Sebenarnya,
cerita panjang lebar itu hanyalah pengantar. Latar belakang saya menulis ini
adalah karena pembicaraan sengaja tidak sengaja dengan mbak Tata. Hari itu minggu sore, minggu kedua bulan
oktober. Seperti biasa itu adalah hari
pertemuan anggota TSM. Acaranya sharing dan outbond kecil-kecilan.
Karena saya ada acara sendiri, sehingga tidak bisa ikut acaranya dan baru bisa
menyusul sore harinya. Itupun ngepasi beres-beres. Acara diadakan di saung
tengah sawah milik teman mbak Tata. Ada empat saung didirikan diatas sekitar
enam patok sawah. Dua patoknya dijadikan kolam ikan. Karena belum masuk masa
tanam, banyak sawah yang kosong belum ditanamai. Tempat ini sangat
representatif untuk outbond dan leha-leha.
Ketika saya baru sampai ke tempat
itu, kegiatan sudah hampir selesai. Peserta berkumpul membuat lingkaran dan
saling memberikan kesan dan pesan untuk kegiatan yang barusaja dilaksanakan.
Saya ikut nimbrung saja dibelakang. Kemudian setelah itu acara ditutup dengan
doa dan yel-yel. Meskipun acara telah selesai, masih ada aja yang curhat ke
mbak Tata dan ngobrol sana sini sambil membantu mbak Tata ngeberesin peralatan.
Perlu waktu sampai sekitar setengah jam lebih hingga pada akhirnya semua
peserta pulang. Tinggallah saya dan mbak Tata dan dua fasilitator lain yang ada
di saung. Menunggu mas Anton jemput dan membawakan peralatannya. Sebenernya
peralatannya tidak terlalu banyak, dan bisa kita bawa sedikit-sedikit dengan
motor, tapi mbak Tata tidak membolehkan. Nggapain repot, kan ono mas Anton sing
ngowo pick up. Begitulah, pada akhirnya kami selalu ada waktu leha-leha,
cerita-cerita nungguin pick up mas Anton datang. Mungkin bagi fasilitator yang
pengalaman hidupnya masih kacangan kayak kita-kita, mendengar cerita dari mbak Tata
adalah suatu hal yang sangat berharga.
Di
saung tengah sawah, sore hari dan semilir. Mbak Tata bercerita tentang ide
pembuatan TSM ini. Diawali dengan sedikit cerita beratnya hidupnya pada waktu
menikah. Mbak Tata mengatakan bahwa hal yang paling berat ketika kita menemui
masalah adalah bukan karena besarnya masalah itu. Tapi karena kecilnya atau
tidak adanya dukungan dari orang dekat. Saat itu, bagi mbak Tata, hal paling
berat bukanlah menikahi orang kaya gagu yang tidak dikenalnya, tetapi karena
keluarga yang seharusnya menyokongnya justru malah seperti menjerumuskannya.
Ditambah lagi perlakuan dan pengekangan dari keluarga suaminya. Mbak Tata
merasa hidupnya sudah selesai, tidak ada harapan lagi. “saat itu adanya ya pasrah, berdoa ya berdoa, tetapi semua seperti tidak
ada rasanya”, kata mbak Tata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar