menggambar saja bangunan apa yg akan kamu buat, lalu serahkan ke Ayah, akan ayah bangunkan
Benar yah? Baiklah, kalau besar nanti aku mau jadi tukang gambar!”
Bukan tukang gambar sayang, arsitek
Hah.. Arsi..tek?

Berapa umurku waktu itu Yah? O ya, enam tahun ya? Dan sedikitpun tak ada kata yang terlewat bukan? Bahkan aku ingat sekali peristiwa sebelumnya. Ketika di sekolah guru dan teman-temanku sudah tak tahu lagi bagaimana menghentikan tangis dan teriakanku, anak-anak itu nakal sekali yah, mereka menaruh kotoran kucing di dalam sepatuku. Setiap anak melepas sepatunya dikelas Yah ketika pelajaran olah raga, dan anak-anak usil itu beraksi waktu itu. Lalu kau datang kesekolah. Yah, aku masih ingat, masih dengan helm putih penuh debu, kaos kuning dan celana panjang, serta sepatu boat, oya sepeda kumbang kita. Pasti kau tengah bekerja dan tergopoh datang kesekolah begitu mendengar kabar kalau aku menangis, dan saat itu juga kau membawaku pergi ke tempat kerjamu. Yah, tahukah engkau mengapa anak-anak melakukan itu? Sepatuku jelek sekali Yah


Hari berlalu cepat ya Yah, setiap detik yang kumiliki adalah detikmu juga, karena setiap detik yang kau miliki memang kau serahkan untukku sepenuhnya. Sepertinya hampir setiap kesempatan aku mendengar Ayah berkata ‘anak kebanggaan Ayah’. Andai saat itu aku sadar artinya Yah. Setiap malam sebelum beranjak tidur, kau selalu bercerita tentang bagaimana membuat bangunan yang bagus. Memang aneh Yah, tetapi aku selalu suka. Dari cerita-ceritamu aku bisa membayangkan bagunan modern yang indah dan dinamis. Kadang kau membawakaku gambar-gambar bangunan yang mempesona, gedung-gedung megah, rumah minimalis yang unik, dan bangunan yang tidak biasa. Itu semua… menggairahkan Yah. Darimana ayah dapatkan ini?, tanyaku suatu hari, tetapi Ayah hanya tersenyum sambil mengelus rambutku. Tempat kerja Ayah lah… Balasmu. Yah, tahukan engkau mengapa aku bertanya? Temanku disekolah bilang kalau ayah mencuri majalah-majalah ini, temanku yang ayahnya juga bekerja di tempat ayah.

Waktu yang paling berat adalah ketika berpisah denganmu Yah, ya meskipun seminggu sekali pulang tetap saja bagiku itu perpisahan. Dengan sepeda kumbang kita Engkau mengantarku ke kota,

kalau mau jadi arsitek kami harus sekolah disini, ini sekolah terbaik di kabupaten’
‘tapi Yah, jauuhh…’
‘tak apa, nanti kamu akan indekos di daerah ini, seminggu sekali kamu bisa pulang. Ayah punya kenalan disini. O iya, sekolah yang kau tempati nanti, ayah yang membangun’

Demi mendengar kalimat terakhir Ayah, aku mengiyakan untuk bersekolah di kota. Yah, pada saat itu aku sangat membutuhkanmu untuk berbagi cerita, banyak hal yang membuatku begitu berat berjalan. Tetapi kita sudah jarang berbicara, hanya ketika pulang saja, dan saat itu aku hanya akan bercerita yang baik-baik saja, aku tidak mau membuatmu sedih dan kecewa. Apalagi setelah peristiwa itu Yah, Jumat sore, Ayah datang dengan sepeda kumbang kita, setumpuk buku bekas diikat erat diboncengan belakang. ‘Ayah merenovasi perpustakaan kecamatan, dan buku-buku ini mau dibuang. Kamu bisa bahasa Inggris kan? Ayah tadi sampai minta tolong orang buat cari buku dengan tema ini, ada tiga orang tadi yang nolongin ayah’. Lalu Ayah pamit pergi, begitu saja. Buku lawas dengan tema yang sama, arsitektur. Sebagian dalam bahasa Inggris sebagian dalam bahasa Indonesia ejaan lama. Padahal Sabtu aku pulang  Yah, seperti biasa. Kenapa tidak menungguku saja?

Mungkin saat yang membanggakan bagi Ayah adalah ketika aku diterima di Universitas, Jurusan Arsitektur. Yah, saat itu aku juga tidak percaya. Diterima dengan beasiswa penuh dengan persyaratan IP yang bagus di setiap semester. “Ayah bangga padamu. Ayah bangga padamu nak… Anak Ayah..”, seperti mantra Ayah merapal itu berkali-kali.
Yah, kita sama-sama tahu konsekuensi dari keputusan ini adalah berpisah lebih lama. Aku hanya bisa pulang setahun sekali, waktu hari raya. Libur semesteran memang panjang, tetapi itu adalah waktu terbaik untuk mencari sampingan, bekerja tengah waktu. Yah, mungkin aku berubah dan ayah tidak pernah berubah.
Empat tahun yang berjalan begitu cepat, pada hari wisuda engkau datang, sendiri dengan sepeda kumbang kita. Bukankah itu hampir sepuluh jam Yah? Mengapa memaksakan diri? Pagi itu kita berangkat bersama dari kos yang kutempati, berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kita hanya diam, tak ada yang diucapkan, sepatahpun. Aku hanya melihat mata Ayah berkaca.

Yah, kita pindah ke kota ya?” Ajakku suatu hari. Dua tahun setelah hari wisuda. Kedekatanku dengan dosen membuatku banyak mendapat jaringan bekerja, satu tahun bekerja dengan orang Jepang yang sedang mengadakan proyek di Indonesia sudah membuatku mampu membeli rumah. Masih membeli, bukan membuat. Tahun kedua aku bergabung dengan perusahaan konsultan bangunan yang sudah sangat mapan. Ayah, hidupku lebih enak sekarang.

Tidak, Ayah disini saja
Siapa yang akan membuatkan aku rumah Yah? Aku sudah merancang gambarnya?”
“Ayah akan membuatkanmu rumah sesuai rancanganmu, tetapi ayah tetap tinggal disini”
“Yah, aku kan bisa merawat ayah disana. Lagipula disana lebih enak, Ayah tak perlu lagi bekerja, aku sudah mapan Yah”
“Kalau Ayah ikut denganmu, siapa yang menjaga Ibumu?”

Ibu? Itu adalah kata-kata yang paling menyentak sepanjang hidupku denganmu Yah. Aku tidak pernah merasa memiliki Ibu, wanita yang setiap malam pulang mabuk, marah-marah, membanting barang-barang, kemudian tertidur hingga siang. Aku berangkat sekolah ia masih tidur, dan ketika pulang sekolah ia sudah tidak dirumah lagi. Meski memoriku tentang Ibu hanya sampai pada usia ke sepuluh, aku masih ingat bagian itu. Ibu meninggal dunia, ayah menangis. Apa Yah? Over dosis? Aku baru paham arti kata itu ketika SMA. Yah, bukankah memori tentang Ibu sudah jauh tertinggal? Bahkan setelah itu kita tidak pernah membahas tentang Ibu lagi. Bukankah Ibu juga yang membuatmu begitu susah payah merawatku? Juga menanggung malu? Yah, makam ibu tidak akan kenapa-kenapa selama kita tinggal.

Aku bisa menyewa orang untuk membersihkan makam ibu setiap kamis sore, Yah

Yah, terangkan padaku bagian hidup yang mana yang tidak aku mengerti! Tamparan kau jadikan jawaban dari tawaranku. Yah, seumur hidupku baru kali ini aku benar-benar tidak mengerti. Aku Pergi. Meninggalkanmu. Yah, aku tidak mengerti.

Kemudian, enam tahun berlalu. Aku pulang Yah, pertanyaanku: Apakah kau masih bangga padaku? Anak Ayah. Enam tahun tanpa bicara, enam tahun tanpa menanya kabar satu sama lain, enam tahun bergelut dengan pekerjaan sepenuh-penuhnya, demi tidak memikirkanmu. Enam tahun hidup hedon eksekutif muda yang masih single, Enam tahun berfoya dengan dunia. Yah, bahkan aku tidak terfikir untuk memulai. Aku masih belum paham. Andai kau mau menjelaskan kepadaku, Yah. Sehari yang lalu aku menerima surat darimu, engkau memaafkanku, semuanya. Engkau hanya ingin aku pulang, dan kata terakhir kau menuliskan bahwa kau sangat menyayangiku.

Dan saat itu juga terasa begitu jelas, meski di suratmu tak sepatah katamu kau menereangkan tentang kejadian itu. Namun tiba-tiba aku menjadi paham. Yah, apakah harus terluka dahulu untuk dapat memahami luka? Apakah harus kehilangan dahulu agar tahu rasanya kehilangan?

Yah, Aku pulang. Ingin sekali segera memelukmu, membalut luka-lukamu, mendengar suaramu lagi, mendengar tawamu. Meski semua tidak akan sama lagi. Yah, tahukah engkau bahwa yang meninggalkan itu lebih sakit daripada yang ditinggalkan, yang melukai itu lebih sakit dari yang dilukai. Yah, aku terluka telah melukaimu. Goresannya sangat tajam kan, Yah? Maafkan Anakmu.

Tidak ada komentar: