Follow Us @soratemplates

23/10/13

Pi. (bag. 2 selesai)

Pi. Kemanapun dia tidak pernah lupa memakai sandal, dan  melepasnya ketika masuk rumah tentu saja. Pi memiliki banyaak mainan yg bagus2, mobil2annya komplit. Tapi othok-othoknya lah yang selalu ia bawa.



Pengantar yang cukup panjang ya dipostingan sebelumnya?  Sebenernya saya pengen bercerita tentang Pi, (2 tahun) anak tetangga yang memiliki perkembangan yang tidak sama dengan anak pada umumnya. Pi, begitu dia menyebut dirinya sendiri, memiliki perkembangan emosi yang menakjubkan.

Inilah alasanku menulis cerita si kecil Pi yang tiap hari nongkrong di rumahku. Orang biasanya akan takjub dengan anak yang luar biasa cerdas, akan terperangah jika melihat si kecil melakukan hal-hal brilian. Beginilah masyarakat Indonesia kini, sangat memuja otak, sangat memuja kecerdasan. Lihat saja sekitarmu bagaimana manusia berusaha untuk menjadi cerdas, atau berusaha agar anaknya, setidaknya… terlihat cerdas. Pi, bukan anak cerdas. Dia tidak melakukan hal-hal yang brilian, tidak bertanya hal-hal yang membuat orang dewasa di sekitarnya kebingungan menjawab, tidak melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, tidak kreatif. Tapi Pi mampu memberikan afeksi ....

Suatu hari Pi menangis begitu keras, dia ingin sekali naik Kian Santang, kereta mini milik tetangga yang memang digunakan untuk mencari nafkah oleh si empunya. Kereta ini tiap sore berkeliling desa, tiap anak yang ingin naik harus membayar 1.000- 2.000 rupiah. Kereta ini tentu menggunakan speaker yang berisi lagu-lagu untuk menarik perhatian anak-anak.  Pi, seperti anak-anak lainya, ingin sekali bisa naik Kian Santang itu. Tapi apalah, Ibunya tidak mengijinkan. Uang yang hanya seribu dua ribu itu, ibunya tidak punya. Bapak Pi adalah buruh serabutan, apa-apa dikerjakan. Kalau malam sering mencari kepiting, ikan, atau ular di sawah.  Di daerahku pekerjaan ini disebut nyetrum, karena memang menggunakan seterum. Ibu Pi dulunya bekerja menjajakan makanan di kereta. Tetapi semenjak kehadiran Pi, sang Ibu berhenti berjualan untuk beberapa waktu, demi mengurus Pi. Pi menangis meraung raung karena tidak diijinkan untuk naik kereta mini tadi, pada akhirnya saking jengkelnya mendengar tangisan Pi mungkin, ibunya menggendong Pi menuju kereta yang notabenenya terparkir di jalan di depan rumahnya. Mendudukkan Pi di bangku penumpang dengan kasar, dan kemudian Ibu Pi ‘pura-pura’ meninggalkan Pi. Pi berhenti menangis sebentar, kemudian kembali menangis lagi memanggil ibunya ‘Ibu…. Ibu….’ Teriaknya sambil berlinang air mata. ‘Midhun bu…. Midhun….’ (turun bu… turun) Tau Ibunya akan meninggalkannya, Pi minta turun dan memilih ikut Ibunya.

Ibunyapun merasakan dilema yang tidak mengenakkan hati, di satu sisi ia kasihan kepada Pi yang ingin bermain dengan naik Kian Santang, disisi lain ia memang tidak memiliki sepeserpun untuk membayarnya. Dilema itu membuatnya sedih dan sedikit berairmata. Ibu Pi akhirnya menjemput Pi kembali dan mengendongnya masuk rumah. Ketika melihat Ibunya kembali dan menggendongnya, tangis Pi berhenti. Pi mengamati wajah Ibunya. Di rumah, setelah Pi diturunkan dari gendongan, Pi mendekati Ibunya dan menghapus air mata ibunya, “Ibu ampun nangis. Pi mboten nakal maneh bu, Pi mboten numpang Kian Santang maneh bu… ibu ampun nangis…” kemudian Ibunya langsung menciumi Pi. Semenjak itu, Pi tidak pernah merengek ingin naik Kian Santang lagi.

Ketika beberapa hari selanjutnya, Ibu Pi sedang begitu sibuk. Pagi hari memasak cukup banyak, Pi di dudukkan disampingnya dan diminta main sendiri. “dolanan dewe ya Le, Ibu tak masak ya..” kata ibunya. Dan selama ibunya masak, Pi duduk manis di dudukannya sambil bermain sendiri. Ketika ibunya menyuruhnya mengambilkan sesuatu, ia langsung mengambilkannya. Dapur keluarga Pi ada diluar, itupun memanfaatkan bagian rumah tetangga yang sudah kosong. Rumah tetangga itu terbuat dari anyaman bambu, jadi beberapa bagian dibongkar untuk lewat dari rumah Pi. Dari teras rumahku, dapur itu terlihat. Melongok sedikit saja kami sudah bisa melihat isi dapurnya. Karena temboknya yang dari bambu, suara kecilpun dapat kami dengar dari teras. Termasuk suara ibunya yang menyuruh Pi duduk dan main sendiri. Setelah memasak Ibu Pi harus mencuci banyak, menimba dan mengisi air di dapur (karena keluarga Pi juga masih numpang sumur tetangga), nyetrika, dan melakukan pekerjaan rumah lain. Seharian ibunya Pi melakukan itu semua. Pada siang hari, Ibu Pi istirahat. Leyeh-leyeh di dalam rumahnya. Pi yang bisa dikatakan dari pagi tadi tidak bermain bersama ibunya, padahal biasanya bermain, gojekan, atau momong Pi, mendekati Ibunya dan memijiti tangan Ibunya. “Ibu kesel.. Pi pijeti ibuk…” katanya tanpa diminta dan tanpa ada yang mengajari. Kemudian ibu Pi menghujani Pi dengan sanjungan dan pujian, hingga akhirnya menyuruh Pi untuk menginjak-injak punggungnya. Orang tua kalau sedang kelelahan biasanya melakukan pijat semacam ini. Pi, DUA TAHUN!

Minggu lalu, Ibu Pi cerita. Hari sebelumnya dia dan Pi dimarahin Bapaknya karena Pi bermain kunci karatan dan dimasukkan mulut. Bapaknya memiliki perangai yang kasar dalam berkata-kata. Hingga kata-kata burukpun keluar. Ibu Pi hanya bisa menangis, begitu pula dengan Pi. Setelah bapaknya selesai marah-marah, Pi yang masih sesengukan mendekati ibunya dan menghapusi air mata ibunya dengan tangannya. “bu… ampun nangis bu, pake nakal nggih bu… ibu ampun nangis” akupun justru terharu dan ingin menangis ketika mendengar cerita ini.

Baru kemarin, ketika ibuku meminta bantuan ibunya Pi untuk membawa sekarung arang dari tetangga. Teknisnya gini, ibuku akan membawa motor, kemudian sekarung itu akan dinaikkan di jok belakang, Ibu Pi akan memeganginya dari belakang sambil berjalan karena karung arang sudah memenuhi jok, tidak tersisa tempat buat dibonceni lagi. Motor akan dijalankan pelan-pelan. Karena jarak dari tempat mengambil arang hanya sejarak lima rumah, Ibu Pi tidak keberatan dan itu cukup praktis. Ibu Pi tidak pernah terpisah dengan Pi, maka Pi juga ikut. Untuk itu, Ibuku mengakali untuk menaikkan Pi di depan. Waktu semuanya sudah diatur, Ibuku berjalan pelan-pelan dengan motor, tetapi tanpa sadar kecepatan motor itu sedikit naik. Hingga akhirnya ibunya Pi harus berlari mengikutinya, melihat itu, Pi justru menangis “ibu… ibu…. Ibu ampun mlayu…. Ibu numpak wae… ibu bonceng wae..”. Pi, bocah ra pengen ibune tatu sithik-sithiko (tidak ingin ibunya menderita sedikitpum). Komentar ibunya setelah menceritakan kejadian ini.

Pernah Pi mengadu pada Ibunya, waktu itu ia melihat Ibuku di teras rumah. seperti biasa kami selalu memanggil dari rumah masing-masing. Waktu itu ibuku tidak mendengar dan tidak memperhatikan, sehingga tidak menjawab panggilan Pi. Pi bertanya, apakah ibuku marah dengan Pi sehingga tidak menjawab panggilannya? Ibunya memberi asalan, bisa saja Ibuku tidak mendengar. Ibuku mendengar cerita itu terheran sendiri, cah cilik kok iso ngrasakne men.

Begitulah Pi, dia juga sering memberikan komentar-komentar yang entah bagaimana tercetus dari mulutnya yang seperti komentar orang dewasa yang sudah mengerti kehidupan. Unik sekali bahwa Pi sangat bisa berempati, bahkan tanpa diminta, tanpa diajari atau diberi contoh. Ibunya juga heran dan sering bertanya kepada Pi, “kowe ki sing ngajari sopo?”. Bahkan kata-kata yang terlontar seperti orang dewasa itu juga bukan kata-kata yang diajarkan orang tuanya. Pi, memiliki kematangan emosi yang lebih matang dari anak-anak usianya. Bahkan lebih matang dari orang dewasa. Pernahkah kamu merasa bersalah kepada ibumu kemudian menghaupus air mata ibumu dan minta maaf? Bahkan aku kalah dengan Pi. Yang lebih menggetarkan hati, Pi pun belum tau kalau ibu yang ia kasihi, yang sangat ia sayangi, bukan ibu kandungnya sendiri juga tidak memiliki hubungan saudara. Ibu kandungnya tidak peduli lagi keadaan Pi sekarang. Mungkin juga tidak tahu kalau anaknya tumbuh seistimewa ini.

Sebelum balik ke jogja, aku masih sempat bermain-main dengan Pi dan ibunya. Mereka memang selalu bermain di depan rumahku. Ibu Pi bercerita, “Pi ndek mau cerito ngene, buk sesuk nek gedek aku arep mendem ngeneki, karo rekake mabuk. Bar dikandani kancane bapake kono kae, nek gedhe kon mendem wae, koyo wong ndelok dangdutan kae lho” (Pi tadi bercerita, bu kalau besar nanti aku mau mabuk seperti ini, sambil terhuyung-huyung memperagakan orang mabuk. Habis dikasih tau temannya bapaknya sana itu, kalau sudah besar mabuk saja, seperti orang yang melihat dangdut).

Pi. Semoga lingkungan tidak menghancurkan kepekaan hatimu. 

Tidak ada komentar: