Pengantar
yang cukup panjang ya dipostingan sebelumnya? Sebenernya saya pengen bercerita tentang Pi, (2 tahun)
anak tetangga yang memiliki perkembangan yang tidak sama dengan anak pada
umumnya. Pi, begitu dia menyebut dirinya sendiri, memiliki perkembangan emosi
yang menakjubkan.
Inilah
alasanku menulis cerita si kecil Pi yang tiap hari nongkrong di rumahku. Orang
biasanya akan takjub dengan anak yang luar biasa cerdas, akan terperangah jika
melihat si kecil melakukan hal-hal brilian. Beginilah masyarakat Indonesia
kini, sangat memuja otak, sangat memuja kecerdasan. Lihat saja sekitarmu
bagaimana manusia berusaha untuk menjadi cerdas, atau berusaha agar anaknya,
setidaknya… terlihat cerdas. Pi, bukan anak cerdas. Dia tidak melakukan hal-hal
yang brilian, tidak bertanya hal-hal yang membuat orang dewasa di sekitarnya
kebingungan menjawab, tidak melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, tidak
kreatif. Tapi Pi mampu memberikan afeksi ....
Suatu
hari Pi menangis begitu keras, dia ingin sekali naik Kian Santang, kereta mini
milik tetangga yang memang digunakan untuk mencari nafkah oleh si empunya.
Kereta ini tiap sore berkeliling desa, tiap anak yang ingin naik harus membayar
1.000- 2.000 rupiah. Kereta ini tentu menggunakan speaker yang berisi lagu-lagu
untuk menarik perhatian anak-anak. Pi,
seperti anak-anak lainya, ingin sekali bisa naik Kian Santang itu. Tapi apalah,
Ibunya tidak mengijinkan. Uang yang hanya seribu dua ribu itu, ibunya tidak
punya. Bapak Pi adalah buruh serabutan, apa-apa dikerjakan. Kalau malam sering
mencari kepiting, ikan, atau ular di sawah.
Di daerahku pekerjaan ini disebut nyetrum, karena memang menggunakan
seterum. Ibu Pi dulunya bekerja menjajakan makanan di kereta. Tetapi semenjak
kehadiran Pi, sang Ibu berhenti berjualan untuk beberapa waktu, demi mengurus
Pi. Pi menangis meraung raung karena tidak diijinkan untuk naik kereta mini
tadi, pada akhirnya saking jengkelnya mendengar tangisan Pi mungkin, ibunya
menggendong Pi menuju kereta yang notabenenya terparkir di jalan di depan
rumahnya. Mendudukkan Pi di bangku penumpang dengan kasar, dan kemudian Ibu Pi
‘pura-pura’ meninggalkan Pi. Pi berhenti menangis sebentar, kemudian kembali
menangis lagi memanggil ibunya ‘Ibu…. Ibu….’ Teriaknya sambil berlinang air
mata. ‘Midhun bu…. Midhun….’ (turun bu… turun) Tau Ibunya akan meninggalkannya,
Pi minta turun dan memilih ikut Ibunya.
Ibunyapun
merasakan dilema yang tidak mengenakkan hati, di satu sisi ia kasihan kepada Pi
yang ingin bermain dengan naik Kian Santang, disisi lain ia memang tidak
memiliki sepeserpun untuk membayarnya. Dilema itu membuatnya sedih dan sedikit
berairmata. Ibu Pi akhirnya menjemput Pi kembali dan mengendongnya masuk rumah.
Ketika melihat Ibunya kembali dan menggendongnya, tangis Pi berhenti. Pi
mengamati wajah Ibunya. Di rumah, setelah Pi diturunkan dari gendongan, Pi
mendekati Ibunya dan menghapus air mata ibunya, “Ibu ampun nangis. Pi mboten nakal maneh bu, Pi mboten numpang Kian
Santang maneh bu… ibu ampun nangis…” kemudian Ibunya langsung menciumi Pi.
Semenjak itu, Pi tidak pernah merengek ingin naik Kian Santang lagi.
Ketika
beberapa hari selanjutnya, Ibu Pi sedang begitu sibuk. Pagi hari memasak cukup
banyak, Pi di dudukkan disampingnya dan diminta main sendiri. “dolanan dewe ya Le, Ibu tak masak ya..”
kata ibunya. Dan selama ibunya masak, Pi duduk manis di dudukannya sambil
bermain sendiri. Ketika ibunya menyuruhnya mengambilkan sesuatu, ia langsung
mengambilkannya. Dapur keluarga Pi ada diluar, itupun memanfaatkan bagian rumah
tetangga yang sudah kosong. Rumah tetangga itu terbuat dari anyaman bambu, jadi
beberapa bagian dibongkar untuk lewat dari rumah Pi. Dari teras rumahku, dapur
itu terlihat. Melongok sedikit saja kami sudah bisa melihat isi dapurnya.
Karena temboknya yang dari bambu, suara kecilpun dapat kami dengar dari teras.
Termasuk suara ibunya yang menyuruh Pi duduk dan main sendiri. Setelah memasak
Ibu Pi harus mencuci banyak, menimba dan mengisi air di dapur (karena keluarga
Pi juga masih numpang sumur tetangga), nyetrika, dan melakukan pekerjaan rumah
lain. Seharian ibunya Pi melakukan itu semua. Pada siang hari, Ibu Pi
istirahat. Leyeh-leyeh di dalam rumahnya. Pi yang bisa dikatakan dari pagi tadi
tidak bermain bersama ibunya, padahal biasanya bermain, gojekan, atau momong
Pi, mendekati Ibunya dan memijiti tangan Ibunya. “Ibu kesel.. Pi pijeti ibuk…” katanya tanpa diminta dan tanpa ada
yang mengajari. Kemudian ibu Pi menghujani Pi dengan sanjungan dan pujian,
hingga akhirnya menyuruh Pi untuk menginjak-injak punggungnya. Orang tua kalau
sedang kelelahan biasanya melakukan pijat semacam ini. Pi, DUA TAHUN!
Minggu
lalu, Ibu Pi cerita. Hari sebelumnya dia dan Pi dimarahin Bapaknya karena Pi
bermain kunci karatan dan dimasukkan mulut. Bapaknya memiliki perangai yang
kasar dalam berkata-kata. Hingga kata-kata burukpun keluar. Ibu Pi hanya bisa
menangis, begitu pula dengan Pi. Setelah bapaknya selesai marah-marah, Pi yang
masih sesengukan mendekati ibunya dan menghapusi air mata ibunya dengan
tangannya. “bu… ampun nangis bu, pake
nakal nggih bu… ibu ampun nangis” akupun justru terharu dan ingin menangis
ketika mendengar cerita ini.
Baru
kemarin, ketika ibuku meminta bantuan ibunya Pi untuk membawa sekarung arang
dari tetangga. Teknisnya gini, ibuku akan membawa motor, kemudian sekarung itu
akan dinaikkan di jok belakang, Ibu Pi akan memeganginya dari belakang sambil
berjalan karena karung arang sudah memenuhi jok, tidak tersisa tempat buat
dibonceni lagi. Motor akan dijalankan pelan-pelan. Karena jarak dari tempat
mengambil arang hanya sejarak lima rumah, Ibu Pi tidak keberatan dan itu cukup
praktis. Ibu Pi tidak pernah terpisah dengan Pi, maka Pi juga ikut. Untuk itu,
Ibuku mengakali untuk menaikkan Pi di depan. Waktu semuanya sudah diatur, Ibuku
berjalan pelan-pelan dengan motor, tetapi tanpa sadar kecepatan motor itu
sedikit naik. Hingga akhirnya ibunya Pi harus berlari mengikutinya, melihat
itu, Pi justru menangis “ibu… ibu…. Ibu
ampun mlayu…. Ibu numpak wae… ibu bonceng wae..”. Pi, bocah ra pengen ibune tatu sithik-sithiko (tidak ingin ibunya
menderita sedikitpum). Komentar ibunya setelah menceritakan kejadian ini.
Pernah
Pi mengadu pada Ibunya, waktu itu ia melihat Ibuku di teras rumah. seperti
biasa kami selalu memanggil dari rumah masing-masing. Waktu itu ibuku tidak
mendengar dan tidak memperhatikan, sehingga tidak menjawab panggilan Pi. Pi
bertanya, apakah ibuku marah dengan Pi sehingga tidak menjawab panggilannya?
Ibunya memberi asalan, bisa saja Ibuku tidak mendengar. Ibuku mendengar cerita
itu terheran sendiri, cah cilik kok iso
ngrasakne men.
Begitulah
Pi, dia juga sering memberikan komentar-komentar yang entah bagaimana tercetus
dari mulutnya yang seperti komentar orang dewasa yang sudah mengerti kehidupan.
Unik sekali bahwa Pi sangat bisa berempati, bahkan tanpa diminta, tanpa diajari
atau diberi contoh. Ibunya juga heran dan sering bertanya kepada Pi, “kowe ki sing ngajari sopo?”. Bahkan
kata-kata yang terlontar seperti orang dewasa itu juga bukan kata-kata yang
diajarkan orang tuanya. Pi, memiliki kematangan emosi yang lebih matang dari
anak-anak usianya. Bahkan lebih matang dari orang dewasa. Pernahkah kamu merasa
bersalah kepada ibumu kemudian menghaupus air mata ibumu dan minta maaf? Bahkan
aku kalah dengan Pi. Yang lebih menggetarkan hati, Pi pun belum tau kalau ibu
yang ia kasihi, yang sangat ia sayangi, bukan ibu kandungnya sendiri juga tidak
memiliki hubungan saudara. Ibu kandungnya tidak peduli lagi keadaan Pi
sekarang. Mungkin juga tidak tahu kalau anaknya tumbuh seistimewa ini.
Sebelum
balik ke jogja, aku masih sempat bermain-main dengan Pi dan ibunya. Mereka
memang selalu bermain di depan rumahku. Ibu Pi bercerita, “Pi ndek mau cerito
ngene, buk sesuk nek gedek aku arep mendem ngeneki, karo rekake mabuk. Bar
dikandani kancane bapake kono kae, nek gedhe kon mendem wae, koyo wong ndelok
dangdutan kae lho” (Pi tadi bercerita, bu kalau besar nanti aku mau mabuk
seperti ini, sambil terhuyung-huyung memperagakan orang mabuk. Habis dikasih
tau temannya bapaknya sana itu, kalau sudah besar mabuk saja, seperti orang
yang melihat dangdut).
Pi.
Semoga lingkungan tidak menghancurkan kepekaan hatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar