Follow Us @soratemplates

15/02/12

Februari


Senja menggantung di pelataran rumah Lani, sore itu sesyahdu sore-sore biasanya. Langit orange, aroma tanah yang habis disiram, suara tawa anak-anak bermain go back to door, orang tua yang bercengkrama di teras-teras rumah. sore ini masih sehanggat sore-sore biasanya.

Masih ingatkah Lani, kita lahir hampir bersamaan di desa sukacita ini, hanya berselang dua hari. Kemudian kita tumbuh bersama, bermain bersama hampir setiap hari setiap waktu. Nenekmu yang merawatmu sering menitipkanmu di rumah pada waktu kecil. Ingatkan kita pernah membangun istana di loteng kamar, membongkar isi rumah untuk memenuhi perlengkapan istana, dan kemudian Ibuku marah habis-habisan kehilangan banyak barang. Hahaha...

Masa remaja seharusnya juga kita habiskan bersama. Tetapi sayang, peristiwa sengketa tanah yang dialami keluargaku memaksa kami untuk pindah. Sedih sekali waktu itu, bukankan keluargaku sudah berpuluh tahun menempati sepetak tanah dan kebun disana? entahlah, Bapak selalu bilang ini tak sederhana kelihatannya, dan aku harus sekolah yang lebih tinggi dulu untuk dapat memahaminya. Tentu bagiku tak penting tentang rumah itu, yang aku pikirkan adalah bagaimana kau juga dapat tinggal di kota, hehe. Ide itu sering aku sampaikan ke Bapak, dan seperti yang km kira : ditolak. Aku tidak mau kehilangan teman sepertimu, seperti teman-teman kita di desa, di SD, SMP. Bukankah kita selalu bersama selama ini? Ah, aku hanya anak kecil yang hanya bisa nurut waktu itu.

Enam tahun Lani, aku kembali lagi. Menengok kisah indah yang bernah kita gariskan di setiap jalan desa ini. Menanyai kabar setiap pohon yang dengan 'sembarangan' kita berinama menurut selera. Menyapa wajah-wajah teduh tetangga kita dulu, ya tentu saja kecuali Pakde Dar -orang yang mengusir keluargaku-, tetapi sekalipun itu aku tak pernah dendam dengannya. Lihat! mereka masih mengingatku!

Enam tahun Lani, aku datang lagi. Menjemput kabarmu yang hilang ditelan jarak. Mencari garis wajahmu yang tegas, suara yang tegas, dan kehidupan yang keras.

Aku datang lagi, hanya untuk menyampaikan seuntai kata yang sudah aku tahan sejak lama dan tak pernah memiliki fasilitas untuk disalurkan. "Hai, apa kabar? apakah kau baik-baik saja?" hanya itu.

Dan ternyata, sambutanmu lebih hangat dari yang aku kira. Tanganmu menengadah mendekapku kepelukan. "Aku baik-baik saja", maka sempurna sudah kedatanganku berbalas baik.

Kemudian kita bertukar cerita dan kabar, dan aku sedikit terkejut, ternyata di desa ini sudah ada akses internet. Dan Lani berjanji akan mengirimkan kabar via surel itu. Lega. Lebih dari sempurna, kedatanganku berbuah persahabatan lagi.

Tidak ada komentar: