Follow Us @soratemplates

28/10/13

Tata Sukma Mulia (bag. 6-selesai)


Setelah bekerja di Pabrik mbak Tata baru merasakan ‘hidup’ lagi, meskipun dipekerjakan secara rodi, tetapi mbak Tata merasa sangat bersyukur. Masalah-masalah yang harus dia hdadpi di Pabrik baginya merupakan tantangan yang mengasyikkan. Sejatinya, mbak Tata lebih menyukai tantangan daripada rutinitas. Itu mengapa ia mau-mau saja disuruh memegang empat sektor sekaligus. Ketika mbak Tata dituduh merebut kekayaan keluarga suaminya, sebenernya mbak Tata tidak terlalu ambil pusing. Tetapi ternyata ada karyawan yang peduli terhadapnya, karyawan itu adalah pak Sadiman yang memang orang paling tua di pabrik. Pak Sadiman orangnya sederhana dan bersahaja, sering memberi wejangan dan guyonan kepada karyawan-karyawan lain. Ada salah satu wejangan dari Pak Sadiman yang akhirnya menjadi bibit TSM ini. “Dulu saya diwajangi pak Sadiman kayak gini, sopo akon kowe kudu dadi wong kuat nduk? Deloken pagawemu sing neng kene. Kabeh ngajeni kowe, kabeh wis nganggep kowe koyo keluargane dewe. Nduk, ning donya pancen ra suwe. Yen kowe reti, manungsa iku artinne manunggaling rasa. Dadi rosomu kui ojo mbok nggu dewe. Baginen karo liane. Yen siji liane manungso mangerteni opo janjane manungso iku, ora bakal ono uwong sing kewirangan. Nduk, kowe ora perlu dadi wong kuat” (dulu saya mendapatkan nasihat dari pak Sadiman seperti ini –siapa suruh kamu harus menjadi orang kuat, nak? Lihatlah sekitarmu, semua karyawan menghormatimu, menganggapmu sebagai keluarga sendiri. Kita di dunia ini memang sebentar, nak. Jika kamu tau falsafat tentang manusia yaitu menyatunya rasa,jadi apa yang kamu rasakan tidak boleh kamu rasakan sendiri, karena seharusnya semua manusia juga merasakan. Jika manusia satu sama lain mengetahui apa hakikat manusia itu, maka tidak akan ada manusia yang menderita. Nak, kamu tidak perlu hidup sekuat itu).


Dari sinilah pemikiran TSM itu ada. Agar semua orang tau, selayaknya manusia, kita tidak harus hidup sekuat itu.


Ya, melihat bagaimana kehidupan ini berjalan. Semua orang seakan berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan. Mengumpulkan uang, harta, menyekolahkan anak di tempat yang bagus, membeli kendaraan, memperbagus rumah. sepertinya semua orang hidup sendiri-sendiri dan lupa dengan yang lain karena fokus dengan hal tersebut. Maka jika ada masalah, juga merasa bahwa masalah itu adalah masalahnya sendiri, diselesaikan sendiri. Makhluk sosial sepertinya sudah kehilangan arti. Lihat bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya sekarang. Mengikutkan semua keterampilan, les ini itu agar bisa ini itu. mempersiapkan anak-anaknya untuk multitasking, dengan dalih mempersiapkan anak untuk menghadapi masa depan. Semakin terampil dan semakin multitasking seorang anak, maka (mungkin) masa depannya akan semakin baik.


Mbak Tata pernah guyon, mengajarkan anak semua keterampilan itu oke-oke saja kalau kita punya rencana mengirimkan anak  ke planet Mars sendirian, dan disana belum ada orang sama sekali. Krisis ini yang ingin disampaikan mbak Tata. Kita di dunia, hidup dengan manusia, banyak manusia. Kita harus percaya bahwa untuk bisa memakai baju kita tidak perlu belajar menjahit atau menenun kain. Kita bisa mempercayakan kepada orang lain. Percaya kepada orang. Kepercayaan satu sama lain akan semakin luntur dari bumi ini jika saja perilaku ‘mengejar prestasi dan berkompetisi’ terus diandalkan. Kita manusia, kita tidak perlu seterampil itu. kita tidak perlu sekuat itu. karena kita manusia: sosial. 

Tidak ada komentar: