Setelah
bekerja di Pabrik mbak Tata baru merasakan ‘hidup’ lagi, meskipun dipekerjakan
secara rodi, tetapi mbak Tata merasa sangat bersyukur. Masalah-masalah yang
harus dia hdadpi di Pabrik baginya merupakan tantangan yang mengasyikkan.
Sejatinya, mbak Tata lebih menyukai tantangan daripada rutinitas. Itu mengapa
ia mau-mau saja disuruh memegang empat sektor sekaligus. Ketika mbak Tata
dituduh merebut kekayaan keluarga suaminya, sebenernya mbak Tata tidak terlalu
ambil pusing. Tetapi ternyata ada karyawan yang peduli terhadapnya, karyawan
itu adalah pak Sadiman yang memang orang paling tua di pabrik. Pak Sadiman
orangnya sederhana dan bersahaja, sering memberi wejangan dan guyonan kepada
karyawan-karyawan lain. Ada salah satu wejangan dari Pak Sadiman yang akhirnya
menjadi bibit TSM ini. “Dulu saya
diwajangi pak Sadiman kayak gini, sopo akon kowe kudu dadi wong kuat nduk?
Deloken pagawemu sing neng kene. Kabeh ngajeni kowe, kabeh wis nganggep kowe
koyo keluargane dewe. Nduk, ning donya pancen ra suwe. Yen kowe reti, manungsa
iku artinne manunggaling rasa. Dadi rosomu kui ojo mbok nggu dewe. Baginen karo
liane. Yen siji liane manungso mangerteni opo janjane manungso iku, ora bakal
ono uwong sing kewirangan. Nduk, kowe ora perlu dadi wong kuat” (dulu saya
mendapatkan nasihat dari pak Sadiman seperti ini –siapa suruh kamu harus
menjadi orang kuat, nak? Lihatlah sekitarmu, semua karyawan menghormatimu,
menganggapmu sebagai keluarga sendiri. Kita di dunia ini memang sebentar, nak.
Jika kamu tau falsafat tentang manusia yaitu menyatunya rasa,jadi apa yang kamu
rasakan tidak boleh kamu rasakan sendiri, karena seharusnya semua manusia juga
merasakan. Jika manusia satu sama lain mengetahui apa hakikat manusia itu, maka
tidak akan ada manusia yang menderita. Nak, kamu tidak perlu hidup sekuat itu).
Dari
sinilah pemikiran TSM itu ada. Agar semua orang tau, selayaknya manusia, kita
tidak harus hidup sekuat itu.
Ya,
melihat bagaimana kehidupan ini berjalan. Semua orang seakan berlomba-lomba
untuk mencapai kesuksesan. Mengumpulkan uang, harta, menyekolahkan anak di
tempat yang bagus, membeli kendaraan, memperbagus rumah. sepertinya semua orang
hidup sendiri-sendiri dan lupa dengan yang lain karena fokus dengan hal
tersebut. Maka jika ada masalah, juga merasa bahwa masalah itu adalah
masalahnya sendiri, diselesaikan sendiri. Makhluk sosial sepertinya sudah
kehilangan arti. Lihat bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya sekarang.
Mengikutkan semua keterampilan, les ini itu agar bisa ini itu. mempersiapkan
anak-anaknya untuk multitasking, dengan dalih mempersiapkan anak untuk
menghadapi masa depan. Semakin terampil dan semakin multitasking seorang anak,
maka (mungkin) masa depannya akan semakin baik.
Mbak Tata pernah guyon, mengajarkan anak semua keterampilan itu
oke-oke saja kalau kita punya rencana mengirimkan anak ke planet Mars sendirian, dan disana belum ada
orang sama sekali. Krisis ini yang ingin disampaikan mbak Tata. Kita di dunia,
hidup dengan manusia, banyak manusia. Kita harus percaya bahwa untuk bisa
memakai baju kita tidak perlu belajar menjahit atau menenun kain. Kita bisa
mempercayakan kepada orang lain. Percaya kepada orang. Kepercayaan satu sama
lain akan semakin luntur dari bumi ini jika saja perilaku ‘mengejar prestasi
dan berkompetisi’ terus diandalkan. Kita manusia, kita tidak perlu seterampil
itu. kita tidak perlu sekuat itu. karena kita manusia: sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar